Connect with us

Feature

Simalakama Pilkada Serentak 2020

Published

on

Oleh Husin Yazid, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indomatrik

Dalam peribahasa Indonesia ada pepatah: “bagai makan buah simalakama”. Artinya  adalah serba salah. “Mau ke kiri salah, ke kanan salah, maju salah, mundur pun salah”. Maksud dari pepatah tersebut mengcapture suatu individu atau kelompok yang tengah mengalami jalan buntu dalam mengambil keputusan. Perumpamaan ini relevan untuk mencermati  prospek Pilkada Serentak 2020.

Husin Yazid

Buah simalakama Pilkada 2020 muncul setelah pandemi Covid-19 belum mengalami tanda atau kurva landai dan apalagi menurun. Bahkan ada kecendrungan mengalami trend peningkatan. Hingga Kamis (17/9/2020), jumlah kasus positif virus corona (Covid-19) di Indonesia membludak 3.635 kasus baru sehingga total positif mencapai 232.628 kasus.

Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mencatat, 280 dari 309 daerah kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020 telah terpapar  Covid-19. Sehingga daerah yang menggelar Pilkada dianggap berpotensi menjadi klaster baru Covid-19. Dengan demikian, dari 309 daerah kabupaten/kota, yang tidak terdampak hanya tinggal 12 kabupaten/kota saja. Jadi selebihnya sudah menjadi klaster Covid-19.

Ironisnya, simalakama Pilkada Serentak 2020 seperti dibiarkan. Sehingga menimbulkan tarik menarik antara pihak yang mendukung dan yang menunda Pilkada Serentak 2020. Selain juga ada pihak yang cenderung menunggu atau terserah dengan kebijakan dan keputusan yang diambil pemerintah. Sebagian lagi cenderung seperti berenang di air keruh, atau mencari keuntungan belaka di balik situasi dan kondisi yang berketidakpastian ini.

Argumen Pendukung

Kalangan yang mendukung dilanjutkan Pilkada Serentak 2020 berasal dari berbagai kalangan. Utamanya pemerintah. Seperti dikatakan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD, pemerintahan daerah  harus jalan. Tidak mungkin hanya menunggu pandemi. Lagi pula, pandemi Covid-19 tidak dapat diketahui dan diprediksi kapan selesai.

Jika Pilkada 2020 ditunda, akan terjadi kekosongan tampuk pimpinan pemerintahan atau kekuasaan (vacum of power) terlalu lama. UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP) memang mengatur, adanya pelaksana tugas (Plt) gubernur, bupati atau walikota sementara. Namun wewenangnya, sebagaimana  diatur dalam Surat Kepala BKN No. K.26.30/V.20.3/99 tentang Kewenangan Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas dalam Aspek Kepegawaian pada 5 Februari 2016, sangat terbatas.

Manakala kepemimpinan daerah diambilalih oleh Plt atau Plh, dikuatirkan berdampak kepada roda pembangunan daerah bisa tidak efektif. Jika hal ini terjadi, bisa berdampak program pembangunan daerah bakal tersendat, atau bahkan macet. Jika hal ini terjadi, yang paling dirugikan adalah masyarakat yang akan tidak atau kurang sejahtera. Ada Kepala daerah definitif saja, banyak rakyat di suatu daerah tidak sejahtera, apalagi tanpa ada Kepala Daerah definitif.

Pemerintah juga mungkin mengira akan mengalami kerugian dari sisi anggaran yang sudah digelontorkan untuk membiayai Pilkada. Berdasarkan data Dirjen Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, hingga Jumat (10/7/2020), dari 270 daerah yang akan melaksanakan Pilkada, sudah 98 daerah yang telah transfer 100 persen dana Pilkada ke KPUD. Kemudian ada 102 daerah yang telah transfer 100 persen dana Pilkada ke Bawaslu. Bisa jadi sebagian anggaran tersebut sudah dikeluarkan untuk membiayai tahapan Pilkada. Manakala Pilkada diundur, anggaran yang sudah dikeluarkan tidak mungkin dapat ditarik kembali. Hal ini membuat pemerintah mengalami kerugian anggaran sangat besar.

Kandidat, Bohir dan Elit Parpol

Kalangan pendukung lainnya tampaknya berasal dari kandidat yang akan bertarung di Pilkada 2020, apakah itu dari kalangan petahana (incumbent) maupun non petahana. Sebab, bagaimanapun para kandidat tersebut sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Sementara uang yang digelontorkan juga tidak sedikit untuk melobi dan menegoisasi elit partai politik (parpol) atau membayar tiket atau perahu (parpol). Ini belum untuk biaya kampanye dan pemenangan.

Nilainya bisa mencapai puluhan atau bahkan ratusan miliar rupiah. Tergantung dari tingkat dan potensi daerah yang menggelar Pilkada. Pada Pilkada di tingkat provinsi dan sumber alam daerahnya gemuk,  tentu akan jauh lebih mahal sewa perahunya daripada tingkat kabupaten/kota, atau yang potensi daerahnya biasa-biasa saja. Apalagi yang tergolong daerah minus, atau miskin.

Para bohir, bandar atau sponsor yang sudah membiayai kandidat hingga memperoleh tiket/perahu (parpol) dan tanda tangan pimpinan parpol, tentu sangat berkepentingan agar proses Pilkada dilanjutkan. Sebab, manakala Pilkada ditunda pelaksanaannya, akan terjadi pembengkakan anggaran yang harus dikeluarkan. Bahkan bisa membuat bandar mengalami kebangkrutan. Jika bandar bangkrut, tentu kandidat yang dibiayai bisa kalah di Pilkada.

Elit parpol termasuk yang berkepentingan Pilkada dilanjutkan, terutama elit parpol yang memiliki wewenang menerbitkan rekomendasi pencalonan. Apalagi elit parpol tersebut sudah menerima atau kecipratan setoran dari kandidat. Jika Pilkada ditunda dan kandidat yang menyetorkan sejumlah dana lalu bernyanyi, bisa menimbulkan kegaduhan dan konflik di internal parpol.

Argumen Penundaan

Sementara kalangan yang mendesak dilakukan penundaan Pilkada Serentak 2020 lebih berangkat dari pertimbangan kemanusiaan, kesehatan dan kejiwaan. Basis argumentasinya adalah pada data-data empirik mengenai jumlah kasus Covid-19 yang terkonfirmasi, dirawat, meninggal dunia dan sembuh. Termasuk cakupan wilayah/daerah yang sudah masuk dalam zona merah dan hitam.

Alasan penunda lainnya terkait dengan jumlah calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terpapar Covid-19. Menurut Ketua KPU Arief Budiman, hingga Kamis (10/9/2020), tercatat 60 calon kepala daerah terpapar Covid-19. Mereka itu tersebar di 21 provinsi dari 32 provinsi. Dengan demikian, sudah setengah dari 32 provinsi yang menggelar Pilkada Serentak 2020 terpapar Covid-19.

Sementara data dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat terdapat 243 pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan bakal pasangan calon (paslon) selama mengikuti tahapan Pilkada Serentak 2020. Akibatnya, sebanyak 73 pesertanya dinyatakan positif terinfeksi virus Corona Covid-19. Temuan Bawaslu tersebut didapatkan dari hasil tes swab yang dilakukan sebelum menjalani tes kesehatan.

Bukan hanya pesertanya, penyelenggara dan pengawasnya juga kedapatan terinfeksi Covid-19. Tercatat di Boyolali dialami  sekitar 96 orang. Sedangkan di Jawa Tengah tercatat 21 orang. Setelah di kembangkan swabnya di banyak kecamatan hasilnya 90 orang terpapar Covid-19.

Usul penundaan Pilkada 2020 ini pernah disampaikan Ketua MPR Bambang Soesatyo. Menurut Bambang, pemerintah dan KPU perlu mempertimbangkan kebijakan menunda Pilkada 2020 bila jumlah kasus Covid-19 terus meningkat. Sementara Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) melalui Direktur Eksekutifnya Khairunnisa Nur Agustiyati menyatakan, kalau semakin memperburuk situasi penyebaran Covid-19 lebih baik ditunda saja. Jangan sampai mempertaruhkan kesehatan publik.

Suara senada diungkapkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)  dan  Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Usulan tersebut mempertimbangkan kondisi terkini di tanah air. Komnas HAM menilai, pemerintah bersama penyelenggara tidak harus memaksakan diri menyelenggarakan pesta demokrasi di tengah pandemi.  Sementara Epidemiolog dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra memprediksi, Pilkada akan menghasilkan klaster jumbo Covid-19. Oleh karena itu, ia  berharap Pemerintah tidak menganggap sepele Pilkada.

Hal tersebut diperkuat dengan hasil survei Polmatrix Indonesia yang menunjukkan sebagian besar masyarakat Indonesia yang menjadi responden meminta agar penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 ditunda. Dalam survei yang dirilis Rabu (16/9), sebanyak 72,4 persen responden menginginkan agar Pilkada Serentak 2020 ditunda dulu dikarenakan trend kasus virus corona (Covid-19) yang masih tinggi hingga saat ini.

Bahkan Anggota Dewan Pengarah BPIP sekaligus Mantan Ketua PP Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif atau Buya Syafii  yang belakangan ini menjadi pendukung berat pemerintah harus meminta Presiden Joko Widodo untuk lebih memperhatikan para dokter. Ia memohon agar Jokowi memerintahkan Menkes Terawan Agus Putranto untuk menolong nyawa dokter di tengah pandemi Covid-19. “Pak Presiden, mohon diperintahkan kepada Menteri Kesehatan dan jajarannya untuk berupaya semaksimal mungkin menolong nyawa para dokter ini,” kata Buya Syafii dalam pesan tertulisnya, Minggu (13/09/2020).

Syarat Penundaan

Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang, Pasal 120 menyebutkan:

 “Dalam hal pada sebagian wilayah pemilihan, seluruh wilayah pemilihan, sebagian besar daerah, atau seluruh daerah terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, bencana non alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilihan atau pemilihan serengak tidak dapat dilaksanakan, dilakukan pemilihan lanjutan atau pemilihan serentak lanjutan Pelaksanaan pemilihan lanjutan atau pemilihan serentak lanjutan dimulai dari tahapan penyelenggaraan pemilihan atau pemilihan serentak yang terhenti”.

Kemudian pada pasal 122A disebutkan bahwa:

 “Pemilihan serentak tersebut dilaksanakan setelah penetapan penundaan tahapan pelaksanaan pemilihan serentak dengan keputusan KPU diterbitkan. Penetapan penundaan tahapan pelaksanaan pemilihan serentak serta pemilihan serentak lanjutan dilakukan atas persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan DPR”.

Manakala ketentuan ini dikomparasikan dengan fakta empirik pandemi Covid-19 yang dialami provinsi/kabupaten/kota yang menggelar Pilkada, putusan penundaan Pilkada sudah memenuhi persyaratan. Pertanyaannya kemudian, mengapa pemerintah dan DPR tidak atau belum bergeming untuk melakukan  penundaan Pilkada Serentak 2020? Jawabannya perlu kembali kepada pernyataan Mahfud MD yang beralasan, pandemi Covid-19 tidak dapat diketahui dan diprediksi kapan selesai. Selain pertimbangan kesehatan dan perekonomian.

Jawaban pemerintah untuk sebagian melalui Mahfud MD masuk akal. Terlebih lagi, vaksin anti virus Covid-19, sejauh ini belum ditemukan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan vaksinasi Covid-19 secara global kemungkinan besar belum akan terjadi hingga pertengahan tahun depan. Bahkan WHO menyebutkan, sampai saat ini belum ada satu pun dari kandidat vaksin dalam uji klinis lanjutan sejauh ini yang menunjukkan “sinyal jelas” kemanjuran pada tingkat setidaknya 50 % yang dicari WHO.

Keluar dari Krisis

Sebagai manusia rasional dan multi dimensional, kita harus mampu mencari jalan keluar dari simalakama kepada win-win solution bagi semua pemangku kepentingan Pilkada. Jalan keluar sebaiknya harus bisa ditetapkan paling lambat di Oktober 2020. Sebab, jika sudah sampai November, waktunya terlalu mepet. Sudah sulit untuk mencari jalan keluar, selain tetap melaksanakan Pilkada 2020 pada 9 Desember 2020 dengan segala resikonya.

Agar keluar dari simalakama, jalan pertama yang harus dilakukan adalah dengan duduk bersama atau rapat kerja antara pemerintah/daerah, DPR, KPU, Bawaslu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) serta dihadiri para ahli di bidang kepemiluan maupun kesehatan. Di forum rapat kerja tersebut semua masalah terkait Pilkada 2020 di tengah Covid-19 dikupas tuntas dan terbuka serta dibarengi komitmen dan kesadaran untuk mendahulukan kepentingan rakyat banyak diatas segala-galanya.

Kedua, dalam rapat kerja tersebut dipatok standar maksimal pada angka berapa jumlah pasien dan kematian  karena Covid-19 baru Pilkada Serentak 2020 dinyatakan diundur. Termasuk juga mematok standar maksimal areal wilayah terpapar Covid-19. Apakah 80%, 90% atau 100%? Atau bisa juga membuat patokan lainnya yang sangat penting dan diperlukan untuk memperkuat pengambilan keputusan terkait nasib Pilkada 2020.

Dalam posisinya sebagai decision maker, pemerintah dan DPR akhirnya tentu saja menjadi pihak pertama dan utama yang bertanggungjawab untuk membawa Pilkada 2020 keluar dari krisis atau simalamaka melalui proses yang demokratis, transparan dan akuntabel. Sedangkan pihak lain, seperti KPU, Bawaslu dan DKPP, tidak kalah pentingnya dalam proses pengambilan keputusan di forum tersebut.

Paska pengambilan keputusan di forum rapat kerja DPR, peran pemerintah sebagai komunikator politik andal, credible dan competence sangat menentukan untuk menjelaskan secara terang benderang hasil yang sudah diputuskan oleh pemerintah dan DPR. Sementara pemangku kepentingan Pilkada, termasuk masyarakat/pemilih melaksanakan apa yang sudah menjadi keputusan bersama antara pemerintah, DPR, Penyelenggara Pemilu, serta berbagai instansi terkait lainnya. (*)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *