Connect with us

Feature

Ketika Tetet Kehilangan Dompet

Published

on

Tetet Sriw Wd. Foto: Nana Azmita Azwar

NAMA Teted Srie Wd, kesohor sebagai koregorafer. Ia juga mencipta banyak puisi, geguritan (puisi dalam sastra Jawa), dan banyak lagi. Salah satu karyanya tahun 2014, “Konser Selendang Biru di Tangan Tuhan”, menunjukan totalitas Tetet dalam mementaskan seni tradisi, teater tradisi, tembang tradisi, dan sastra tradisi sekaligus secara profesional.

Karyanya yang lain, pergelaran macapat dan geguritan “Dras Sumunar” juga mendapat apresiasi banyak kalangan. Dras Sumunar yang aslinya terdiri atas lebih dari 1.000 pupuh tembang macapat itu, ditulis ketika Tetet bermukim di Paris tahun 1986. Salah satu jebolan Teater Alam yang mendunia ini, dikenal sebagai pendiri Gala Budaya World Performance dan pimpinan Jakarta International of the Performing Arts Festival.

Syahdan, ketika terbetik kabar Tetet akan rawuh dalam halal bihalal Teater Alam di Gedung Societet Yogyakarta, Minggu 24 Juni 2018, panitia “dadakan” pun spontan menyelipkan satu mata acara “baca puisi/geguritan” oleh Tetet Srie Wd.

Saat jam menunjuk pukul 12.15, dan acara sudah harus dimulai, Meritz Hindra pun mengingatkan Udik Supriyanta sebagai MC untuk segera membuka acara. Udik yang intens kontak-kontakan dengan Tetet sempat nawar, “Sik… diluk ngkas… mas Tetet wis meh tekan.” Tunggu barang sebentar, karena Tetet sudah hampir sampai.

Namun ketika jarum jam tak kuasa dihentikan, Udik dan Sugeng IB pun akhirnya memulai acara, tanpa menunggu kehadiran Tetet. Rupanya, Tetet memang sudah mendekat Gedung Societet. Buktinya, ketika acara belum lama dibuka, ia sudah duduk lesehan di antara hadirin. Demi melihat Tetet, maka Udik dan Sugeng pun segera mendaulat untuk duduk di dekat Bang Azwar dan Mas Ratmo.

Tidak hanya itu, pada gilirannya, Tetet pun diminta tampil membacakan geguritan. Dengan agak terbata-bata, Tetet meminta maaf tidak bisa membacakan naskah geguritan yang sudah ia siapkan. Keluhan jantung adalah alasannya. Sedianya, ia akan membacakan geguritan “Suwung-suwung Dongane Tembang Ngundang Setan”.

Duduk di atas: Tetet Sriw Wd dan Mas Ratmo. Duduk lesehan: Gege Hang Andika dan Liek Suyanto. Foto: Nana Azmita Azwar

“Yak itulah tadi… puisi suwung…. Ning yo suwung tenan….,” canda Sugeng IB, sang MC memancing gelak. Tetet urung membacakan geguritan siang hari itu. Jadi, agenda baca puisi oleh Tetet pun kosong, alias suwung.

Singkat kalimat, seluruh rangkaian acara pun paripurna. Ditutup dengan bersalam-salaman keliling dan foto bersama aneka gaya. Lepas itu, peserta pun kembul bujono ondrowino, makan siang bersama dengan menu tradisional yang menyegarkan sekaligus mengenyangkan. Sebagian lainnya masih sibuk berfoto dengan Bang Azwar dan para “selebriti” Teater Alam. Sebagian lainnya berkelompok-kelompok ngobrol dan melepas rindu.

Bang Azwar AN, pendiri, sesepuh, sekaligus pepunden para kadang Teater Alam pun pulang ke Wirokerten, tak lama setelah makan siang. Demikian pula Mas Ratmo. Setelah itu, satu per satu, dua per dua, menyusul pulang. Sebagian yang lain masih bertahan di lobby Societet.

Selain Puntung CM Pudjadi yang memang memiliki aktivitas rutin di Taman Budaya Yogya, maka peserta halal bihalal Teater Alam yang tersisa tinggal hitungan jari. Jelang magrib, yang masih awet di Societet adalah Tetet Srie Wd, Meritz Hindra, dan Gde Mahesa. Kemudian tampak Roso Daras yang datang kembali ke Societet setelah sebelumnya sempat pulang terlebih dulu.

Berempat mereka pindah kembali ke ruang dalam. Ketika hari merambat malam, barulah terkuak “mengapa Tetet belum pulang”. Rupanya, hari itu, ia tertimpa musibah. Malang tak dapat ditolak, dompetnya hilang.

Toh masih sempat diguyoni… “Ooo… jadi tadi batal baca puisi karena mumet dompetnya ilang?”

Menyeringai Tetet menjawab, “Apa kamu tidak lihat, pas aku datang jalannya sudah sempoyongan… he… he… he….”

Gde Mahesa pun berbuat baik, dengan nge-share informasi perihal berita kehilangan dompetnya Tetet di laman Facebook Group “Info Cegatan Jogja”. Lalu, Tetet pun memulai kisah pilu di hari Minggu, 24 Juni 2018.

Alkisah, Tetet yang mukim di Pamulang, Tangerang Selatan itu berangkat ke Yogyakarta menggunakan pesawat flight pertama. Karenanya, sekira pukul 05.30 WIB sudah mendarat di Adisutjipto. Sejumlah agenda sudah ia rancang, ngiras pulang. Dua agenda di antaranya adalah sowan ngarso dalem (menghadap Sri Sultan Hamengku Buwono X), Paku Alam X, dan tentu saja menghadiri halal bihalal konco lawas Teater Alam.

Tak lama setelah tiba di Yogya, ia sempat merasakan kondisi badannya tidak fit. Demi mengetahui riwayat jantungnya yang acap kurang bersahabat, tanpa pikir panjang ia menuju Rumah Sakit Panti Rapih. Dengan fasilitas BPJS, ia mendapat pertolongan pertama di IGD. “Gratis, wong nganggo BPJS. Saya hanya merasa tidak fit, dan akan pulih kalau mendapat asupan oksigen. Jadi saya minta oksigen saja. Beberapa saat di rumah sakit, saya pun merasa normal. Baru setelah itu melanjutkan aktivitas,” katanya.

Sarapan pagi-setengah-siang, atau brunch kata orang bule, ia lakukan di sebuah restoran di wilayah Jetis. Sekitar pukul 09.00 lebih (lebihnya ia lupa), Tetet naik taksi ke Keraton Yogya. Mujur tak dapat dibendung, sekalipun tanpa appointment, Sri Sultan tidak sedang bepergian, dan karenanya ia bisa sowan. “Saat itu saya merasa ada yang tidak beres. Dompet cokelat tua yang biasa saya pegang, tidak ada di tempatnya. Tapi mau menampakkan kegelisahan di depan ngarso dalem kan tidak enak,” tukasnya.

Benar, ketika ia berpamitan hendak melanjutkan perjalanan ke Pakualaman, Kanjeng Sinuwun menyediakan kendaraan beserta sopirnya untuk mengantar. “Makin yakin, bahwa dompet saya hilang. Kemungkinannya ada dua. Pertama, tertinggal di dalam taksi, kedua, jatuh saat saya turun,” ujar Tetet, yang disergah Gde Mahesa dengan pertanyaan, “lha waktu dari Jetis ke Keraton, bayar taksinya apa tidak buka dompet?” Tetet menjawab, “Tidak, saya bayar lima puluh ribu dari dalam kantong, bukan dari dompet.”

Sejenak pembicaraan tentang dompet Tetet beralih menjadi rencana kerja Tetet ke India dalam waktu dekat. Benar, saat ini ia tengah mempersiapkan pementasan di India dengan membawa puluhan kru. Bahkan, katanya, ia berniat mengajak serta beberapa rekan Teater Alam. “Jangan-jangan ini tumbal untuk proyek ke India ya? He… he… he….,” kata Tetet terkekeh.

Tak kurang uang hampir Rp 3,5 juta raib. Kartu identitas, kartu BPJS, kartu NPWP dan sejumlah kartu nama relasi yang ada dalam dompet pun hilang. “Jadi terpaksa balik ke Jakarta naik bus. Lha naik pesawat pasti ditanya KTP, naik kereta api juga ditanya KTP….,” kata Tetet pasrah.

Bersama beranjaknya malam, Gde Mahesa dan Meritz Hindra pun mengantar Tetet ke Watu Lumbung, Parangtritis. Ia ada rumah limasan di atas sana. “Baiknya saya diantar ke Watu Lumbung saja. Di sana kan ada Boy Rifai, jadi bisa ada teman ngobrol malam ini,” kata Tetet sesaat sebelum meninggalkan Societet.  ***

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *