Kuliner
Ingkung Ayam di Rerimbunan Pandan
PERNAH dengar istilah ayam ingkung? Ayam kampung yang dimasak secara utuh (tidak dipotong-potong). Masyarakat Jawa sangat akrab dengan tradisi ingkung. Menu ini, biasanya disajikan pada momen-momen penting keagamaan atau perayaan hari penting. Pendek kata, kalau ada ayam ingkung, artinya ada acara istimewa.
Itu dulu. Sejarahnya memang begitu. Berasal dari kata “manekung” atau khusuk berdoa kepada Gusti Allah, tidak heran jika menu “ayam ingkung” bagi telinga orang Jawa kebanyakan, mendesirkan perasaan tertentu.
Kini, ayam ingkung bisa Anda nikmati kapan saja di Yogyakarta. Di kota istimewa ini, ada sejumlah rumah makan yang menyajikan menu spesial ayam ingkung. Ada ingkung ayam mbah Cempluk, Ingkung Grobog, Ingkung Kuali Tamsis, dan sejumlah warung ingkung ayam lain. Kita singgah di Waroeng Pohon Omah Sawah.
Waroeng Pohon terletak di Jl. Parangtritis KM 6, Sewon – Bantul, DI Yogyakarta. Patokannya gampang, setelah Polsek Sewon (dari arah kota), belok ke kanan 50 meter. Lebih gampang lagi kalau memakai aplikasi navigasi online semacam waze atau google map. Resto ini baru bercokol beberapa tahun terakhir. Meski begitu, resto yang berada di tepi sawah ini viral belakangan.
Dari depan, tidak tampak luas. Begitu masuk, baru terasa betapa area resto yang mirip rumah kebun itu lumayan luas. Tak jauh dari pintu masuk, ada pajangan moge klasik BMW buat ajang selfie pengunjung.
Memandang area sekeliling, tampak tempat makan dua model, lesehan dan meja. Area makannya juga ada dua jenis, open space dan di ruang beratap. Saking rindangnya pohon-pohon yang ada, maka sekalipun Anda datang di jam makan siang dan memilih duduk di area terbuka, dijamin tidak akan tersengat matahari.
Sebaliknya, sinar matahari yang menerobos melalui celah-celah dedaunan, tampak membentuk garis-garis cahaya yang indah. Jika angin semilir bertiup, dan dedaunan bergesekan, maka bias sinar itu pun bergerak dan berpindah-pindah tempat secara berirama.
Sebaliknya, jika Anda memilih makan di area beratap, tidak mengapa. Tinggal pilih yang bermeja atau lesehan. Bahkan, ada satu ruang di atas, mirip menara kastil. Sedang ruang-ruang di bawah, umumnya dibuat tanpa dinding yang penuh, karenanya tanpa jendela dan pintu. Setengah terbuka. Artinya, sekalipun makan di ruang beratap, masih tetap bisa menikmati rerimbunan pohon, serta semilirnya angin tepi sawah.
Di beberapa ruangan, tampak dinding ornamen unik di dinding. Bukan cat atau hiasannya, melainkan tempelan batu-batu karst (kapur) yang rapi, sehingga menimbulkan efek kuno. Beberapa spot, tampak sepeda onthel digantung di dinding batu. Kerangka besi sepeda onthel juga digunakan sebagai kaki meja makan. Sedang yang lesehan, disediakan tikar pandan sebagai alas duduk.
Bicara pandan, jadi ingat tentang betapa lokasi itu dipenuhi pohon pandan yang sepertinya sudah berumur lebih dari lima tahun. Tinggi pohon pandan rata-rata di atas tiga meter. Akar-berakar yang menjuntai menjadikan pemandangan yang unik lagi langka.
Selain pohon pandan, tampak ada satu pohon besar bernama keben. Sebagian orang menyebutnya pohon ketapang. Keduanya memang sejenis, tetapi ada sedikit perbedaan. Pada daun-daun yang lebar, pohon keben bertekstur doff, sedangkan daun ketapang berdaun glossy (mengkilap). Ya hanya itu bedanya. Sebab, jenis buahnya sama, mirip stupa terbalik. Unik memang.
Tak jauh dari pohon keben, terlihat pohon maja dengan buah majanya yang pahit itu. Di bagian belakang, tampak beberapa pohon kelapa. Beberapa batang pohon kelapa bahkan seperti menyembul dari bangunan. Ini menandakan, pohon itu sudah hadir lebih dulu, dan bangunan dibuat menyesuaikan dengan aneka pohon yang sudah bercokol. Sebuah konsep rumah makan yang berperikepohonan.
Sudahlah… mengeksplor desain atau konsep eksterior rumah makan ini, tidak akan ada habisnya. Terlalu banyak hal baik yang rasanya penting untuk ditulis. Apa daya, ini tulisan tentang ayam ingkung, bukan?
Sejatinya bukan hanya ayam ingkung. Waroeng Pohon Omah Sawah juga menyediakan menu lain, seperti lele goreng, gurame, dan aneka sayur dan tumisan. Celakanya, yang direkomendasikan oleh teman adalah ayam ingkung. Konon, bukan karena menu lain tidak enak, tetapi karena ayam ingkungnya yang paling enak.
Satu ekor ayam utuh dimasak ala ingkung, dibanderol Rp 120.000. Harga itu sudah termasuk nasi yang cukup untuk tiga-empat orang, plus tiga jenis sambal. Selain sambal terasi, ada sambal ikan-sepat-asin kering, dan sambal kacang. Lalapan berupa timun dan kol diletakkan di atas nasi yang disajikan di dalam anyaman daun kelapa.
Rasanya? Juara. Ayam ingkung yang merupakan ayam kampung, menjanjikan gigitan alot jika tidak dimasak dengan benar. Tetapi ingkung Waroeng Pohon ini benar-benar bersahabat, sekalipun untuk gigi manula. Gurih santan dan aneka bumbu, serta wangi aroma pandan, benar-benar membuat setiap gigitan terasa istimewa.
Nasinya? Ah… ini dia. Teman bilang, nasi di Waroeng Pohon itu “menul-menul”. Agak sulit diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Yang pasti, dimasak dengan bumbu dan komposisi air yang pas, sehingga terasa gurih dalam setiap suapan. Tidak keras dan tidak lengket di sendok, bagi yang makan pakai sendok. Tidak lengket di jemari tangan, bagi yang makan memakai tangan.
Nasi di Waroeng Pohon Yogya, sebenarnya mirip nasi uduk Betawi. Bedanya, nasi di Waroeng Pohon lebih gurih. Menul-menul, orang Yogya bilang…..
Dus, perpaduan ayam ingkung dan nasi-menul-menul Waroeng Pohon, sangat pas. Dijamin Anda akan nambah. Kalau sampai Anda tidak nambah, ada dua kemungkinan. Pertama, Anda sedang diet ketat. Kedua, sungkan dengan teman makan, padahal dalam hati meronta-ronta minta nambah….. ***