Feature
Kisah Angkringan Melawan “Penjajah”
ALKISAH, bangsa kita masih terjajah. Ketika itu, pemilik sah negeri yang disebut inlander, susah mencari nafkah. Di antara pencari nafkah adalah penjual nasi bungkus dan wedang pikulan. Kondisi ini bahkan masih terjadi ketika Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.
Syahdan, sekira tahun 50-an, seseorang bernama Pairo dari Klaten Jawa Tengah, merantau ke Yogyakarta demi mencari nafkah. Ia berjualan wedang, nasi bungkus, aneka lauk di atas pikulan berkeliling kampung. Ketika usia merambat senja, ia tidak lagi berjualan keliling, melainkan mangkal di sekitar stasiun Tugu, Yogyakarta. Hingga wafatnya, warung yang kemudian disebut angkringan itu, dikenal sebagai angkringan Mbah Pairo. Kini, usahanya diteruskan generasi kedua, Lek Man.
Benarkah Mbah Pairo sebagai perintis angkringan di Kota Gudeg? Selagi belum ada riset tentang itu, anggap saja itu benar. Yang jelas, “ngangkring” sudah menjadi semacam budaya khas Yogya, bahkan jika ditelaah lebih jauh, diam-diam angkringan dengan segala pernak-perniknya, sedang menghadapi “penjajah”, resto-resto franchise dari Barat.
Kata penjajah memang harus diberi tanda-kutip, untuk menandakan, bahwa kata itu bermakna kiasan. Kiasan untuk segala sesuatu yang “bukan asli Indonesia”, baik produknya maupun budayanya. Cekak-aos, singkat-kata, angkringan dengan budaya ‘ngangkring” di satu sisi, dan segala resto franchise dengan segala budaya impor di seberangnya,
Dalam kosa-kalimat tegur-sapa masyarakat Yogya, jamak orang bertanya, “Wis ngangkring durung?” (Sudah ngangkring belum?). Ngangkring, artinya duduk jajan menikmati minuman atau makanan di sebuah warung angkringan, baik di pinggir jalan dalam warung bertenda plastik, ataupun dalam sebuah bangunan.
Dari kata “ngangkring” itulah istilah angkringan berasal. Padanan yang mirip barangkali nongkrong. Angkring, nongkrong. Angkringan, tongkrongan. Tempat berjualan makanan dan minuman yang telah mengalami evolusi dari pikulan ke warung tenda plastik, bahkan masuk ke bangunan permanen. Yang lebih hebat, angkringan dikemas ala café.
Menjadi tidak masalah soal bentuk tempat berjualan. Sebab, penekanannya memang bukan pada tenda, warung, atau bangunannya, tetapi pada budaya ngangkring-nya. Di mana pun konsep angkringan diletakkan, ciri khasnya tidak akan pernah hilang.
Ciri utamanya adalah pada sego kucing. Nasi sekepalan tangan bayi, dengan sejumput lauk ala kadarnya: Teri, tempe orek, dan lain-lain. Lauk tambahan tersedia dalam bentuk sate telur puyuh, ceker ayam (goreng atau goreng bacem), tempe goreng, tahu, sate usus, atau kepala ayam (goreng atau bacem). Minumnya? Yang khas adalah teh tubruk, teh jahe, jeruk dengan gula batu atau gula jawa. Di sejumlah angkringan, bahkan menyediakan wedang sereh dan wedang uwuh.
Belum lengkap mengunjungi Yogyakarta kalau belum ngangkring. Ngangkring bukan hanya mengenyangkan perut, ada kalanya juga mengenyangkan jiwa. Betapa tidak, di kedainya wong cilik ini, tergelar budaya kebersamaan, budaya runtuhnya sekat gap ekonomi dan profesi serta status sosial.
Tahun 70-an, tahun 80-an, kita masih menjumpai situasi di angkringan berisikan tukang becak, tukang parkir, mahasiswa, dosen, seniman dan pengusaha sekaligus. Letak kursi kayu panjang, menyebabkan semua pengunjung duduk di baris bangku yang sama. Jika ada yang merasa kurang dekat ke meja, maka tanpa ragu dia akan berdiri dan mengajak tamu yang lain sama-sama berdiri dan menarik bangku panjang lebih ke depan. Mendekat ke arah meja tempat segala hidangan tersaji.
Ada kalanya, jika pengunjung ramai, harus rela duduk berhimpit-himpit. Tangan silang-menyilang ketika yang satu mengambil lauk di ujung nampan, tamu lain menjumput lauk di nampan lain lagi. Semua mengalir tanpa basa-basi dan sungkan.
Begitu pula ketika ada satu-dua orang terlibat obrolan, tidak ragu pengunjung lain nimbrung tanpa harus memperkenalkan diri terlebih dahulu. Karena itu, ngangkring di angkringan, benar-benar kenyang jiwa-raga. Selain menu makanan yang komplet –dan tentunya murah-meriah—obrolan yang bergulir, ada kalanya melompat dari satu topik ke topik lain, tanpa ada moderator.
Sesekali, penjual sambil menggoyangkan kipas menyalakan bara arang, ikut nimbrung dalam obrolan hangat. Di mana Anda bisa jumpai, tukang becak bicara politik dengan seorang dosen? Cuma di angkringan. Pendek kata, segala topik bisa mengalir menghadirkan simfoni dinamika bangsa, hingga hiruk-pikuk rumah tangga, serta melodrama percintaan.
Pokoknya, obrolan bermutu sampai hoax bisa terjadi di angkringan. Obrolan reliji sampai porno, berseliweran di angkringan. Semua mengalir begitu saja. Ketika Anda keluar dari tenda angkringan, Anda akan masuk ke dunia yang lain. Sedangkan dunia angkringan, tetap tertinggal asyik di sana.
Belakangan, warung angkringan tidak hanya ada di Yogya, Solo dan sekitarnya. Warung angkringan bisa kita jumpai di kota-kota besar lain di Indonesia. Di berbagai sudut Ibu Kota Jakarta misalnya, mulai muncul warung angkringan. Ia hadir sebagai alternatif kedai pecel lele Lamongan yang menjamur. Beberapa kafe di luar Yogya, tidak sedikit yang mulai menjalankan konsep angkringan.
Sayang, ekspansi angkringan tidak semasif “lawan”-nya, resto-resto impor ala franchise. Resto seperti McD, KFC, dan sejenisnya, menjamur. Tidak saja menawarkan makanan yang berbeda dengan angkringan, tetapi juga budaya yang berbeda.
Makan di resto franchise itu, penuh dengan aturan sesuai SOP masing-masing. Antre, pilih menu, bayar, baru pilih tempat duduk untuk makan. Jika Anda datang sendirian, dijamin tidak akan ada pembeli lain yang duduk mendekat, kemudian mengajak ngobrol. Jika Anda datang berdua, bertiga atau berempat, Anda akan duduk di satu meja dengan dua, tiga, empat kursi. Tidak akan ada interaksi dengan pengunjung di meja-kursi sebelah. Kaku. Sunyi. Hanya perut yang terisi.
Di negara asalnya sendiri, makanan ala Barat itu disebut junk food, yang artinya makanan bergizi rendah. Akan tetapi dengan kemasan lifestyle dan ruangan yang sejuk ber-AC, masyarakat rela mengonsumsi makanan rendah gizi dengan harga yang lima-enam kali lipat lebih mahal dari menu angkringan. Dalam situasi itulah, angkringan tampak seperti pejuang lemah yang tengah berjuang melawan penjajah.
Selamat berjuang, kring…. Angkring…. ***