Connect with us

Feature

Menata Dunia Baru

Published

on

Oleh Ren Muhammad

Jumat itu, 30 September 1960. Sukarno menunjukkan kelasnya sebagai pemimpin kaliber dunia. Ia tampak gagah, berkacamata, berpeci hitam, dengan setelan jas dan celana pantalon putih, lengkap dengan jam merk Rolex melingkar di pergelangan tangan kanannya. Di hadapan para pembesar negara-bangsa yang hadir di gedung PBB dalam Sidang Umum ke-XV, ia menyampaikan pidato sepanjang 47 halaman, “To Build the World Anew”—yang versi terjemahan bebasnya kami jadikan judul tulisan ini.

Pada hari Indonesia menggugat dunia itu, mata para pembesar Amerika dan terutama Eropa—yang getol menjarah bangsa lain, terbeliak melihat seorang manusia Timur tampil begitu percaya diri. Lengkap dengan kecerdasan tutur dan rasionalitas yang ia miliki. Negara Indonesia yang baru 15 tahun ia pimpin, memang bukan negara Islam. Tapi pidatonya yang fenomenal itu, ia buka dengan (QS. al-Hujurat [49]: 13);

Hai, sekalian manusia, sesungguhnya aku telah menjadikan kamu sekalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan, sehingga kamu berbangsabangsa dan bersukusuku agar kamu sekalian kenal-mengenal satu sama lain. Bahwasanya yang lebih mulia di antara kamu sekalian, ialah yang lebih takwa kepada-Ku.”

Sukarno yang saat itu berbicara atas nama 92 juta rakyatnya, memungkasi pidato legendaris itu dengan kalimat yang bahkan hingga hari ini belum juga berani dilontarkan oleh para pemimpin negara mana pun:

Kami tidak berusaha mempertahankan dunia yang kami kenal, kami berusaha membangun suatu dunia yang baru, yang lebih baik. Kami berusaha membangun suatu dunia yang sehat dan aman. Kami berusaha membangun suatu dunia, di mana setiap orang dapat hidup dalam suasana damai. Kami berusaha membangun suatu dunia, di mana terdapat keadilan dan kemakmuran untuk semua orang. Kami berusaha membangun suatu dunia, di mana kemanusiaan dapat mencapai kejayaan yang penuh.

Bangunlah dunia ini kembali! Bangunlah dunia ini kokoh, kuat, dan sehat! Bangunlah suatu dunia di mana semua bangsa hidup dalam damai dan persaudaraan. Bangunlah dunia yang sesuai dengan impian dan cita-cita umat manusia…

Hanya berjarak lima tahun dari masa itu, sebuah rencana besar yang telah disusun biro pemerintah AS, Central Intelligence Agency (CIA), dilancarkan ke Indonesia—guna menjatuhkan Sukarno dari tampuk kekuasaannya. Dunia tak boleh punya memori tentang 30 September 1960 yang mengagumkan itu. Sebab Sukarno sudah melangkah terlampau jauh. Jika tak dibanteras, ia akan tampil sebagai pemimpin umat manusia. Meski kenyataannya, ia memang sudah ditahbis sebagai Presiden Terbaik Dunia pada 2014 oleh www.theranking.com.

Peristiwa G-30/S/PKI yang dikendalikan Amerika melalui Jenderal Soeharto, dan menelan korban sebanyak lima juta jiwa, adalah potret buram kemanusiaan yang lain pasca Hiroshima-Nagasaki. Data itu bisa dangsanak sekalian akses melalui data dari The Cornell Paper, atau National Security Archive, yang telah dideklasifikasi pada 2017.

Tindakan untuk dapat mengakses apa yang dirahasiakan selama rentang setengah abad ini, persis ketoprak. Belagak pilon dalam bahasa Melayu pasaran. Mari kita pakai logika yang paling jernih lagi sehat. Memangnya kalau sudah dideklasifikasi, semua perkara serta-merta selesai? Nanti dulu. Jutaan nyawa yang telah melayang itu tetap harus dipertanggungjawabkan. CIA takkan bertindak jika presiden Amerika tak memberi perintah. Ini artinya, Amerika adalah penjahat perang zaman kiwari, yang harus diseret ke Mahkamah Internasional.

Pertanyaan kita, dunia model apa yang mau dibangun kembali? Jika Anda membaca lagi pidato Bung Karno tersebut, niscaya kita akan tahu harus melakukan apa pada zaman ini. Hal paling mencolok yang bisa dikenali secara kasat mata adalah, dominasi Amerika yang sudah kelewat batas. Bahkan melampaui aturan-aturan universal yang telah berlangsung di dunia era sebelum kita. Amerika melaju sendirian memimpin peradaban modern, sembari menindas negara lain dengan segala macam cara yang mengutungkan mereka semata.

Cermatilah bagaimana cara mereka memveto keputusan Dewan Keamanan yang presidennya berasal dari Indonesia. Amati pula tingkah Amerika yang mengembargo Iran dan beberapa negara lain, yang tak mau menuruti aturan timpang Paman Sam—khususnya dalam soal pengembangan teknologi militer. Kecurangan Amerika menata perekonomian dunia juga sudah tak usah kita perdebatkan lagi. Terkait ini, kita sedang menuju resesi bersama akibat pola ekonomi yang salah. Tidak adil dan cenderung menyengsarakan umat manusia. Ada begitu banyak negara yang dengan sengaja dililit hutang, sementara kekayaan alamnya dikeruk sampai habis demi memenuhi ambisi kapitalisme gaya USA.

Model pendidikan yang selama ini berkembang pun, dipaksa Barat untuk kita adopsi untuk kebutuhan industri mereka. Belasan tahun manusia modern menyerahkan dirinya pada institusi sekolah dan kampus, hanya berujung menjadi kacung kapitalisme global. Sapi perah yang akhirnya mati kelelahan, dan kehilangan jati dirinya sebagai manusia. Apa pun bidang studi yang diselenggarakan, semua mengarah pada satu tujuan yang sama: penggandaan keuntungan perseorangan. Bukan untuk kepentingan bangsa manusia.      

Dunia kesehatan kita pun setali tiga uang. Terpaksa harus tunduk pada bisnis farmasi. Maka tak heran bila siapa pun yang berobat ke rumah sakit, harus dibuat bertambah sakit, mengonsumsi obat terus menerus, dan tak jua sembuh. Malah tak sedikit yang harus meregang nyawa. Lantaran rumah sakit memang berfungsi untuk membuat mereka bertambah sakit. Hingga hari ini pun, masih belum ada negara yang mau mendirikan rumah sehat untuk rakyatnya—termasuk Indonesia. Ini jelas kecelakaan peradaban.

Corak peradaban yang dikembangkan Amerika pun jauh dari spirit keluhuran manusia. Malah yang terjadi, kemanusiaan kita tergerus hingga ke titik nadir. Teknologi dan kebebasan adalah kata kunci untuk meruntuhkan pranata kebudayaan semua bangsa yang masih bertahan di dunia modern. Hidup kita sekarang jadi melulu teknikal-teknologis, menjemukan, dan rentan. Wajar bila ada begitu banyak kasus bunuh diri terjadi. Kita juga mafhum jikalau manusia hari ini jadi teramat mudah mengalami kerancuan dalam hidupnya—yang selalu dimulai dari kekacauan berpikir, kejernihan hati, dan ketenangan jiwa.

Seluruh pemimpin dunia hari ini, harus duduk berembug membicarakan nasib peradaban manusia yang sudah centang prenang. Ibu bumi yang kadung rusak parah, harus diruwat lagi agar kembali pulih seperti sedia kala. Kita harus membuat aturan anyar kehidupan secara universal, yang bisa dijadikan tolok ukur bersama dalam mengembangkan negara di zaman baru. Hal yang terpenting adalah, kita harus memperbaiki pola hidup dengan pendekatan tata krama, tata salira (diri), tata nagara, tata buwana, dan tata surya. Hidup bijaksana dalam kebijaksanaan semesta.  

Berdasar landasan pikir itulah, kami kembali menggelar perhelatan Tribute to Sukarno (Jilid II) di Cikande, Banten, pada Sabtu, 3 Oktober 2020. Acara akan dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya 3 Stanza, dilanjutkan dengan sarasehan bertema “Menata Dunia Baru” yang diampu Ren Muhammad (Penyintas Peradaban), Roso Daras (Sukarnois, Ketua Yayasan Aku dan Sukarno), dan Atih Ardiansyah (Pendiri Cendekiawan Kampung).

Lalu ada Abdullah Wong yang akan menyampaikan orasi kebudayaan dan membacakan sebuah puisi yang digubah Bung Karno, “Aku Melihat Indonesia.” Gelaran ini dipuncaki dengan pemutaran film “Tentang Sukarno Tak Pernah Usai “ dan kemudian ditutup dengan lagu ‘Bersuka Ria’ yang diciptakan Sang Proklamator pada 1965. Seluruh rangkaian acara tersebut dimaksudkan agar para penerus bangsa Indonesia tahu dan sadar, bahwa pemimpin mereka adalah tokoh besar zaman modern—yang sampai hari ini belum lagi bisa ditandingi di belahan dunia mana pun. []

*) Penulis adalah Penggagas “Tribute to Sukarno

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *