Feature
Efektivitas Komunikasi Pemerintahan Jokowi
Oleh Husin Yazid, Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Pemerintahan Presiden Joko Widodo periode kedua sudah setahun lamanya (2019-2020). Namun komunikasi belum menjadi driving forces dalam menggerakkan roda pemerintahan agar lebih efektif dalam melaksanakan kebijakan dan program pembangunan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyadari akan adanya problem komunikasi dengan cara antara lain menjewer para pembantunya. Sebegitu jatuh, komunikasi pemerintahan Jokowi belum sepenuhnya terwujud secara efektif dan maksimal.
Sejumlah contoh infeketivitas komunikasi terkait Rancanangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja yang mendapat banyak penolakan dari berbagai elemen masyarakat, khususnya kalangan yang tergabung dalam organisasi buruh. Akibatnya, seperti diakui Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko kepada wartawan, Rabu (21/10/2020), semua jajaran menteri dijewer Presiden Jokowi karena komunikasinya sungguh sangat jelek.
Teguran keras presiden tersebut tidak serta merta membuat komunikasi di inner cycle pemerintahan menjadi lebih komunikatif dan produktif, tetapi masih saja terjadi berbagai kasus miskomunikasi yang makin variatif. Kali ini kasusnya terkait akseptabilitas publik terhadap vaksin Covid-19. Padahal di 19 negara, menurut survei cukup tinggi yakni: mencapai 72 persen.
Survei di-19 negara dilakukan tim peneliti dari School of Public Health and Health Policy (CUNY SPH), Barcelona Institute for Global Health (ISGlobal), Vaccine Confidence Project di London Schollhof Hygiene and Tropical Medicine (LSHTM), dan Georgetown University Law School. Hasil survei tersebut dipublikasikan di Jurnal Nature Medicine, Rabu (21/10/2020).
Sementara survei terpisah oleh Laporcovid19, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan Forum Perguruan Tinggi untuk Pengurangan Resiko Bencana menemukan, penerimaan vaksin Covid-19 di Indonesia lebih rendah dari 19 negera itu. Dari 2.109 responden di semua provinsi, 31 persen mau manerima vaksin Biofarma Sinovac dan 69 persen responden ragu-ragu hingga menolak. Untuk vaksin merah putih, 44 persen bersedia dan 56 persen ragu-ragu hingga tak mau menerima.
Dalam catatan Pengamat Komunikasi Politik Gun Gun Heryanto, blunder komunikasi juga terjadi ketika Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil menyampaikan rencana penghapusan izin mendirikan bangunan (IMB) dan analisis dampak lingkungan (amdal). Salah satu alasannya karena perizinan semakin lama dan mahal. Namun ide tersebut banyak mendapat kritik, terutama dampak negatif yang bisa timbul jika IMB dan amdal dihapus. Ide ini pun kini tidak jelas juntrungannya.
Kontroversi juga mengemuka dari pernyataan Menteri Agama Fachrul Razi tentang cadar untuk mereka yang masuk ke instansi pemerintahan. Fachrul lalu mengklarifikasi bahwa cadar tidak diharuskan dalam agama Islam dan bukan penentu tingkat ketakwaan seseorang. Tapi Fachrul lagi-lagi memantik kontroversi ketika menyebut soal celana cingkrang.
Tidak ingin ketinggalan mengalami miskomunikasi, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian juga sempat melontarkan wacana evaluasi Pilkada langsung. Namun, Presiden Jokowi, baik secara langsung disampaikan olehnya maupun melalui juru bicaranya, Fadjroel Rachman, memastikan tetap mendukung Pilkada maupun pemilihan presiden secara langsung.
Kendala Komunikasi
Dalam literatur ilmu komunikasi, kendala komunikasi disebut dengan hambatan, gangguan, noise, atau filter. Gangguan atau hambatan dalam proses komunikasi biasanya akan menimbulkan kesalahpahaman antara komunikator dengan komunikannya atau biasa disebut misscommunication.
Ahli komunikasi Onong Uchjana Effendy menyebutkan, ada beberapa hambatan komunikasi yang harus dijadikan perhatian penting bagi komunikator jika ingin komunikasinya efektif dalam arti dipahami dan diikuti objek komunikasi/komunikan. Gangguan di sini bisa dibagi ke dalam dua jenis, yakni gangguan mekanik (mechanical, channel noise) dan gangguan semantik (semantic noise).
Terkait dengan gangguan simantik, ahli komunikasi lainnya Chafied Cangara berpendapat, gangguan semantik sering terjadi karena beberapa faktor: Pertama, kata-kata yang digunakan terlalu banyak memakai jargon bahasa asing sehingga sulit dimengerti oleh khalayak tertentu.
Kedua, bahasa yang digunakan pembicara berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh penerima. Ketiga, struktur bahasa yang digunakan tidak sebagaimana mestinya sehingga membingungkan penerima. Keempat, latar belakang budaya yang menyebabkan salah persepsi terhadap simbol-simbol bahasa yang digunakan.
Dalam konsep psikologi komunikasi, proses komunikasi akan berhasil ditentukan oleh kualitas personal komunikator utama. Sekaligus berfungsi sebagai source credibility atau menjadi sumber kepercayaan bagi komunikan. Holand dan Weiss menyebut ethos sebagai credibility yang terdiri atas dua unsur, yaitu keahlian (expertise) dan dapat dipercaya (trustworthinnes). Kedua unsur tersebut mutlak harus dimiliki oleh seorang komunikator agar bersifat credible.
Pakar komunikai Joseph De Vito menyebut, ada empat jenis hambatan komunikasi. Yakni: pertama, physical noise. Contoh gangguan fisik ini bisa berupa tulisan tangan ang tidak terbaca, ukuran huruf yang terlalu kecil sehingga sulit untuk dibaca, suara kendaraan yang terlalu bising, iklan pop-up, tata bahasa yang buruk, dan lain-lain. Gangguan fisik lainnya juga dapat berupa banyaknya informasi asing yang tidak diharapkan. Misalnya, pesan spam dalam email.
Kedua, physiological noise. Misalnya saja, pengirim atau penerima memiliki gangguan penglihatan seperti mata minus sehingga pandangan menjadi rabun, atau memiliki gangguan pendengaran. Selain itu bisa juga karena artikulasi saat berbicara tidak jelas atau hilang ingatan.
Ketiga, psychological noise. Gangguan ini adalah gangguan mental pada komunikator atau komunikan. Keempat, semantic noise. Misalnya saja ketika kedua pihak memiliki perbedaan bahasa atau dialektis, penggunaan jargon, istilah yang ambigu yang maknanya dapat disalahartikan.
Kendala dan hambatan komunikasi yang terjadi pada pemerintahan Joko Widodo jilid dua merupakan akumulasi dari berbagai faktor. Bisa jadi juga, hambatan komunikasi tersebut berasal dari diri Presiden Joko Widodo sendiri yang kurang cakap dalam berkomuniaksi dengan bawahannya. Namun bisa juga berasal dari bawahannya yang lemah dalam berkomunikasi. Atau hambatan tersebut berasal dari kedua belah pihak sehingga menganggu efektivitas komunikasi, serta berbagai faktor kemungkinan lainnya.
Pergeseran Komunikasi
Jika menelisik proses komunikasi Presiden Jokowi dari waktu ke waktu terjadi pergeseran. Saat menjadi walikota Solo, Jokowi berhasil melakukan penataan pedagang kali lima (PKL) di kawasan Banjarsari, Solo, tahun 2005-2006. Caranya dengan menerapkan komunikasi dialogis terhadap sekitar 1.000 PKL yang berjualan di Banjarsari. Akhirnya ribuan PKL bersedia direlokasi tanpa gejolak.
Hal serupa dilakukan Jokowi ketika melakukan penataan masyarakat seputar Pasar Tanah Abang dan Waduk Pluit dengan Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta. Dengan pola komunikasi, yang oleh mantan Menteri Penerangan Orde Harmoko sebagai komunikasi sambung rasa, penataan kedua lokasi tersebut berhasil dilakukan dengan damai tanpa konflik.
Prestasi tersebut, dan tentu saja ditambah lagi dengan berbagai modal lainnya, kemudian digunakan Jokowi sebagai ‘senjata’ dalam kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres) 2014. Hasilnya ternyata tokcer. Calon Presiden Jokowi yang saat itu berpasangan dengan calon wakil presiden HM Jusuf Kalla keluar sebagai pemenang Pilpres 2014. Mengalahkan kandidat presiden Prabowo Subianto yang bergandengan dengan kandidat wakil presiden HM. Hatta Radjasa.
Dalam kedudukannya sebagai presiden, kepala negara dan kepala pemerintahan, Presiden Jokowi tidak bisa menerapkan pola komunikasi dialogis seperti saat menjadi pemimpin lokal. Kalaupun mau, sulit dilakukan karena ketatnya protokol kepresidenan dalam mengatur gerak-gerik presiden, termasuk dalam interaksi komunikasinya dengan khalayak dengan alasan privasi dan terutama keamanan orang nomor satu di negeri ini.
Sebagai gantinya, strategi komunikasi presiden Jokowi disampaikan kepada menteri koordinator dan para menteri melalui rapat-rapat koordinasi di tingkat menteri, mengefektifkan fungsi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), institusi kepolisian, Badan Inteljen Negara dan lain sebagainya. Namun ternyata hasilnya tidak sepenuhnya efektif. Buktinya, presiden Jokowi masih acapkali mengeluhkan jeleknya komunikasi di kalangan pembantunya.
Optimalisasi Menkominfo
Agar komunikasi Presiden Jokowi menjadi lebih efektif, harus dicari tahu mengenai penyebab dan akar masalahnya. Dari pencarian tersebut kemudian ditawarkan solusi dan dan terobosan paling efektif. Tidak ada kata terlambat atau tidak bisa dipecahkan problem komunikasi. Sebab senyatanya, problemnya empirik dan konkrit (tangible). Bukan hal yang termasuk non empirik atau intangible.
Salah satu caranya dengan mengefektifkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik secara tepat dan konsisten. Inpres tersebut ditandatangani Presiden Jokowi pada 25 Juni 2015. Inpres tersebut ditujukan kepada para menteri Kabinet Kerja, Sekretaris Kabinet, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kepala Badan Intelijen Negara, Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian, para Gubernur dan para Bupati/Walikota.
Dalam Inpres tertulis instruksi kepada Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo). Mulai dari mengkoordinasikan perencanaan, penyiapan dan pelaksanaan komunikasi publik terkait dengan kebijakan dan program pemerintah. Melakukan kajian terhadap data dan informasi yang disampaikan kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian. Melakukan media monitoring dan menganalisis konten media terkait dengan kebijakan dan program pemerintah.
Menyusun narasi tunggal terkait dengan kebijakan dan program pemerintah kepada publik sesuai arahan Presiden Jokowi, melaksanakan diseminasi dan edukasi terkait kebijakan dan program pemerintah melalui seluruh saluran komunikasi yang tersedia, dan sebagainya. Melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan komunikasi publik. Inpres tersebut juga menginstruksikan Menkominfo untuk menyampaikan laporan pelaksanaan Inpres ini kepada Presiden Jokowi setiap bulan atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.
Dengan demikian, jika sementara ini tercermati, terasakan atau teralami komunikasi Presiden Jokowi dengan bawahannya tidak lancar dan sering mengalami miskomunikasi atau blunder, maka instansi yang harus memikul tanggungjawab terdepan adalah Menkominfo. Bukan mencari kambing hitam kepada pihak lain. Bisa saja Menkominfo sekarang dicopot dari jabatannya jika dianggap tidak becus melaksanakan tugasnya.
Kekuatan Bayangan
Jika inefektivitas komunikasi pemerintahan Presiden Jokowi bukan karena faktor Menkominfo. Sebaiknya siapapun harus fair dan objektif dalam memberikan observasi dan penilaian. Sebab bisa saja infektivitas Menkominfo, disebabkan faktor lain. Misalnya, karena Menkominfo tidak diberikan wewenang sepenuhnya sebagaimana diamanatkan Inpres No. 9 Tahun 2015 tersebut.
Bisa juga, karena ada kekuatan bayangan (shadow power) yang mengakibatkan soliditas pemerintahan acapkali terganggu, atau diganggu. Bahkan terkadang kekuatan bayangan tersebut mengintervensi kebijakan dan program strategis pemerintahan Presiden Jokowi di luar akal sehat dan nalar publik. Kekuatan bayangan itu pula yang terkadang berkontribusi dan mengakibatkan terjadinya miskomunikasi dan bahkan diskomunikasi di lingkungan elite pemerintahan.
Jika akar masalahnya terkait dengan hal ini, maka otoritas sepenuhnya berada di tangan Presiden Jokowi untuk mengatasinya. Pihak lain hanya bisa memberikan warning. Problem intervensi terhadap pemerintahan—jika itu terjadi—tidak cukup hanya diselesaikan dengan pendekatan komunikasi politik, melainkan harus dengan pendekatan kekuasaan. Sementara kekuasaan absolut tersebut secara de jure ada di tangan Presiden Jokowi.
Untuk mengetahui lebih mendalam akar problem inefektivitas komunikasi pemerintahan Presiden Jokowi, perlu dibentuk tim khusus dengan anggota orang-orang yang dikenal credible dan competence. Tugasnya antara lain mencari sebab-musabab, kendala atau hambatannya. Lalu kemudian dicarikan formula dan solusinya. Hal ini penting, karena komunikasi efektif suatu kepemimpinan merupakan prasyarat dan sekaligus kunci dari keberhasilan suatu pemerintahan. (*)