Connect with us

Buku & Sastra

Siasat “Klamono” Hamsad

Published

on

Gubahan Hamsad Rangkuti yang paling kurang dikenal, menyambut Seratus Tahun Perminyakan Indonesia pada 1985. Secara terbatas memperlihatkan kehidupan pertambangan maupun penduduk lokal, dan akibat dari persilangan tak seimbang keduanya. Betapapun, dalam tidaknya intensitas pembacaan akan membedakan kadar resepsi. Diungkap berpanjang-panjang sebagai kompensasi ketersembunyiannya.

SENO GUMIRA AJIDARMA

Sudah lama saya penasaran dan mencari dengan sia-sia gubahan Hamsad Rangkuti (1943-2018) yang berjudul Klamono. Konon suatu cerita yang merupakan assignment  PN Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina), dalam rangka Seratus Tahun Perminyakan Indonesia. Dihitung dari temuan minyak bumi di Pangkalan Brandan, Langkat, oleh Aeilko Janszoon Zijlker pada 15 Juni 1885, peringatan itu jatuh pada 1985. Bukan hanya Pertamina, melainkan juga PT Caltex Pacific Indonesia, merayakannya dengan cara mengundang lima penulis membuka diri, untuk menggali kemungkinan bercerita dari kehidupan pertambangan minyak di berbagai pelosok Indonesia.

Buku itu, Mutiara Hitam dan Empat Novelet Lain (Yayasan Pengarang Indonesia AKSARA, 1985) memuat gubahan Hamsad Rangkuti (Klamono), Saut Poltak Tambunan (Bunyu, Pulau Titik Timur), Asbari Nurpatria Krisna (Sederas Arus Waktu), La Rose (Mutiara Hitam), dan Titiek W.S (Suara dari Rumah). Tentu ini yang menjadi sebab, mengapa Klamono tak dapat saya temukan dalam sekali klik (selain lokasi Klamono nyata di Papua Barat)—yang keluar di internet selalu Mutiara Hitam tanpa penjelasan betapa terdapat Klamono di dalamnya. Penjelasan itu baru terdapat di laman Perpustakaan Negara Republik Indonesia.

Tulisan Hamsad saya kenali bersifat karikatural, ironis, dengan humor-hitam yang getir; maka saya sungguh tergoda untuk memeriksa, bagaimanakah penulis seperti ini akan bersiasat, dalam mengolah tawaran menulis “kehidupan pertambangan” seperti dimaksud.

Enam Belas Bagian Panjang Pendek

Hamsad membagi naratifnya dalam 16 bagian, yang tidak sama panjang pendeknya, sesuai dengan kebebasan roman modern, sekaligus keterbatasan ruang novela yang lebih singkat dari novel, istilah lain dari roman tersebut.

Bagian Satu, dua paragraf saja, adalah tentang dia yang tak berdaya, setelah sebuah benturan menghantam tubuhnya (h. 13), tetapi tidak pingsan tentunya, karena mendengar suara-suara teriakan untuk menyelamatkannya. Tubuhnya berdarah, dan matanya pastilah terpejam, meski toh tergambar dalam matanya pemandangan hutan:

…. sebentang tanah berkelok-kelok merambat seperti batang tumbuhan menjalar. Semak-semak yang khas untuk daerah bukit batu karang atau batu kapur tumbuh liar pada hamparan tanah yang kering terjal. Bukit-bukit ditumbuhi pohon tropis yang tampak tumbuh bergelombang membentuk hutan lebat yang menyimpan banyak jenis anggrek (h. 13).

Bagian Dua, menjelaskan latar geografis Klamono, sekitar 50 kilometer di tenggara Kota Sorong, Irian Jaya (Papua sekarang). Bagian ini panjang, seperti deskripsi objektif yang mungkin dianggap perlu, untuk memberi gambaran tempat cerita bermain. Tampak berguna dari sisi akurasi, seperti letaknya pada 131 derajat, 29 menit dan 35 detik Bujur Timur—1 derajat, 07 menit dan 25 detik Lintang Selatan, tetapi demi fungsi dramatik tentu lebih cocok deskripsi berikut:

Hujan terjadi terus-menerus hingga mencapai 630mm/bulan. Akibatnya jalan tanah menjadi kubangan disiram hujan terus-menerus. Hubungan darat terputus mencapai berpuluh-puluh kilometer antara Sorong dan Klamono (h. 14).
 
…………………………………………………………………
 
Bila dilihat dari arah laut, daratan Sorong tampak ditumbuhi tangki-tangki minyak mentah. Tumbuh bagai kubah-kubah putih di antara hijau hutan dan pegunungan di belakangnya. Garis pantai tampak seperti sebilah pedang yang diayunkan secara horisontal. Di bagian atas bilah pedang itu tumbuhlah daratan Kota Sorong (h.15).
 
………………………………………………………………
 
Mobil yang membawa penumpang umum hanya sekali-sekali melintas. Kota itu hanya dilingkari beberapa kilometer jalan beraspal yang pada waktu singkat, mobil-mobil itu telah sampai pada tempat semula setelah berputar mengelilingi kota (h. 15).

Dalam kelengkapan kepanjangannya, terlihat dilema yang harus diatasi, antara kebutuhan memberi latar bagi alur cerita dan tuntutan untuk menerang-jelaskan posisi Klamono, yang terandaikan tiada banyak orang mengenalnya–seolah “kehidupan pertambangan” tidak mempunyai sisi-sisi kesamaan, dan akan berlainan antara tempat yang satu dengan tempat lainnya. Bahkan pada bagian ini, latar historis penemuan tambang minyak di dunia maupun di Indonesia dipaparkan pula

Bagian Tiga, masih merupakan deskripsi latar geografis, tetapi tidak lagi melibatkan akurasi teknis seperti sebelumnya, walau mungkin diusahakan seobjektif mungkin demi kejelasan bagi pembaca.

Jalan tanah itu menjalar bagai akar. Rentangan pipa sebesar batang pohon pinang mengikutinya pada sisinya. Pipa itu terentang sejauh jalan Klamono-Sorong, sepanjang hampir lima puluh kilometer. Menurut cerita orang-orang tua di sekitar rentangan pipa itu, pipa itu yang terlebih dahulu ada baru kemudian jalan tanah itu (h. 18-9).

Penjelasan objektif seperti itu sepintas tidak memberi “peluang susastra”, tetapi keterangan berikut tampak relevan:

Jalan tanah dua kilometer itu dipisah menjadi dua oleh aliran Klasafet. Anak mereka menyebut aliran sungai itu dengan nama lain, Klamono. Kla menurut bahasa turun-temurun artinya sungai. Mono artinya diam, tenang. Klamono bisa diartikan sungai yang diam. Sungai yang tenang. Tetapi di peta, sungai itu disebut Klasafet. Pengaruh pasang surut masih sampai ke daerah itu. Tetapi air tetap tawar. Air laut tidak sampai mempengaruhi air Klasafet. Muara masih jauh dari daerah itu. Kedalamannya cukup untuk kapal-kapal kecil. Biasanya kapal-kapal yang berlayar di laut lepas masuk ke muara Beraoer dan menyusur Klasafet. Kapal-kapal kecil mengangkut bahan makanan dan sumur minyak untuk daerah Klamono. Mereka tinggal di sepanjang tepi Klasafet dalam rumah-rumah panggung. Pohon-pohon air tumbuh di kedua sisinya tempat mereka mencari udang. Pada latar belakang tampak hutan dan bukit-bukit. Sekali-sekali tampak bangau terbang rendah. Tetapi kodok-kodok itu tidak tampak oleh bangau-bangau itu kecuali suaranya yang berisik keluar dari bawah rumput air di dalam rawa-rawa. Permukaan air yang terpengaruh pasang surut menciptakan rawa-rawa di kedua tepi Klasafet. Suara kodok tidak henti-hentinya dari rawa-rawa itu. Tetapi terkadang tampak bangau itu menukik turun di antara semak rawa. Dan ketika dia terbang meninggalkan semak rawa, di paruhnya tampak bergerak-gerak keempat kaki kodok itu (h. 19-20).

Dapat diikuti di sini, bagaimana deskripsi yang berusaha objektif itu sedikit demi sedikit beralih ke pengamatan personal-subjektif, dan berakhir seperti itu. Dalam pembacaan intensif yang urut, runut, dan runtut, yang semula terbatas informatif berproses ke dalam diri pembaca sebagai kehadiran alam yang hidup dan menjelma. Seolah tanpa dramatisasi, sekadar laporan pandangan mata pun, jika faktanya dramatik, sedikit banyak akan tetap menggerakkan, menggugah, dan tak mustahil menyentak, seperti … ketika dia terbang meninggalkan semak rawa, di paruhnya tampak bergerak-gerak keempat kaki kodok itu (h. 20).

Bagian Empat masih juga merupakan deskripsi, tetapi deskripsi-deskripsi ini, dari bagian ke bagian, seperti proses dari pandangan makro menuju mikro, seperti belum juga mulai bercerita ketika meneruskan penggambaran kehidupan Suku Moi. Melalui lensa kamera seorang turis asing, diuraikan bentuk perahu yang seperti rumah gubuk terapung, perilaku orang tua maupun anak-anak dalam ruang kehidupan di sungai; dan memang hanya lewat lensa kamera dari atas jembatan itu terlihat …. api kecil di sudut lantai. Mungkin itu tungku dan ada ikan di panggang di atas bara. Asap tipis naik ke atas mencapai atap. Pada saat seperti itu mungkin jendela lensa terbuka. Bayangan itu terekam pada negatif film berwarna (h. 22).

Bagian Lima baru mulai masuk kepada penggambaran peran, walau bukan yang utama. Betapapun masih seperti pengungkapan latar, seperti persiapan bagi suatu alur, tetapi bagi subjek yang berbeda. Bukan lagi deskripsi geografis, melainkan karakter dan kostum, serta soal pertambangan minyak, seperti:

Jabatannya sekarang mandor perawatan sumur di Ladang Produksi Klamono. Bila sumur-sumur mulai menurun produksinya atau tidak keluar sama sekali, dipelajari. Mungkin peralatan di dasar sumur ada yang rusak dan perlu diganti. Selang produksi harus dicabut. Klep pengisap diganti. Bila semua peralatan sudah diganti tetapi produksi tidak keluar, berarti sumur telah kering. Dan biasanya lokasi itu ditinggalkan. Di daerah Klamono, sumur-sumur itu harus disedot dengan tenaga pompa. Tetapi di daerah lain, lumpur minyak bisa menyembur sendiri karena ada tekanan gas bumi (h. 23).

Seperti “belum susastra”, tapi apakah susastra itu berketentuan? Dalam kenyataannya, lanjutan teks selanjutnya memberi misteri: Jakob bercerita kepadanya tentang sumur-sumur itu (h. 23). Bukan Jakob, yang deskripsi tubuh dan busananya diuraikan, melainkan “nya” dari kepadanya–yang tampaknya sama dengan dia yang tak berdaya, setelah sebuah benturan menghantam tubuhnya di Bagian Pertama.

Dalam Bagian Lima ini, keberadaan dia dapat diketahui lebih jauh, karena mandor Jakob menyukai kakak perempuannya, yang menunggu di bawah rumah panggung, ketika ibu bapaknya pergi ke hutan mencari sagu. Mereka sering bertemu di dalam hutan, dan akhirnya dinikahkan kepala suku. Sejak itulah dia suka berkunjung ke rumah kakaknya di kompleks perumahan karyawan sumur minyak.

Ya, jalan berkelak-kelok bagai pohon menjalar. Rumah-rumah berdiri di kedua sisi jalan. Dan perahu itu mereka tambatkan di tiang jembatan, dan bila mereka kembali air pasang mengangkat perahu itu hingga dia hanya melangkah dengan mudah untuk naik perahu. Dia membawa beras, gula, sarden, dan minyak tanah. Semua bawaan itu disambut ibunya, dan ayahnya suka pada sigaret hasil pemberian menantunya. Tetapi kedua orang tua itu tidak mau pergi ke kompleks perumahan itu dan mereka lebih suka mendengar cerita tentang anak perempuan dari anak-anaknya yang datang berkayuh ke perkampungan itu. Mereka mendengar cerita-cerita tentang anak perempuan itu dan menceritakannya pada tetangga-tetangga mereka (h. 23-4).

Masih tampak seperti susunan peristiwa informatif, tetapi nuansa rasa merayap dan menancap sangat amat pelahan, dengan kuat. Dalam pembacaan teks seperti ini, peran partisipasi pembaca menentukan, karena antara lain dalam tidaknya intensitas pembacaan akan membedakan kadar resepsinya.

Bagian Enam adalah deskripsi tentang perangkat mesin pengeboran. Ini paduan antara manual cara kerja mesin, dan susastra–bagaimana caranya?

Rig telah berdiri di lokasi pengeboran itu. Menara Bor menjulang tinggi bagai menara pemancar. Pada landasannya ada bangunan seperti perahu. Bila dilihat dari samping seluruh perangkat pengeboran itu tampak seperti perahu. Tiang layarnya adalah menara bor. Rentangan kabel dari puncak menara ditambatkan pada tiga tempat di pinggir lokasi sebagai tenaga pengikat. Di bawah menara itu terjadi kesibukan. Mesin diesel menggerakkan gulungan kabel dan menggerakkan meja putar. Kabel dari gulungan itu direntangkan ke puncak menara. Melalui roda berputar di puncak menara, kabel itu diulur ke bawah. Di ujung kabel tergantung semacam alat yang berfungsi sebagai alat pemegang. Di antara keempat kaki menara terletak meja putar. Meja putar itu digerakkan mesin diesel. Tanah di bawah meja bor telah dilubangi satu meter persegi. Air menggenang di lubang itu … (h. 24) dst.

Penjelasan itu masih cukup panjang, mengambil tempat hampir seluruh Bagian Enam. Apakah efisien sebagai penjelasan? Saya, walau berimajinasi dengan segenap kata-kata di sana, tidak dapat membayangkannya, apalagi menggambarkan kembali–yang tergambar justru yang bagi Hamsad imajinatif: Bila dilihat dari samping seluruh perangkat pengeboran itu tampak seperti perahu. Namun betul-betul sebagai perahu, bukan landasan bangunan menara pemancar seperti tertuliskan itu.

Mungkinkah ada kepentingan dalam deskripsi manual tersebut, sebagai latar maupun bagian terpenting dari alur–misalnya dalam konteks sebuah benturan menghantam tubuhnya itu? Jika demikian, apakah tidak lebih baik digambar secara visual sahaja, seperti bagan bila perlu, dengan petunjuk seperti arah panah, keterangan tertulis atas bagian-bagian mesin, cara kerjanya, dan seterusnya?

Bandingkanlah misalnya dengan kejelasan dari informasi berikut:

Jadi dalam gubahan ini ternyata diperlukan juga kemampuan untuk mendapatkan tafsir tunggal dari pembaca, khususnya dalam penggambaran mesin itu, yang tidak mengandaikan terdapatnya tafsir merdeka di luar batas-batas manual tadi–dan dapatlah dicermati betapa sulitnya mendapat tafsir tunggal itu, terutama bagi pembaca yang belum pernah melihat misalnya meja putar itu seperti apa. Apakah ini merupakan istilah baku, misalnya dari Kamus Istilah Tehnik ? Jika tidak mengetahui yang mana pun, tentunya ini jenis bacaan yang memerlukan pembelajaran, walau maksudnya mungkin tidak begitu.

Adapun gambar di atas, mesin produksi sumur minyak itu, tampak cocok dengan teks berikut, dengan catatan bahwa simpulan ini didapat setelah melihat gambarnya lebih dahulu, yang cukup dihubungkan dengan istilah “pompa angguk”:

Atau dengan cara tradisional yaitu dengan cara pengisapan, pumping unit, juga dikenal dengan nama pompa angguk. Pompa angguk digerakkan tenaga diesel atau dinamo elektrik (h. 26).

Bagian Tujuh masih juga melanjutkan deskripsi, terutama atas kehidupan sehari-hari dan kondisi medan yang berat karena serba berlumpur dalam, bahkan mobil yang terperosok pun hanya bisa ditinggal. Namun penggambaran ini adalah bagian dari sedikit majunya alur, bahwa dia yang tak berdaya tadi menangkap segala sesuatu melalui pendengarannya. Ketiadaan atau ke-sangat-lambat-an alur sejak awal menjadi relevan. Sementara peran utamanya setengah pingsan, ceritakan yang lain dulu. Kini diungkap yang sedang dialami:

Kesibukan di sekitarnya makin lama makin tidak dapat ditangkap indria pendengarannya. Dia mulai merasakan dingin pada kakinya. Pada tangan-tangannya dan jari-jari itu mulai mengebas karena darah begitu banyak keluar. Ya, dia perlu darah. Di mana didapat darah di lokasi pengeboran itu. Hutan di kiri kanan bagai menyungkup perkemahan itu dan suara yang melengking terhambat rimba dan orang akan mendengar pantulan suara yang diteriakkan. Penduduk tinggal di luar  perkemahan itu dalam jarak berkilo-kilo meter. Dan mereka hanya sekali-sekali melintas di perkemahan itu (h. 27-8).

Terbaca suatu cara untuk menyelipkan fakta di celah tegangan dramatik yang menuntut untuk diperhatikan. Lantas tertulis suatu nama, Hagar. Itu bukan dia. Hagar adalah nama perempuan Suku Moi yang disukainya. Jadi nama dia belum juga muncul, meski sejak awal dialah yang memulai semuanya–ya, dengan kepala terbenturnya itu.

Bagian Delapan langsung adegan intim dengan gadis itu. Seperti film untuk dewasa: Gadis itu telanjang dada … . Padahal terkesan telanjang dada itu bagian dari kehidupan sehari-hari sahaja, walau jika terdapat orang asing rupanya mesti ditutup. Disebut gadis kecil, gadis itu sendiri tidak merasa wajib menutupnya ketika para pekerja lewat. Lantas muncul namanya: Andreas. Kisah kasihnya unik jika dibanding percintaan urban yang klise, karena melibatkan tanah becek, daun sagu, dan susu panas. Semua ini sebelum terjadi benturan.

Dalam Bagian Sembilan, deskripsi pembuatan sagu yang sudah disebutkan dapat terolah menjadi papeda, berlanjut dan disambung dengan penjelasan jika satu pohon sagu dapat bertahan dua sampai tiga bulan untuk satu keluarga, setelah habis disusul berburu rusa. Binatang yang ditombak ini dagingnya akan disimpan di para-para dan dapat bertahan setengah bulan. Jika dibagi-bagikan kepada tetangga, sekeluarga akan dianggap pahlawan suku.

Digambarkan juga hidup harian yang terhubungkan dengan mencari ikan menggunakan pelepah sagu, yang menjadi semacam jebakan untuk ikan dan udang bila air surut. Dikisahkan juga berburu binatang pada malam gelap menggunakan suluh atawa balobe.

Pelepah enau atau sagu yang telah kering dibakar. Nyala api menerangi kegelapan hutan. Binatang-binatang yang ada di sekitar nyala api itu terkejut dan lari. Tetapi karena kegelapan mereka tidak melihat jalan dan menubruk pohon atau tebing terjal. Terkadang rusa atau kasuari, babi atau lao-lao begitu mudah ditombak. Mereka membikin para-para di tengah hutan. Daging buruan itu ditaruh di atas para-para dan dibuat perapian di bawahnya. Daging itu dibiarkan sampai kering (h. 32).

Sambil membeberkan, menyampaikan juga sensasinya, sebagai hasil seleksi demi efek dramatik. Apabila bersambung dengan Bagian Sepuluh, pembaca pun akan mendapatkan lapis-lapis informasi yang kini terasa efisien: bahwa Andreas diajak Jakob kakak iparnya itu untuk bekerja mengontrol sumur-sumur. Dari sumur-sumur itu pipa-pipa menyalurkan minyak ke Pusat Penampungan Produksi, tempat minyak dipisahkan dari air. Jakob berusaha, seperti kemauan istrinya, agar Andreas mau bekerja sebagai buruh harian pengeboran dan menghentikan kebiasaan liar di dalam hutan (h. 33).

Di sini masuk lapis informasi ketiga setelah pertambangan dan kesukuan, bahwa para buruh pertambangan punya kebiasaan buruk minum-minum, dan menyambut gembira kedatangan para pelacur dari Jawa, Ambon, Menado, dan banyak lagi, yang parfumnya murahan dan senyumnya palsu. Di bagian ini juga, wanita-wanita menanggalkan pakaian mereka di depan cermin dan merayu sambil merangkul tubuh mereka yang berminyak (h. 34). Andreas tidak termasuk dalam perilaku seperti itu.

Jakob mengusulkan Andreas menjadi buruh tetap di Bagian Sebelas. Bagian ini pendek, tapi di sinilah berlangsung kejadian singkat itu:

Handel pengatur tenaga diesel begitu cepat digeser oleh juru mesin, sehingga penggulung kabel berputar cepat dan menarik rentangan kabel pada puncak Menara. Ujung pipa begitu cepat terangkat dari lantai dan terayun membentur Andreas. Itu yang terjadi (h. 34).

Namun info terpenting bagian ini: … dia sudah bekerja lima tahun hingga kecelakaan itu terjadi (h. 34). Di radio pada stasiun pemancar, tempat Jakob minta pertolongan helikopter, kecelakaan itu tidak penting–yang penting bahwa status buruh lepas tidak dapat memastikan kedatangan helikopter itu. Udara sangat buruk kata mereka (h. 35).

Bagian Dua Belas menceritakan bagaimana Andreas didenda adat 10 ekor babi, piring antik 2 buah, mancado atau kampak 10 buah, parang 100 buah, kain Timor 100 lembar, kain merah 100 lipat oleh orang kampung, karena terpergok berpelukan dalam keadaan telanjang dengan Hagar. Cinta  yang tertanam di antara kedua anak muda itu mengalahkan semua pantangan (h. 36). Denda itu bagai mustahil dibayar Andreas. Apalagi setelah kepalanya terbentur.

Andreas akhirnya samar-samar mendengar suara helikopter di Bagian Tiga Belas. Apakah ini hanya harapan, hanya karena ia pernah melihat helikopter mengangkut pipa-pipa yang menggantung di bawah badan pesawat?

Lama dia memandang helikopter itu menjauh di udara menuju ke lokasi pengeboran. Tidak terpikir olehnya bahwa dia akan pernah naik helikopter itu suatu saat nanti. Barangkali waktu itu akan tiba. Mengangkat tubuhnya yang luka parah itu (h. 38).

Bagian ini banyak isinya. Sejumlah kilas balik yang berhubungan dengan helikopter itu. Rupanya helikopter adalah bagian penting kehidupan kampung, terutama dalam keadaan darurat. Pertolongan bagi bayi lahir yang bermasalah misalnya, yang tentu terlalu lama jika menggunakan perahu. Pemandangan pipa-pipa yang timbul tenggelam dari Klamono ke Sorong.

Bagian Empat Belas panjang sekali. Ini bagian paling dinamis dan dramatis, ketika melalui kepanikan lewat radio, persoalan terungkap dalam cuaca buruk: petugas hanya bisa bekerja sambil minum bir ….

Bir sepuluh botol itu telah habis mereka minum. Tingkat kemabukan operator radio itu tidak bisa dipertinggi, kecuali barangkali bila tersedia botol yang kesebelas. Jadi tingkat kemabukannya sudah sampai pada tarap menyebut kol dan bir. Kemudian alkohol di dalam tubuhnya menguap ke luar dan tingkat kesadarannya pun mulai pulih. Dalam keadaan seperti itu, dia pun berrojer-rojer memanggil stasiun penerima di Sorong.
“Halo, halo! Hei, tadi sudah nyambung! Hei, rojer, rojer ! Halo! Halo! Seorang pekerja terkena ayunan pipa begitu! Halo, halo, rojer, rojer! Tolong kirim helikopter begitu! Ganti!” (h. 54).

Bagian Lima Belas pendek, kembali ke sumber persoalan, Hagar dan keluarganya diberi tahu, dan mereka lakukan upacara suku. Jakob memegang denyut nadi Andreas, sudah lemah sekali. Para pekerja pengeboran datang semua.

Bagian Enam Belas lebih pendek lagi, melanjutkan kepanikan operator radio.

Fiksi Dokumenter yang Selalu Berguna

Klamono berakhirterbuka, walau Bagian Lima Belas menyebut soal denyut nadi melemah itu: … sama persis dengan peristiwa di sebuah rumah sakit, di mana seorang dokter memegang pergelangan tangan seorang pasien yang sedang dalam kondisi menyelesaikan perjalanan akhir hidupnya (h. 56).

Tentulah ini cerita serius. Adat lokal, kehidupan hutan, pertambangan minyak, dan konflik budaya yang diakibatkannya, hadir saling melapisi nyaris tanpa suatu alur yang menggiringnya. Dibuka dengan Andreas dalam kondisi setengah koma, dan masih koma dalam penutupnya.

Cara bercerita novela ini memperlihatkan dilema, bagaimana caranya menyusun kisah kehidupan pertambangan minyak, di sebuah lokasi yang pada 1985 masih terpencil, dan barangkali dengan deadline serta format panjang halaman nan terbatas pula.

Hamsad mengisahkan sepotong kecil peristiwa kecelakaan, lantas mengungkap segenap kilas balik dari sudut pandang masing-masing, yang membawanya kepada benturan itu: (1) minyak dicari dan pada 1935 bekerjalah Nederlandse  Nieuw Guinea Petroleum, lantas ditemukan minyak di Klamono pada 1936; Jakob Safkaur, mandor, mengawini kakaknya–maka Andreas diajaknya bekerja; (2) Andreas, Hagar, dan keluarganya adalah warga Suku Moi, cara hidup mereka (mencari pohon sagu, berburu binatang) berbeda dengan para buruh yang makan gaji; (3) pertambangan minyak tampak produktif, tetapi tidak meningkatkan taraf kehidupan Suku Moi, sementara yang menjadi buruh pun tergantung kepada minuman keras, dan uangnya habis terserap prostitusi.

Naratif Klamono mengandung banyak unsur nonfiksi, membuatnya seperti fiksi dokumenter yang merekam situasi masa itu, yang kiranya akan selalu berguna bagi berbagai kepentingan pengembangan wilayah, bukan hanya Klamono, melainkan di berbagai tempat berlangsungnya friksi antarkebudayaan–yang memakan korban.

Hanya terdapat secuil humor-hitam getir ironis, yang biasa dikenal dari naratif Hamsad, dalam penggambaran komikal dampak bir pada operator radio. Namun alur yang nyaris tidak bergerak, sejak awal sampai akhir, yang disisipi berbagai macam latar kultural-sosial geografis, menunjukkannya sebagai permainan cara bercerita, suatu siasat, yang bagi saya tetap menggugah.

SENO GUMIRA AJIDARMA
Partikelir

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *