Connect with us

Drama & Teater

Puntung Kok Ditantang…

Published

on

Puntung CM Pudjadi bersama para pendukung Opera Ikan Asin yang akan pentas Selasa, 15 Agustus 2023 lusa. (foto: teater alam)

Kisah di Balik Rencana Pentas “Opera Ikan Asin” Teater Alam

YOGYAKARTA, JAYAKARTA NEWS – Pementasan “Opera Ikan Asin” oleh Teater Alam di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta, tinggal menunggu hari. Hari Selasa, tanggal 15 Agustus 2023 pukul 19.00 sudah banyak ditandai sebagai hari yang tak boleh dilewatkan.

Bahkan, gemanya sudah sampai Ibu Kota. Tak sedikit pecinta teater Jakarta menyatakan akan berangkat ke Jogja, menyaksikan pertunjukan teater yang memainkan naskah N. Riantiarno hasil adaptasi dari lakon The Threepenny Opera, karya Bertolt Brecht.

Eugen Berthold Friedrich Brecht, dikenal sebagai praktisi teater Jerman, penulis naskah, sekaligus sastrawan yang lahir di Augsburg, Jerman 10 Februari 1898, wafat di Berlin Timur 14 Agustus 1956. Kutipan menarik yang pernah diucapkannya adalah, “Seni bukanlah cermin yang digunakan untuk merefleksikan realitas, melainkan sebuah palu untuk membentuknya.”

Yang menarik dikulik adalah, apa alasan sutradara Puntung CM Pudjadi memilih lakon itu untuk memperingati 51 tahun Teater Alam. “Awalnya karena ada yang ‘menantang’…,” cetus Puntung, yang nyantrik di Teater Alam asuhan mendiang Azwar AN sejak akhir 1974, diajak sohibnya, Yoyok Coa Ong (alm).

Lhadalah… siapa gerangan yang berani “menantang” Puntung?

Diuber Pertanyaan

Ia pun mengisahkan peristiwa di sebuah seminar teater di Sonobudoyo Yogyakarta. Dirinya tampil sebagai salah satu narasumber mewakili dan atas nama Teater Alam.

Saat sesi tanya-jawab ada peserta bertanya, “Mengapa selama ini Teater Alam selalu mementaskan lakon klasik seperti Oedipus, Promoteus, dan lain-lain. Jarang sekali memainkan lakon sekarang, realis tapi booming.”

Puntung menangkis, lakon-lakon seharari-hari, dan naskah-naskah komedi sudah sering dipentaskan TA. Ia menyebut contoh “Obrok Owok-owok, Ebrek Ewek-wek” (Danarto), “Dokter Gadungan” (Moliere, terjemahan Asrul Sani), “Pinangan” (Anton P. Chekov), dan masih banyak lagi.

Si penanya ‘nguber’, “Tapi kenapa tidak menggarap naskah yang sekarang booming seperti karya Arifin C. Noer, N. Riantorno, dan lain-lain?”

Puntung yang juga aktif di Dewan Teater Yogyakarta (DTY) pun berkilah, “Bersama DTY saya beberapa kali menggarap karya Arifin C. Noer seperti ‘Tengul’, dan ‘Opera Kecoa” karya Riantoarno, serta beberapa naskah lain.”

Si penanya belum menyerah. Ia mendesak, “Yang saya tanya, kenapa Teater Alam tidak?”

Puntung pun menjawab, “Sekali waktu, Teater Alam akan garap naskah karya Arifin C Noer atau Nano Riantiarno.” Setelah jawaban itu, si penanya puas dan tidak mengejar Puntung lagi.

Terjawab sudah. Jadi pemilihan naskah Opera Ikan Asin lebih karena “tantangan”? “Ya, kurang lebih begitulah,” jawab Puntung.

Sajian yang Berbeda

Antara Arifin C Noer dan Riantiarno, Puntung kembali menimbang. Jika pilihannya jatuh pada naskah Arifin C Noer, dibutuhkan banyak pemain yang memiliki bekal akting cukup. “Dan itu sulit, karena banyak teman Teater Alam sudah pindah kemana-mana,” kata Puntung

Sementara, jika memilih naskah Riantiarno, relatif tidak butuh terlalu banyak pemain berkualifikasi “mahir akting”. Apalagi jika yang dipilih naskah jenis opera.

Ia bersama Ronny AN, Sekretaris Perkumpulan Teater Alam yang juga putra sulung mendiang Azwar AN itu pun memutuskan naskah Opera Ikan Asin. Kolosal, komedi, booming, melibatkan penyanyi, pemusik, penari, dan berjenis opera. Sebuah sajian yang berbeda dengan karya-karya Teater Alam sebelumnya.

Sebagai naskah komedi tetapi terbilang tua, Puntung menyikapinya secara proporsional. “Yang jelas, klasik atau modern esensinya harus bisa ‘ditonton’ dan bisa diikuti ceritanya. Dalam menyutradarai saya selalu sadar tugas membuat tontonan yang bisa dicerna berbagai kelas,” tuturnya.

Bertolt Brecht (foto: wikipedia)

Ia lalu mengutip prinsip Bertolt Brech. Bahwa sebagai sutradara, Brecht menyukai penonton yang tidak terikat atau diasingkan dari pertunjukan itu sendiri. Tujuannya agar menjaga emosi sehingga memungkinkan mereka melihat pertunjukan apa adanya. “Itu yang disebut ‘V-Effect’, atau ‘Verfremdungseffekt’, sebuah perkembangan baru dalam sejarah teater,” kata Puntung.

Pesan Moral

Alfian Syahmadan Siagian dalam “jurnalcikini.ikj.ac.id” menyebut konsep itu sebagai konsep “Brechtian”. Sebuah konsep yang menggagas bahwa seluruh apparatus pertunjukan, termasuk penonton dituntut untuk berjarak. Konsep inilah yang oleh masyarakat luas dikenal sebagai verfremdungseffekt.

Verfremdungseffekt sendiri dapat dimaknai sebagai keterasingan, keberjarakan, atau alienasi. Seluruh apparatus pertunjukan diharapkan “tidak terlibat” secara emosional dengan apa yang terjadi di atas panggung. Luaran yang diharapkan adalah penonton-penonton yang kritis yang akan merenungkan hasil tontonan mereka untuk kemudian menggagas sebuah perubahan sosial, politik, ekonomi dan budaya.

Benar. Naskah Opera Ikan Asin memang sarat pesan moral. Tentang keadilan dan ketidakadilan. Tentang ketimpangan sosial. Tentang dunia durjana yang berkelindan dengan praktik penegakan hukum yang semena-mena, dibumbui bisnis lendir dunia prostitusi berpacu dengan kemiskinan.

“Ini tontonan yang menarik. Dan yang pasti, pertunjukan Opera Ikan Asin akan jadi pembeda dengan pertunjukan-pertunjukan sebelumnya. Di sisi lain, inilah jawaban saya atas tantangan peminat teater yang menghendaki Teater Alam mementaskan naskah-naskah kekinian yang booming,” papar Puntung.

Lantas, bagaimana konsep pementasan yang ia usung? Apa yang membedakan dengan Opea Ikan Asin garapan Teater Koma (Riantiarno)? Lalu, apa yang menjadi daya tarik, sehingga penonton wajib nonton?

Puntung menjawab, “Itu sajalah, saya masih capek, kurang tidur dan siap-siap latihan sebentar lagi.” (rr)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *