Kolom
Mengenang Bapak Kemerdekaan
Oleh Sri Iswati
PERAN Bung Karno dan Bung Hatta sangat sentral dalam mencapai Indonesia merdeka. Namun di sini saya bicara Sukarno saja, meski keduanya proklamator kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai.
Selain itu, karena kisah dan pergulatan Bung Karno yang panjang terkait nasionalisme, dan dia pun tokoh penggali Pancasila, mutiara perekat bagi bangsa yang sangat prural. Namun hari-hari akhir sang tokoh sangat tragis. Sunyi dan sepi. Dijauhkan dari keluarga dan rakyatnya. Itulah penjara batin yang memilukan, lebih menyakitkan dibanding penjara yang dialaminya belasan tahun di masa penjajahan Belanda.
Hari-hari sunyi yang dijalani Tokoh Pejuang Kemerdekaan ini di akhir hayatnya mau tak mau mendorong ingatan kita terangkai pada situasi kelam tragedi kemanusiaan 1965, Gerakan 30 September, dan rentetannya hingga tahun 1970-an yang membuat luka dalam bangsa Indonesia. Lalu, selama beberapa dasawarsa selanjutnya kita “harus melupakan” kiprah Bung Karno dalam panggung sejarah republik ini.
Bukan hanya tragedinya yang begitu kelam dari sisi kemanusiaan, namun dari kaca mata hukum pun hingga kini masih buram. Karena tiada mahkamah pengadilan yang digelar terhadap siapapun yang disangka, atau diisukan bersalah. Hanya satu cara yang dilakukan, jutaan orang “dihilangkan” oleh sesama bangsa dan setanah air. Sementara yang tersisa terpenjara oleh keadaan.
Sebagai insan dan bangsa pemaaf, kita menyadari, suatu kemestian telah terjadi, dan tak bisa kita ingkari bahwa kita pernah menenggelamkan pilar sejarah dari kisah berdaulatnya republik ini.
Tragis dan miris memang, bahwa Bung Karno, pemeran utama dari wujud eksistensi kita menjadi bangsa merdeka serta pengakuan dunia internasional atas tegaknya negara kesatuan Indonesia, “harus dilupakan”. Benar-benar dilupakan, bagaimana kiprah dan peran Bung Karno di era pergerakan pemuda, dalam peperangan mencapai kemerdekaan, hingga revolusi sesudah kemerdekaan pun sepi dari pembicaraan.
Ajaran-ajarannya seperti dilupakan, termasuk kalangan pendidikan pun bungkam. Sekadar mengutip kata-kata bijak atau pendapat Bung Karno di masa penjajahan kolonial saja juga takut.
Selama puluhan tahun, atau satu generasi kita tak berani membincangkan tokoh kemerdekaan ini. Tapi ketakutan, diam, dan bungkam itu wajar. Sebab semua institusi dan perorangan tak boleh menyimpan buku-buku karya Bung Karno di perpustakaan atau di lemari-lemari buku. Risikonya berat jika melanggar, bisa dituduh prokomunis atau melakukan tindakan subversif
Namun Bapak Kemerdekaan yang juga Presiden pertama RI ini jauh waktu sebelumnya pernah berkata bahwa sejarahlah yang akan membersihkan namanya. Meski ketika mengatakan ini dalam konteks menangkal tuduhan sebagai kolaborator Jepang atas terjadinya kerja paksa .
Terkuburnya nama besar sang tokoh selama puluhan tahun tentu terjadi karena situasi politik dan kebijakan suatu rezim. Bukan dilatari fakta atau putusan pengadilan yang memvonis bahwa ia bersalah atau tidak. Karena, meskipun Bung Karno meminta digelar saja sidang pengadilan, penguasa kala itu menolaknya.
Setelah pemerintahan orde baru berakhir, buku-buku Bung Karno beredar kembali. Bahkan bermunculan buku-buku baru yang mengupas tentang ketokohan Bung Karno dari bermacam dimensi.
Langkah Sejarah
Sejarah anak manusia, atau suatu peradaban dari jaman ke jaman selalu mencari caranya sendiri untuk menyatakan diri dan membuktikan fakta maupun kebenaran terhadap generasi masa depan. Itu bisa terjadi setelah puluhan tahun bahkan berabad kemudian. Nabi, sabda orang-orang suci, wali, atau orang-orang terpilih lainnya, alamlah yang turut membantu untuk menjaga dan mengejahwantahkan “pesannya”, sehingga kebenaran sabda dan fakta bisa terungkap.
Begitu pun sebaliknya, pengkhianatan, atau upaya menjungkirbalikkan fakta/ sejarah, dan pelbagai tipu daya pun bisa tersingkap. Kadang bisa lewat kajian ilmiah, atau temuan fakta-fakta empiris dari dokumen serta rahasia yang tercecer, ataupun sekadar celotehan-celotehan dari ketidaksengajaan. Atau bisa jadi dari kearifan dan keadilan alam sendiri. Bukankah dalam setiap kesadaran dan di ujung keterbatasan…, saat pemahaman mentok…, kita sering berkata, “Tuhan tidak pernah tidur. “
Untuk Kemerdekaan
Bung Karno, lebih dari separuh usianya yang hampir 70 tahun, hidupnya untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Bahkan hingga direbutnya kembali Irian Barat (Tanah Papua) 1963 ke pangkuan Ibu Pertiwi. Selama dua belas tahun di usia terbaik seorang laki-laki ia habiskan dalam penjara dan pengasingan.
Keyakinannya begitu kuat, tekadnyapun teguh bahwa ia dilahirkan untuk memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya. /Mau tidur pikiranku hanya kemerdekaan./Bangun tidur cita-citaku hanya kemerdekaan/Begitulah yang tertulis dalam biografinya, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Karena itu langkah-langkahnya tak pernah goyah oleh ancaman maut dan belenggu siksa dinding-dinding penjara.
“Aku masuk penjara untuk memperjuangkan kemerdekaan, dan aku keluar dengan tujuan yang sama.” Tekadnya demikian membaja.
Bahkan dinyatakan bahwa kebahagiannya adalah perjuangan menggapai kemerdekaan bersama bangsanya.
/Aku tidak begitu memikirkan benda-benda duniawi seperti uang. Hanya orang yang tak pernah menghirup apinya nasionalisme dapat larut dalam hal-hal sepele seperti itu./
Memang, era yang berbeda, melahirkan pula cita-cita berbeda pada setiap generasi. Namun kemerdekaan dan kedamaian adalah ciita-cita manusia sepanjang zaman. Betapa agungnya nilai kemerdekaan.
Kini kita memasuki suasana peringatan Hari Kemerdekaan, 17 Agustus, namun hari-hari itu kadang berlalu begitu saja. Tanpa kesan yang bermakna.Tak menorehkan manifestasi dari upaya-upaya pemupukan nasionalisme atau membangun makna bahwa kemerdekaan itu sesuatu yang mewah dan mahal, dibangun dengan cucuran darah dan air mata.
Jadi bayangkanlah, ketika hari-harimu dalam tekanan penguasa, sementara kau saksikan jutaan rakyat dalam kemiskinan, saat itu kau pasti merasakan, betapa kemerdekaan dan kebebasan merupakan kemewahan yang sangat kau rindukan. ***