Connect with us

Kolom

Evaluasi Pilkada Serentak 2020

Published

on

Oleh Husin Yazid
Peserta Program Doktor Ilmu Komunikasi Usahid Jakarta

Husin Yazid

Galibnya suatu pesta besar dan bersifat reguler (berlangsung setiap lima tahun) sekali dan memiliki makna strategis bagi kepentingan bangsa dan negara, dengan berakhirnya Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) pada 9 Desember 2020, bukan berarti segalanya telah berakhir. Melainkan harus dilakukan evaluasi untuk mencermati kelebihan dan kekurangannya serta mengambil pelajaran berharga. Tujuannya agar penyelenggaraan Pilkada Serentak di masa depan menjadi lebih berkualitas dalam berbagai aspeknya.

Ditinjau dari perspektif UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu, tidak ada satupun bab atau pasal yang mengatur tentang evaluasi Pemilu. Yang ada kewajiban KPU dan Bawaslu untuk menyampaikan semua informasi penyelenggaraan Pemilu kepada masyarakat (poin c), melaporkan penggunaan anggaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan (ayat d),  melaporkan kegiatannya kepada presiden dan DPR (ayat i) dan sebagainya.

Meskipun demikian, evaluasi Pilkada  sangat penting. Bukan hanya bagi Penyelenggara Pemilu, melainkan juga bagi pemerintah pusat/daerah, partai politik dengan tim kampanyenya, calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah termasuk yang keluar sebagai pemenang, pemilih, dan lain sebagainya. Evaluasi juga bukan hanya menjadi hak KPU dan Bawaslu, melainkan juga terbuka lebar bagi siapapun, khususnya bagi kalangan yang bergiat di bidang penguatan demokrasi.

Lolos Covid-19

Bagi kalangan penggiat demokrasi, hal yang penting dievaluasi adalah terkait dengan peraturan perundangan (electoral laws) dan pelaksanaannya Pemilu (electoral process). Oleh karena Pilkada kali ini berada di masa pandemi Covid-19, maka keterkaitan antar keduanya patut dicermati. Signifikansi lainnya disebabkan pra maupun pelaksanaan Pilkada 2020 dibayangi kekuatiran dan kecemasan dari berbagai kalangan akan menjadi klaster baru Covid-19.

Bahkan sebagian kalangan mendesak, agar Pilkada 2020 ditunda pelaksanaannya hingga pandemi Covid-19 dipastikan benar-benar mereda untuk menghindari hal-hal negatif yang tidak diinginkan, terutama akan jatuhnya korban manusia yang terpapar Covid-19. Namun pemerintah tidak menggubris dengan alasan karena tidak ada jaminan Pilkada 2020 ditunda, pandemi Covid-19 akan berakhir. Selain tentu saja dengan berbagai pertimbangan lainnya, baik yang bisa dicermati secara kasat mata/permukaan, atau di bawah permukaan.

Dengan alasan demikian, penyelenggaraan Pilkada 2020 jalan terus di tengah ancaman Covid-19. Untuk mengatasi dampak yang kemungkinan ditimbulkan dari adanya gelaran Pilkada bersamaan dengan pandemi Covid-19, disiapkan peraturan pirantinya, baik berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, dan Peraturan Kepala Daerah. Misalnya, Instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Covid-19. Dalam instruksinya, Mendagri juga mengingatkan sanksi bagi kepala daerah yang mengabaikan kewajibannya sebagai kepala daerah.

Dari sisi penyelenggara Pilkada, KPU menerbitkan PKPU No. 13 Tahun 2020 tentang Pilkada Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Non-alam Covid-19 pada 23 September 2020. Di antara pengaturannya adalah larangan gelaran konser musik sebagai salah satu kegiatan kampanye dan kegiatan kebudayaan lain seperti pentas seni dan panen raya juga dilarang oleh KPU. Jika partai politik, pasangan calon kepala daerah atau tim kampanye melanggar ketentuan tersebut, akan dijatuhi sanksi sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 88C Ayat (2) PKPU 13/2020.

