Kabar
Komnas PA Tanggapi Lambatnya Pelabelan BPA
JAYAKARTA NEWS – Ketua Umum Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) dan Koordinator Presidium Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak (GKIA) Nia Umar mengatakan bahwa BPA adalah zat kimia yang berfungsi untuk mengeraskan plastik dan membuat bahan plastik menjadi tahan lama. Akan tetapi penggunaan plastik yang mengandung BPA dapat menyebabkan berbagai macam penyakit, seperti kanker, syaraf dan lain sebagainya. BPA salah satunya terdapat pada galon guna ulang.
“Jadi ibu-ibu bukan menakut-nakuti, BPA itu ibarat polusi yang tidak kelihatan. Kalau asap masih kelihatan. BPA tidak terlihat tapi secara akumulatif dapat memicu berbagai macam penyakit, ” ungkap Nia Umar dalam Diskusi Publik berjudul Bebaskan Anak, Balita, Bayi dan Janin dari Bahaya Bisphenol A (BPA) – urgensi label Bebas BPA untuk Kesehatan pada acara Selebrasi 23 Tahun Komnas Perlindungan Anak, Selasa (26/10) lalu di Aula Komnas Perlindungan Anak jalan TB Simatupang no 33 Pasar Rebo Jakarta Timur.
Tidak hanya anak-anak, menurutnya bahaya BPA ini juga mengancam kepada ibu hamil dan lingkungan. “Bahaya BPA ini berdampak bagi tubuh ibu hamil dan menyusui. Bagi yang menyusui, risiko yang ditimbulkan adalah ASI yang diminum bayi akan mengandung BPA sehingga bisa jadi si bayi ini tidak mau lagi menyusui melalui payudara ibu mereka,” ucap Nia Umar.
BPA dapat mengganggu kerja endokrin dan meniru esterogen. Bahkan Laporan Program Toksikologi Nasional AS pada 2008 menyatakan keprihatinannya atas efek BPA kepada otak dan perilaku dan kelenjar prostat pada janin.
Oleh sebab itu, Nia mengimbau masyarakat berhati-hati dan memperhatikan kesehatan tubuh karena BPA ini telah ada diberbagai kemasan, mulai dari plastik, kaleng, dan galon. Dari tiga kemasan tersebut yang perlu diperhatikan adalah galon air minum.
“Galon ini harus kita perhatikan, misal air diambil dari Sukabumi lalu dimasukan ke galon dan diangkut menggunakan mobil. Di mobil galon ini akan terpapar panas matahari dan belum lagi ketika sampai di supermarket atau minimarket juga akan terjemur panas matahari. Kejadian ini dapat membuat BPA larut dan masuk ke dalam air minum,” jelasnya.
Sementara sifat BPA ini akan terjadi migrasi, apabila terkena panas secara berulang-ulang dan terjadi gesekan atau goresan. Belum lagi saat pemindahan dari truk ke depo –depo ini sangat mungkin timbulnya gesekan. Nah BPA yang terdapat dalam galon guna ulang ini kemudian migrasi ke dalam air tersebut kemudian berpindah ke botol susu bayi, atau piring makanan bayi.
Jika larut dan air minum yang terkandung BPA ini masuk ke dalam tubuh, maka sel kanker dapat dipicu untuk hidup dan membuat risiko terjadinya kanker semakin tinggi. Sehingga hal tersebut adalah catatan penting untuk seluruh elemen masyarakat.
Oleh sebab itu dia menjelaskan, hal yang perlu dilakukan agar tidak mengonsumsi makanan yang mengandung BPA adalah gunakan kemasan bebas BPA. Dan pemerintah harus memuat regulasi yang lebih ketat dalam penggunaan kandungan BPA pada kemasan makanan ataupun minuman.
Lantas bagaimana dengan sikap pemerintah? Menurut Arzeti Bilbina, SE, M.A.P anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB memberikan angin segar. Pemerintah menyambut positif. Bahkan DPR RI telah melakukan rapat kerja dengan BPOM. Pada tahun anggaran 2022 pemerintah akan mengalokasikan untuk sosialisasi bahaya BPA.
Arzeti sosok anggota dewan yang juga gencar mengkampanyekan bahaya BPA. Dan setuju jika kemasan plastik makanan dan minuman harus free BPA.
Senada dengan Nia Umar dan Arzeti, Ketua Komisi Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait dengan tegas menyatakan kekecewaan atas lambannya pihak BPOM yang tidak segera memberi label pada galon guna ulang yang jelas mengandung BPA.
“Saya sudah beberapa kali menjadi narasumber webinar tentang pelabelan BPA. Dan BPOM masih lambat dalam menetapkan revisi PERKA label. Di banyak negara, BPA pada kemasan sudah dilarang. Sepertinya saya mencium upaya untuk menggagalkan rencana BPOM merevisi PERKA label terkait BPA pada kemasan galon isi ulang dan memasang label peringatan pada keasan plastik yang mengandung BPA. Salah satunya ada upaya untuk tidak mencantumkan label peringatan BPA pada kemasan galon isi ulang berbahan PC dengan kode plastik No7, dengan mensyaratkan batas ambang.
Seharusnya tidak ada toleransi batas ambang terkait kemasan yang mengandung BPA untuk bayi, balita dan janin pada ibu hamil. Jangan sampai upaya ini malah menyesatkan bagi konsumen, BPA tetap racun. Migrasinya tidak layak dikonsumsi oleh usia rentan,” papar Arist Merdeka.
Arist bertekad tidak akan surut dalam memperjuangkan kesehatan bagi anak, bayi, balita dan janin. Tuntutannya jelas agar BPOM segera memberi label pada galon guna ulang berbahan PC dengn kode plastik No.7 yang nyata-nyata mengandung BPA.
“Jadi perjalanan BPA atau migrasi BPA itu awalnya dari galon guna ulang, migrasi ke air. Gara-gara proses pencuncian galon di pabrik, dan saat dibawa dari pabrik ke distributor sudah terjemur matahari. Masuk ke toko-toko dijemur matahari lagi. Padahal BPA mudah bermigrasi bila terjadi pemanasan maupun gesekan,” ungkap Arist Merdeka.
Selesai acara Selebrasi 23 Tahun Komnas Perlindungan Anak, Arist bertekad akan melakukan audiensi dengan pihak BPOM akan menanyakan alasan kenapa lama proses dari revisi PERKA label pada kemasan pangan. (*/mons)