Connect with us

Feature

Cerita Meritz Hindra di Tubir Neraka

Published

on

Meritz Hindra dan Tetet Srie Wd di kedai kopi, pinggir kota Yogyakarta. Foto: Gde Mahesa

TIGA orang seniman ngopi di sebuah kedai pinggir jalan, nun di pinggiran kota Yogyakarta. Terik matahari yang menyengat, membuat ketiganya merasa lebih nyaman berteduh sambil ngopi dan pas-pus merokok. Dua di antara tiga seniman itu adalah Meritz Hindra dan Tetet Srie Wd. Yang ketiga adalah saya. Tiga orang dengan latar belakang padepokan yang sama: Teater Alam Yogyakarta.

Siang itu, topik hangat yang digulirkan adalah tentang kehidupan setelah kematian. Tentang surga dan neraka. Jangan dikira ini obrolan serius… sebab, sepanjang obrolan yang gayeng itu, tidak ada dalil absolut yang dijadikan titik pijak berdebat kusir. Meski begitu toh, ramainya luar biasa. Sampai-sampai mengalahkan bisingnya deru knalpot kendaraan yang lewat. Sampai-sampai, menyedot perhatian pengunjung warung yang lain.

Adalah Meritz Hindra. Jika ada yang belum kenal dia, buka saja di Google. Entah apa saja yang ditulis wartawan tentang seniman yang keras kepala dalam idealisme ini. Yang jelas, di balik wajahnya yang kelihatannya serius, sejatinya ia gemar melucu. Tidak jarang dengan bahasa yang ‘waton mangap’.

Tidak lama setelah hijrah dari Yogyakarta ke Jakarta, nama Meritz Hindra lekas populer di Bulungan dan TIM. Sekitar tahun 80-an ia aktif mengelola kelompok teater SS yang anggotanya kebanyakan siswa SLTA. Murid teaternya yang lain adalah para pengamen dan anak jalanan Blok M. Masih panjang deretan kata untuk mendeskripsikan seorang Mertiz Hindra.

Meritz Hindra dan Tetet Srie Wd bicara tentang surga dan neraka. Foto: Gde Mahesa

Demikian pula Tetet Srie WD. Dia adik angkatan Meritz di Teater Alam Yogyakarta. Bahkan Meritz pula yang awalnya melatihnya berteater. Tapi, hubungan “kakak pertama” dan “kakak kedua” di dunia teater memang sangat cair. Sama seperti persahabatan Meritz dan Tetet.

Akan halnya Tetet Srie Wd yang sama seperti Meritz, hijrah ke Jakarta. Mengembangkan karier di dunia koreografi. Dengan bekal teater, sentuhan tari serta sastra Jawa yang digelutinya kelak, menjadi “berbeda” dari sekadar karya sarjana koreografi. Tak heran jika karya-karya Tetet mendapat apresiasi tidak saja di Indonesia, tetapi juga dunia. Beberapa kali karyanya menyabet predikat terbaik festival tari tingkat internasional. Singkat kata, Tetet sudah melanglang buana dengan seni tari berbasis teater yang ia kembangkan.

Nah, ‘kembali ke laptop’. Kembali ke warung kopi. Mereka berdebat soal surga dan neraka, berdebat soal kehidupan setelah kematian, sedangkan saya mencatat sambil ngakak.

“Kematian itu adalah pintu kehidupan dalam dimensi lain, namun berbeda dengan kehidupan dunia. Jadi, nggak seperti ini, makan-minum mesti keluar duit. Di sana tidak ada lapar dan haus,” kata Meritz serius sembari menatap tajam pada Tetet.

Meski junior, Tetet tidak menerima begitu saja argument senior. Dengan nada lebih rendah, ia menukas, “Tidak seperti itu. Tetaplah nanti ada surga dan neraka. Namun untukmu (menatap tajam ke arah Meritz)… kamu tidak akan langsung masuk neraka.”

Meritz terkesiap demi namanya disebut tidak akan masuk neraka. Entah senang, entah goyah dengan pendapatnya terdahulu tentang konsepsi kehidupan setelah kematian. Yang jelas, tatapan matanya tampak nanar dan wajahnya menunjukkan ekspresi menunggu penjelasan Tetet lebih lanjut.

Santai Tetet melanjutkan kalimatnya, “Kau berada di tubir neraka. Ya, di pinggiran neraka seperti nyaris jatuh. Lamanya satu hari kehidupan akhirat. Itu sama dengan seribu hari di kehidupan ini. Jangan kau pikir sehari itu 24 jam… tidaaaak… seharinya di sana, sama seperti seribu harinya di dunia fana ini. Sehari sama dengan tiga tahun!”

Sampai di situ, Meritz masih diam. Kalau toh mulutnya tidak melongo, lebih karena kepulan asap rokok. Tapi ia masih tampak serius mendengarkan kelanjutan cerita Tetet. Laksana sebuah drama, ia menghendaki ending. Apa yang terjadi setelah sehari atau tiga tahun dalam posisi hendak jatuh ke neraka?

Cuek dengan sikap penasaran Meritz, tampak Tetet malah enak-anak nyeruput kopi dan merokok. Karuan saja Meritz tidak sabar bertanya, “Kenapa? Ngapain? Kenapa dan ngapain aku di tubir neraka sekian lama? Kenapa tidak langsung dimasukkan saja ke neraka?”

Sambil menghela napas dan mengepulkan asap rokok, Tetet menjawab santai, “Nah… ini yang aku nggak bisa jawab, kenapa kamu disuruh nunggu di pinggir…. Soalnya aku nggak dikasih tahu.”

Mendengar jawaban itu, seisi warung kopi tertawa ngakak…. Meritz Hindra memaki sahabatnya, “Penthiiiilllll kereeee….. ” ***

Penulis bersama Meritz dan Tetet. Foto: Gde Mahesa

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Advertisement