Connect with us

Buku & Sastra

Domba-Domba Reformasi

Published

on

Pertaruhan etis

dalam perilaku politik

eksponen Reformasi 1998

Seno Gumira Ajidarma

Berbagai gejala dalam perilaku politik sejumlah eksponen Reformasi 1998, mengingatkan kepada judul lakon yang sampai hari ini masih populer: Domba-Domba Revolusi. Namun seberapa jauh lakon berlatar situasi tahun 1948 itu analog dengan situasi pada 2023 kini?

Pada 1962, naskah drama Domba-Domba Revolusi gubahan B. Soelarto (1936-1992) untuk kali pertama dimuat majalah Sastra, lantas dinyatakan pula sebagai naskah drama terbaik dalam Sastra tahun itu. Dihubungkan dengan perjuangan kemerdekaan, sebagai ‘revolusi fisik’, dapatkah kiranya naskah tersebut dianggap sebagai representasi atas kondisi kemanusiaan—jika bukan manusia Indonesia—yang berlangsung tahun 1948, ketika situasi konflik belum selesai, 14 tahun sebelumnya?

Dalam dunia teater, seperti yang dengan sangat seringnya diungkap Wiratmo Soekito, sebetulnya berlaku prinsip hic et nunc (kini dan di sini): kapan dan di mana pun cerita bermain, peristiwa teater itu berlangsung pada saat pementasan, dengan segenap konsekuensi penafsirannya.

Situasi dramatik di panggung, yang antara lain dibangun konflik, terhubung dengan situasi di luar panggung. Penguasa dalam lakon misalnya, terbandingkan dengan penguasa saat lakon dimainkan, dalam penafsiran publik. Melalui situasi di panggung, publik terlibat ke dalam situasi aktual.

Naskah asli Domba-Domba Revolusi, sebelum dimuat Majalah Sastra pada 1962
(© 1962 B. SOELARTO / PERPUSTAKAAN NASIONAL)

Maka, publikasi Domba-Domba Revolusi mungkin tidak terlalu perlu diberlakukan sebagai dokumen sosial situasi revolusi 1948, melainkan situasi semasa tahun publikasinya, 1962, ketika iklim politik teramati seperti berikut: … perkembangan politik dan konstitusional-institusional di Indonesia dari 1957 sampai awal 1960-an didasarkan atas kesesuaian parsial kepentingan-kepentingan politik, ideologis, pribadi, materiil … (Sundhaussen, 1988: 279).

Apakah analogi yang sama dapat berlangsung, apabila lakon tersebut dimainkan kembali hari-hari ini?            

Pertaruhan Etis dalam Revolusi

Kejadian drama ini berlangsung di sebuah losmen yang dimiliki peran Perempuan. Peran para penginap di losmen itu, terjebak situasi konflik bersenjata, sampai kepada berbagai pertaruhan etis untuk melanjutkan hidupnya. Peran-peran itu adalah Petualang (tukang obat yang memuja akal untuk menipu), Pedagang (yang hidup demi kenikmatan duniawi), Politikus (yang tak ragu mengorbankan rakyat demi spekulasi), dan Penyair (yang lugu sekaligus naif).

Dalam keadaan Kotatengah terkepung musuh, yang nyaris akan menguasainya, dibutuhkan tenaga setiap laki-laki yang sehat untuk mempertahankan kota. Namun imbauan yang nantinya akan diteruskan oleh Penyair itu ditertawakan oleh ketiga peran laki-laki lain, karena makna hidup mereka bukanlah berkorban demi kemerdekaan, melainkan membela kepentingan masing-masing.

Pedagang dan Politikus saling terikat, karena Pedagang mengantongi tagihan atas dana dari pemerintah yang belum turun, dan Politikus itu mempunyai kekuasaan untuk bisa mencairkannya, dengan komisi. Sebagian dari komisi itu bahkan sudah diterimanya. Itulah sebabnya Pedagang dari Kotautara terus menempel Politikus, yang disebut Pemimpin, menuju Kotaselatan, ibu kota darurat tempat dana itu bisa dicairkan. Namun kini mereka terjebak dalam losmen di Kotatengah tersebut, padahal Politikus itu membawa dokumen rahasia.

Akan halnya Petualang, yang juga disebut profesor-tabib, dengan ilmu kibul berhasil membujuk Pedagang itu untuk meninggalkan Politikus, karena tiada artinya mengorbankan nyawa jika sudah kaya di Kotabarat; dan Politikus yang bermaksud mengawini gadis ningrat di Kotautara, dianjurkannya untuk menembus kepungan musuh, dengan jaminan bahwa sang Petualang bisa berdiplomasi.

Dalam kenyataannya kedua orang itu mati tertembak, dalam arti terumpankan: dendam Petualang atas spekulasi Pemimpin yang mengorbankan rakyat terbayar; sedangkan Pedagang yang sudah beristri tiga ditipunya, bahwa akan mendapat Perempuan pemilik losmen, jika surat tagihan dana ke pemerintah diberikan kepadanya.

Dengan surat dan kunci kotak perhiasan milik Pedagang, ia pun kembali ke losmen, merayu Perempuan pemiliknya, yang meski mencintai Penyair tapi lebih mencintai lagi losmen itu, tempatnya mendapat arti hidup. Cinta penyair itu pun tak bisa disambutnya, karena dirinyalah ibu tiri yang meninggalkan ayah Penyair, sehingga hidup Penyair menderita.

Sedangkan minat Petualang itu kepada Perempuan pun menjadi tanda tanya, ketika muncul Serdadu yang menagih janji, seolah Petualang telah menjadikan Perempuan itu bayaran atas nyawanya.

Akhirnya justru Perempuan itulah yang membunuh kedua-duanya, dengan catatan: “Janganlah hanya karena aku secara kebetulan membunuh seorang pengkhianat dan serdadu musuh, lalu aku dinilai sebagai pahlawan.” (Soelarto, 1985: 52).

Semestinya Serdadu (tergeletak, rambut pirang, bertopi baja)
adalah korban terakhir, karena Petualang (berdiri) dibunuh lebih dulu
(© 1967 R. CHANDRA MUSA / BALAI PUSTAKA – Remaster: ERWIN PRIMA ARYA)

Antara Revolusi dan Reformasi

Pengertian revolusi memang perubahan cepat, jika bukan mendadak, sebagai perubahan besar, seperti dalam kasus kemerdekaan Indonesia, walaupun kalau dilihat sejak tahun 1908 (Boedi Oetomo), atau 1928 (Soempah Pemoeda), perubahan kesadaran itu lebih evolusioner.

Adalah perubahan mendadak sejak masuknya Jepang pada 1942, dan konflik bersenjata yang menyusulnya pada Clash I dan Clash II (1945-1949) menghadapi Belanda, melahirkan istilah ‘revolusi fisik’. Ini membuat pemahaman lebih umum sebagai ‘revolusi kemerdekaan’ lantas diterima.

Dalam situasi revolusioner, dan kemapanan nilai terguncang, pertimbangan etis menjadi rawan, karena posisi tak terhindarkan atas oposisi kami dan mereka, sebagai kawan dan lawan, dan seterusnya. Dalam reformasi, walau jelas terbedakan dengan revolusi, dan tiada guncangan meruntuhkan, bahkan oposisi kami dan mereka sebagai kawan dan lawan dihindarkan, pertimbangan etis tetap menjadi batu ujian.

Etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya pikir, untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau ia mau menjadi baik. Dalam klasifikasinya, terdapatlah yang disebut etika situasi, bahwa setiap orang dan setiap situasi adalah unik, sehingga tanggung jawabnya tidak dapat disalurkan melalui norma dan peraturan moral umum. Setiap situasi adalah baru, maka setiap orang dalam setiap situasi harus secara baru dan kreatif menemukan tanggung jawab dan kewajibannya (Magnis-Suseno, 1997: 17, 104-5).  

Dalam Domba-Domba Revolusi, tantangan seperti itulah yang dihadapi para peran: situasi unik di medan konflik. Dalam kebebasan masing-masing, tanggung jawab hanya dapat diberikan oleh peran Perempuan dan Penyair, tentang kesiapan mereka untuk mati dalam pilihan mereka; sedangkan sikap Politikus, Pedagang, dan Petualang, yang mendahulukan kepentingan pribadi, dalam situasi genting bagi perjuangan kemerdekaan bersama, kebebasan pilihan etis mereka tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Domba-Domba Reformasi

Pertimbangan etis para eksponen Reformasi 1998, setelah 25 tahun berlalu, kiranya berada pada posisi-posisi yang juga menuntut pertimbangan etika situasi secara kritis. Bahwa meskipun situasi baru membebaskan untuk bersikap kreatif di luar etika normatif, terdapat postulat yang tak dapat digugurkan dalam padan oposisinal unik: garis pemisah oposisi biner 1998. Tentu menarik untuk mendengar argumen pertanggungjawaban, ketika garis pemisah itu dilangkahi, untuk tidak mengatakan diseberangi.                       

Makna domba-domba dalam drama ini terbaca dari kalimat terakhir Perempuan yang menutupnya: “Tuhanku, ampunilah arwah mereka yang kubunuh dan yang akan membunuh aku. Ampunilah arwah domba-domba revolusi yang sesat!” (Soelarto, op.cit., 52).

Situasi 1948, dari 1962 ke 2023,
drama akan hadir dalam situasi kini dan di sini
(© 1967 R. CHANDRA MUSA / BALAI PUSTAKA – Remaster: ERWIN PRIMA ARYA)

Manusia bagai domba-domba yang digembalakan dalam perjalanan hidupnya. Rupanya dimungkinkan, betapa di antara domba-domba itu ada yang keluar dari kumpulan, dan tersesat.

Perlukah dipentaskan drama baru Domba-Domba Reformasi untuk menyadarkannya?

SENO GUMIRA AJIDARMA
Partikelir

Continue Reading
Advertisement
1 Comment

1 Comment

  1. Rita Sri Hastuti

    September 8, 2023 at 6:08 pm

    Jadi pingin baca bukunya lagi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *