Kolom
Literasi Khalayak di Era Industri 4.0
Oleh Husin Yazid, Program Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Mengacu Webster Dictionary, The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization atau Elizabeth Sulzby, literasi dimaknai sebagai kemampuan seseorang dalam membaca dan menulis secara literal dan fungsional. Sedangkan khalayak merupakan salah satu unsur dari proses komunikasi. Problemnya, kemampuan literasi khalayak di era industri 4.0 dan terlebih dikaitkan dengan Pilkada 2020, masih lemah. Oleh karena diperlukan gerakan literasi yang arahnya pada terwujudnya khalayak khususnya pemilih berintegritas.
Secara sederhana, kata khalayak/audiensi yang diterjemahkan dari kata “audience” secara sejarah berasal dari kata audire yang berarti mendengar dalam bahasa Yunani. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, khalayak diartikan—salah satunya—sebagai “kelompok tertentu dalam masyarakat yang menjadi sasaran komunikasi”. Pengertian tentang khalayak mengalami dinamika. Sebelum sebelum ada media massa, khalayak atau audiens dimaknai sebagai sekumpulan penonton drama, permainan dan tontonan. Setelah ada kegiatan komunikasi massa, audiens sering diartikan sebagai penerima pesan-pesan media massa.
Menurut McQuail, penyebutan khalayak lebih condong mendekati konsep “penerima”. Konsep khalayak merujuk pada sekelompok pendengar atau penonton yang memiliki perhatian, reseptif, tetapi relatif pasif dan bersifat publik. Sedangkan Cangara menyebut khalayak sebagai pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh sumber—yang dapat berupa satu orang atau lebih, kelompok, partai, bahkan negara. Penerima merupakan elemen penting dalam proses komunikasi karena merupakan sasaran komunikasi. Khalayaklah yang akan mencerna dan menerjemahkan pesan yang disampaikan dan atau meneruskan pesan tersebut sesuai dengan tujuan dari proses komunikasi yang terjadi
Dalam komunikasi politik, khalayak adalah sejumlah besar orang yang menerima pesan-pesan politik yang disampaikan melalui media (media massa, media baru, dan media sosial). Dalam Pilkada, misalnya, khalayak politik dipandang sebagai penerima pesan adalah masyarakat pemilih. Dalam pandangan Firmanzah, pemilih adalah semua pihak yang menjadi tujuan utama para kandidat politik untuk dipengaruhi dan diyakinkan agar mendukung serta memberikan hak suaranya. Changara mengingatkan, khalayak tidak boleh diabaikan sebab menentukan berhasil tidaknya suatu proses komunikasi sangat ditentukan oleh khalayak.
Secara umum khalayak dikategorikan menjadi dua, yakni: Pertama: massa. Massa pada dasarnya adalah sekumpulan orang yang mengalami kejadian tertentu tanpa memperhitungkan keberadaan dan lokasi mereka; yang menyatukan mereka adalah kesamaan pengalaman atas suatu kejadian tertentu. Massa mengikuti jalannya aktivitas yang melibatkan perhatian mereka. Perlu diingat bahwa massa timbul karena perkem bangan teknologi media (radio, televisi, internet) yang memungkinkan banyak orang di banyak wilayah mengikuti kejadian yang sama melalui media massa tersebut.
Ledakan Pengguna Internet
Dalam era apa yang oleh Mark Poster disebut dengan demokrasi siber (cyber democracy), media virtual atau media siber menjadi medan utama bagi khalayak, penerima, sasaran, pendengar, audience, atau komunikan dalam melakukan interaksi untuk berbagai kebutuhan. Hal ini dilakukan karena media virtual lebih mudah dan murah untuk digunakan. Tidak mengenal pembatasan (borderless) oleh karena perbedaan atau keterpisahan tempat, waktu, status ekonomi, pangkat, jabatan, ideologi, afiliasi politik dan sebagainya.
Sementara Gilardi menyebut fenomena ini sebagai digital democracy atau demokrasi digital, yakni: suatu proses demokrasi yang disokong oleh teknologi digital dan pada gilirannya memengaruhi proses demokrasi itu sendiri mulai dari mobilisasi politik, strategi kampanye, polarisasi opini publik, hingga perangkat dan saluran tata kelola pemerintahan pun mulai berubah. Sedangkan Hacker dan Dijk menyebut, demokrasi digital merupakan sebuah kumpulan usaha untuk melaksanakan demokrasi tanpa dibatasi oleh ruang, waktu dan kondisi fisik.
Manuel Castells seorang profesor Sosiologi dari University of Catalunya menyebut hal tersebut sebagai fenomena masyarakat abad 21 dengan masyarakat jejaring (network society). Masyarakat jejaring adalah masyarakat yang struktur sosialnya adalah jaringan dengan mikro-elektronik berbasis informasi digital dan teknologi komunikasi. Implementasinya masyarakat digital melakukan interaksi tidak hanya bertatap muka, hadir secara fisik, ragawi, seperti masa lalu, tetapi virtual melalui Medsos.
Di media virtual khususnya media sosial (Medsos), komunikasi dan interaksi tidak sekadar memberikan komentar semata. Khalayak diberikan ruang yang bebas untuk menyampaikan pendapat, kritik, saran, atau sekadar mengunggah foto profile untuk menunjukkan keberadaan dan statusnya sekarang. Medsos menjadi ruang publik (public sphere) yang dapat diakses oleh pengguna lain dan terbuka peluang terjadinya interaksi secara bebas.
Tidak mengherankan manakala kini terjadi ledakan luar biasa dalam penggunaan internet dan Medsos oleh khalayak di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Bahkan Indonesia menempati urutan kelima sebagai pengguna terbesar di dunia. Mengacu laporan We Are Social, pada 2020 disebutkan ada 175,4 juta khalayak pengguna internet di Indonesia. Dibandingkan tahun sebelumnya, ada kenaikan 17% atau 25 juta khalayak pengguna internet di negeri ini.
Jika penduduk Indonesia berjumlah 272,1 juta jiwa, artinya 64% setengah penduduk RI telah merasakan akses ke dunia maya. Persentase khalayak pengguna internet berusia 16 hingga 64 tahun yang memiliki masing-masing jenis perangkat, di antaranya mobile phone (96%), smartphone (94%), non-smartphone mobile phone (21%), laptop atau komputer desktop (66%), table (23%), konsol game (16%), hingga virtual reality device (5,1%).
Pada laporan ini juga diketahui, saat ini masyarakat Indonesia memiliki ponsel sebanyak 338,2 juta. Dari jumlah itu, 160 juta pengguna aktif Medsos. Bila dibandingkan dengan 2019, pada 2020 We Are Social menemukan ada peningkatan 10 juta orang Indonesia yang aktif di Medsos. Bila dibandingkan dengan 2019, maka pada tahun ini We Are Social menemukan ada peningkatan 10 juta orang Indonesia yang aktif di Medsos.
Adapun Medsos yang paling banyak digandrungi oleh khalayak pengguna internet Indonesia dari paling teratas adalah YouTube, WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter, Line, FB Messenger, LinkedIn, Pinterest, We Chat, Snapchat, Skype, Tik Tok, Tumblr, Reddit, Sina Weibo. We Are Social juga mengungkapkan rata-rata kecepatan koneksi internet mobile hanya sekitar 13,83 Mbps, sedangkan rata-rata kecepatan koneksi internet fix di angka 20,11 Mbps.
Ditinjau dari sisi penggunaanya, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2019 mencatat bahwa khalayak pengguna internet di Indonesia paling banyak mengakses konten video, chating dan Medsos, serta aktivitas jual beli online. Data ini tidak jauh berbeda dengan 2019. Yakni: 89,4% masyarakat menggunakan internet untuk mengakses aplikasi percakapan atau chatting. Selain itu, 87% pengguna memanfaatkan internet untuk menakses Medsos seperti Facebook, Twitter dan Instagram.
Tidak Optimal
Secara hirarkis, khalayak sekurangnya dibagi ke dalam lima jenis tingkatan. Yakni: (1) tidak peduli/abai (unaware) dengan segala bentuk kampanye, (2) tahu/sadar (aware) dengan segala bentuk kampanye, (3) mengerti (comprehend) dengan segala bentuk kampanye, (4) yakin (convince) dengan segala bentuk kampanye yang dilakukan kandidat, dan (5) tergerak (action) untuk menindaklanjuti segala bentuk kampanye.
Meskipun terjadi ledakan pengguna internet dan Medsos di era industri 4.0 ini, kesadaran penggunaannya masih belum menggembirakan, khususnya pada kampanye Pilkada 2020. Berdasarkan catatan Bawaslu, kampanye digital di Pilkada 2020 tidak optimal. Pada 10 hari pertama kampanye, tercatat 69 kampanye digital. Pada 10 hari kedua, naik menjadi 98 kampanye digital. Periode berikutnya, menurun menjadi 80 kegiatan, dan pada 10 hari keempat berkurang lagi menjadi 56 kegiatan kampanye digital.
Melihat statistik tersebut, jika diasumsikan satu pasangan calon melakukan satu kali kampanye digital selama periode 10 hari, hanya 7,5% yang menjumpai khalayak calon pemilihnya melalui dunia maya. Artinya, lebih 90% pasangan calon yang masih memilih kegiatan kampanye tatap muka. Dampaknya, Bawaslu banyak menemukan pelanggaran terhadap protokol kesehatan (Prokes) Covid-19, yakni hingga mencapai 1.315 kasus.
Yang menjadi persoalan bukan sekadar hanya angka 7,5% yang menjumpai khalayak calon pemilihnya melalui dunia maya. Sementara dari jumlah sebesar itupun masih harus diverifikasi: apakah jumlah 7,5% hanya berasal dari kerabat terdekat kandidat dan tim sukses atau mampu menyedot khalayak luas. Dari khalayak luas juga masih perlu dipertanyakan: apakah merupakan khalayak yang dimobilisasi (bahkan difasilitasi kuota pulsa internetnya) atau khalayak yang secara sukarela (mandiri) memang ingin mengikuti kampanye virtual.
Lebih jauh lagi, perlu diteliti konfigurasi tingkatan atau hirarki kognisi dan afeksi khalayak. Yang menyangkut aspek kepedulian, tingkat pengetahuan dan kesadaran, tingkat kemengertian, tingkat keyakinan, dan tingkat tergerak (action) untuk menindaklanjuti kampanye yang dilakukan oleh kandidat dan juru kampanye. Tanpa riset akademik dan empirik secara spekulatif dapat dikatakan, tingkat literasi khalayak dalam proses kampanye, masih rendah.
Lebih dari itu, khalayak masih dominan berada pada posisi sebagai obyek dan marjinal. Sasaran sasaran berbagai bentuk persuasi, kampanye, propaganda dan sebagainya yang dilakukan oleh kandidat dan juru kampanye. Sebenarnya, kampanye di media virtual memberikan peluang terjadinya demokratisasi sehingga kampanye dapat berlangsung secara interaktif dan dialogis. Namun dalam praktiknya, hal tersebut belum dapat diwujudkan. Dominasi kandidat atau calon pemimpin terhadap rakyat sebagai khalayak terlalu dominan.
Masih ingat kasus Ketua DPR Puan Maharani mematikan mikrofon saat anggota Fraksi Partai Demokrat menyampaikan penolakan atas RUU Omnibus Law di rapat paripurna DPR RI pada 5 Oktober 2020? Hal semacam itu bisa akan jauh lebih bisa dan mudah dilakukan dalam proses komunikasi melalui dunia maya. Misalnya ketika dilakukan kampanye virtual yang dihadiri oleh khalayak. Ketika ada khalayak yang tidak disukai nara kandidat atau juru kampanye, dengan mudah aksesnya dimatikan oleh admin Webinar.
Literasi Digital
Mencermati terjadinya distorsi antara kemajuan teknologi digital di era industri 4.0 serta penggunaanya di ruang publik, khususnya kalayak pemilih di Pilkada 2020, mengharuskan kita semua untuk melakukan penguatan literasi baik konvensional maupun digital. Secara konvensional, harus dibangun hubungan dialogis, interaktif dan komunikatif antara elit politik atau kandidat saat kampanye Pilkada.
Sementara pada literasi digital, sebagaimana dikatakan Gilster, harus terus ditingkatkan kemampuan khalayak untuk memahami serta menggunakan informasi dari berbagai format. Bukan hanya kemampuan untuk membaca saja melainkan dapat mengerti makna yang terkandung di dalamnya. Tentu hal ini hal ini jauh lebih sulit dilakukan daripada literasi secara konvensional.
Untuk mengembangkan literasi digital, Douglas A.J. Belshaw menyebut, setidaknya terdapat delapan elemen esensial yang harus dimiliki diantaranya: (1) Kultural yakni: pemahaman ragam konteks pengguna dunia digital; (2) Kognitif, yaitu daya pikir dalam menilai konten; (3) Konstruktif, yaitu reka cipta sesuatu yang ahli dan aktual; (4) Komunikatif, yaitu memahami kinerja jejaring dan komunikasi di dunia digital; (5) Kepercayaan diri yang bertanggung jawab; (6) Kreatif, melakukan hal baru dengan cara baru; (7) Kritis dalam menyikapi konten; dan (8) Bertanggung jawab secara sosial.
Dari pandangan ahli komunikasi tersebut memberikan sinyal dan dorongan kepada kita semua untuk terus melakukan gerakan literasi politik di Indonesia baik secara konvensional maupun digital dengan tujuan membentuk khalayak dan khususnya lagi pemilih rasional dan kritis. Bukan pemilih yang skeptis dan apalagi pragmatis. Gerakan ini hanya akan berhasil jika dilakukan secara massif oleh pemerintah, Penyelenggara Pilkada, partai politik, kalangan kampus, interest and pressure group, media massa dan lain sebagainya. (*)