Bagaimana dengan pelaksanaannya? Dalam catatan Bawaslu, kampanye digelar sebanyak 91.640 di 270 daerah. Dari jumlah tersebut, terjadi pelanggaran kampanye berbasis protokol kesehatan (Prokes) Covid-19 sebanyak 2.126. Bentuk pelanggarannya antara lain peserta kampanye lebih dari 50 orang, terjadi kerumunan massa, pengabaian penggunaan masker, dan sebagainya. Sementara dalam catatan kepolisian, selama masa kampanye Pilkada 2020 sejak 26 September sampai 14 November 2020, ditemukan 1.448 pelanggaran Prokes Covid-19. Dari jumlah pelanggaran itu, 1.290 di antaranya diberikan peringatan tertulis, sementara 158 dibubarkan.

Begitupun, pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 berbasis Prokes Covid-19, khususnya di masa kampanye dan pelaksanaan pemungutan dan penghitungan, cukup sukses. Apa yang dikuatirkan banyak kalangan, Pilkada akan menjadi klaster penyebaran Covid-19, tidak terbukti. Hal ini tidak terlepas dari besarnya peran pemerintah pusat dan daerah, selain faktor penegakan aturan oleh KPU terutama di Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan kedisiplinan pemilih dalam penegakan Prokes Covid-19.

Partisipasi Pemilih

Selain ancaman menjadi klaster Covid-19, Pilkada 2020 juga dibayangi dengan kekuatiran akan jebloknya partisipasi pemilih. Padahal sedikit banyak tingkat partisipasi pemilih akan berpengaruh langsung terhadap legitimasi hasil Pilkada. Kemungkinan hal tersebut wajar dan logis saja mengingat saat dilaksanakan Pilkada Serentak 2020, bangsa Indonesia tengah dilanda pandemi Covid-19. Suasana kekuatiran dan kecemasan menjadi femomena umum dimana-mana.

Kekuatiran tersebut kian menjadi-jadi karena trend atau kurva pandemi Covid-19 terus mengalami peningkatan secara sigifikan, baik dari sisi jumlah orang yang positif, dirawat di rumah sakit, maupun yang meninggal dunia. Singkat kata, orang menjadi kuatir keluar rumah. Padahal saat kampanye atau datang ke TPS, orang mau tak mau akan berinteraksi dengan banyak kalangan, termasuk dengan orang yang sebelumnya tidak dikenali sama sekali.

Kemungkinan jebloknya tingkat partisipasi pemilih, didukung oleh hasil riset sejumlah lembaga penelitian. Misalnya, Lembaga Survei Indonesia (LSI) memprediksi, partisipasi pemilih di Pilkada bisa turun 20 hingga 60 persen (5/9/2020). Hasil survei senada diterbitkan oleh Indonesian Public Institute (IPI) yang menunjukkan, mayoritas responden atau hampir 80 persen menyatakan was-was datang ke TPS saat Pilkada 2020. Salah satu alasannya karena pemilih merasa takut lantaran pandemi Covid-19 yang sampai saat ini angka penularannya masih tinggi. (8/6/2020).

Dalam kenyataannya, kekuatiran bakal menurunnya secara tajam tingkat partisipasi pemilih, tidak terbukti. Sebaliknya, tingkat partisipasi pemilih, cukup signifikan. Ketua KPU Arief Budiman mengatakan,  partisipasi pemilih di Pilkada 2020 mencapai 76,13 persen. Target partisipasi pemilih di Pilkada 2020 secara nasional sebelumnya ditetapkan sebesar 77,5 persen. Namun, Arief mengatakan pembanding Pilkada 2020 adalah Pilkada 2015, mengingat gelaran ini merupakan siklus dari pemilihan lima tahun silam. Ketika itu, partisipasi masyarakat sebesar 68,82 persen.

Dengan kata lain, jika mengukur tingkat partisipasi pemilih dari target yang dipatok KPU sebelumnya yakni: 77,5 yang berarti tingkat partisipasi pada Pilkada 2020 hanya lebih kecil 1-2 persen, tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada 2020 sudah sangat bagus. Bahkan di luar perkiraan mengingat tantangannya sangat berat dan kompleks. Yakni: berada di tengah pandemi Covid-19 yang menimbulkan kecemasan banyak pihak, baik penyelenggara Pilkada maupun pemilih.

Kualitas Pilkada

Meskipun Pilkada 2020 lolos dari jebakan klaster Covid-19 dan tingkat partisipasi pemilihnya cukup signifikan, namun sejumlah aktivitas yang dianggap menggerogoti kualitas Pilkada masih banyak. Salah satunya terkait masih maraknya politik uang. Mengacu data Bawaslu, terjadi 262 kasus dugaan pelanggaran politik uang. Dari jumlah tersebut, 197 berdasarkan laporan masyarakat. Kemudian terdapat 65 kasus merupakan temuan Bawaslu (22/12/2020).

Sebelumnya pada (15/12/2020), Bawaslu mencatat sebanyak 175 kasus, terbanyak atau 104 kasus terkait dengan politik uang.  Jumlah politik uang tersebut naik dibanding 9 Desember 2020 saat bertepatan hari coblosan. Kala itu, Bawaslu merilis hanya 76 kasus yang masih ditangani. Kasus tertinggi terjadi di Lampung Tengah dengan jumlah 32 kasus. Diikuti Karawang 6 kasus, Malang 4 kasus, serta 3 kasus di Maros, Konawe Selatan, dan Pangandaran.

Sementara berdasarkan pemantauan Komite Independen Pemantauan Pemilihan (KIPP), terhadap pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara di sejumlah TPS Pilkada Serentak 2020, dugaan praktik politik uang masih marak terjadi di berbagai daerah. Misalnya pada tiga titik kejadian di Kabupaten Karawang pada masa tenang. Selain itu, KIPP melihat masih adanya calon kepala daerah petahana yang memanfaatkan jabatannya untuk meraih elektabilitas. Salah satunya dengan masih adanya foto calon kepala daerah petahana di sejumlah titik pada masa tenang dan hari pemungutan suara.

Indikator lain dalam menilai kualitas Pilkada adalah terkait jumlah kandidat yang diusung oleh partai politik untuk berkompetisi di Pilkada 2020. Jumlahnya mencapai 626 pasangan calon dari unsur partai politik. Jumlah ini lebih kecil bila dibandingkan dengan Pilkada 2015 yang sebanyak 654 pasangan. Sementara untuk calon tunggal, pada Pilkada 2015 sebanyak 3 pasangan calon di 3 daerah, kini menembus 28 daerah. Data ini bisa ditafsirkan, kaderisasi pasangan calon oleh partai politik mengalami kegagalan.

Dimensi lain yang bisa digunakan untuk mengukur kualitas Pilkada adalah terkait dengan nepotisme. Berdasarkan hasil riset Nagara Institute, terdapat 124 kandidat yang memiliki kekerabatan dengan petahana atau bekas pejabat daerah dari 741 pasangan kandidat di 270 daerah pada Pilkada 2020. Bahkan di Pilkada 2020 ini terdapat anak dan menantu Presiden Joko Widodo berkontestasi di dalamnya. Termasuk anak Wakil Presiden, keponakan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, dan sejumlah anak pejabat tinggi lainnya.

Temuan Nagara Institute mengungkapkan tumbuh suburnya dinasti politik ini disebabkan, salah satunya oleh Putusan MK 33/PUU-XIII/2015 yang membatalkan Pasal 7R UU Pilkada. Sebelum putusan itu, jumlah dinasti politik pada rentang waktu tahun 2005-2014 hanya 59 orang kandidat. Namun, dalam Pilkada serentak pada tahun 2015, 2017, dan 2018 terjadi kenaikan drastis hingga mencapai 86 orang kandidat.

Berbagai amatan singkat dan terbatas dari Pilkada Serentak 2020 dan tentu saja masih banyak problem lain yang mesti dianalisis, kesimpulan umumnya adalah bahwa Pilkada Serentak 2020 memiliki plus-minus (kekurangan dan kelebihan), selain memiliki problem akut yang acapkali terjadi dari Pilkada ke Pilkada, terutama terkait dengan politik uang. Di Pilkada 2020, politik uang tersebut bersimbiosis-mutualistik dengan politik nepotisme dan kekerabatan serta kecendrungan menguatnya oligarki.

Padahal kita semua tahu, persekutuan antara politik uang, nepotisme dan oligarki kekuasaan menjadi sumber potensial bagi lahirnya pemimpin dan pemerintahan lokal yang memiliki kecendrungan melakukan korupsi politik dan berbagai penyalahgunaan wewenang lainnya. Untuk meminimalisir hal tersebut, maka kontrol masyarakat terhadap kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih, harus menjadi agenda penting yang harus secara konsisten dilakukan. (*)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *