Connect with us

Kabar

Ekses Kebebasan Media

Published

on

Seno Gumira Ajidarma

Benarkah negara tak bisa berperan, menghadapi jurnalisme-kuning dan kampanye hitam, dalam kondisi pasca-kebenaran? Refleksi 40 tahun setelah Hilangnya Kehormatan Katharina Blum.

Seno Gumira Ajidarma

Pada 1983, dua tahun sebelum meninggalnya Heinrich Böll (1917-1985), saya menulis tentang bukunya yang paling populer Hilangnya Kehormatan Katharina Blum (Die verlorene Ehre der Katharina Blum, 1974), yang diterjemahkan dari bahasa Jerman oleh Banda Harahap.

Sebelum masuk ke dalam isinya, kiranya perlu catatan tentang faktor eksternalnya:

Pertama, bahwa Banda Harahap adalah HR. Bandaharo (1917-1993), yang disebut sebagai ‘pengarang Angkatan Pujangga Baru’; dan dalam Ensiklopedia Sastra Indonesia Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, disebutkan betapa sebelum Perang Dunia II “HR. Bandaharo sudah dikenal sebagai pakar Lekra” (https://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/HR_Bandaharo). Daftar gubahannya sejak 1958 sampai 1964, meloncat ke tahun 1978, dan akhirnya 1983 dengan kerja terjemahan atas gubahan penerima hadiah Nobel 1972 tersebut.

Kedua, Banda Harahap berkedudukan sebagai redaktur Harian Rakyat dan Pendorong di Medan sejak 1949; yang pindah ke Jakarta untuk menangani Lembaran Kebudayaan Harian Rakyat Jakarta, di samping memimpin Kebudayaan yang terbit tiap minggu.

Dua faktor ini kiranya berpadan belaka dengan fakta bahwa buku ini diterbitkan oleh Hasta Mitra, penerbit tetralogi ‘roman karya Pulau Buru’ Pramoedya Ananta Toer, usaha swadaya yang menampung aspirasi para mantan tahanan politik, dan membuka toko buku di Proyek Senen, Jakarta, tempat saya membeli buku ini dengan harga Rp 2.500,- (sebanding dengan Rp 55,440.38,- hari ini).

Apakah kedua faktor ini berpadan pula dengan faktor ideologis dalam bukunya? Terjemahan itu terbit tahun 1982, ketika kedudukan Orde Baru bagai mustahil digoyahkan. Saya mengulasnya setahun kemudian, tetapi baru terpublikasi tahun 2023 seperti berikut.

***

Kebebasan pers adalah sebuah kerinduan, tapi kebebasan pers jadi memuakkan ketika ia merasuk terlalu jauh ke dalam kehidupan pribadi.

Begitu mengganggu sehingga seorang yang alim seperti Katharina Blum pun tega untuk menembak Werner Tötges, seorang wartawan yang haus sensasi, setelah goncangan-goncangan dari koran gosip selama hanya tiga hari. Heinrich Böll memang bercerita tentang ironi. Dalam Hilangnya Kehormatan Katharina Blum ini ia pun bercerita dengan gaya jurnalistik yang dingin.

© 1982 Js. Opé / Hasta Mitra

Katharina Blum, perempuan berumur 27 tahun, adalah potret keterasingan yang menyakitkan dari sosok pribadi dalam khalayak modern, seperti yang ada di Jerman Barat tahun 1970-an.

Dalam sebuah pesta dansa, ia mendadak saling jatuh cinta dengan Ludwig Götten, seorang teroris buronan polisi. Malam itu juga mereka ke apartemen Katharina yang belum selesai dicicilnya, tetapi pada pagi hari Götten lenyap, tinggal Katharina, yang kemudian tenggelam dalam interogasi polisi dan jadi makanan empuk koran sensasi Berita.

Kisah ini memang dilatar belakangi situasi Jerman Barat tahun 1970-an yang sesak dengan gerakan terorisme Baader-Meinhof dan sisa-sisa gerakan mahasiswa Rudi Dutschke, campur aduk dengan popularitas suratkabar Bild-Zeitung milik Alex Springer.

 ‘Jurnalisme kuning’ yang bermodalken berita sensasional itu, tanpa ragu-ragu melakukan dramatisasi, bahkan memutarbalikkan fakta, yang bukan hanya meneror gerakan teroris antikemapanan tersebut, melainkan juga memburu kaum intelektual dan seniman yang dipradugai sebagai para simpatisan.

Maka Bild-Zeitung, yang dalam buku ini bernama koran Berita, memang dengan mudah saja menyebut nama-nama yang bisa menggemparkan, padahal kebenarannya masih tanda tanya.

Buku 169 halaman ini adalah kritik terhadap ‘kebebasan pers’ semacam itu, dengan mengisahkan bagaimana Berita dalam waktu singkat menghilangkan kehormatan Katharina Blum, seorang perempuan baik-baik. Janda tanpa anak yang orangtuanya bercerai dan kakaknya dalam penjara. Kehidupan Katharina yang tenang—meskipun monoton dan tenggelam dalam kesepian yang juga mengerikan—mendadak rusak dan hancur.

Tötges, dengan cara menyamar, bahkan tega memaksakan wawancara kepada ibunya Katharina di rumah sakit, ketika sedang sekarat dan baru saja keluar dari kamar operasi kanker. Diperkirakan ibunya itu meninggal karena desakan-desakan Tötges.

Sisi lain dari buku ini juga potret keterasingan, yang dengan kejam telah terungkap lewat interogasi yang acuh tak acuh. Dengarlah pengakuan Katharina yang sengaja dibuat mengalir panjang oleh Böll, sekaligus memainkan kontemplasi puitik dalam kesusastraan kelas Nobel:

'Ya', kata Katharina Blum dan sejak titik ini pernyataan-pernyataannya dicatat dan bisa dipakai sebagal protokol, 'hal itu cocok, itu adalah setiap hari –sudah saya hitung dengan cepat luar kepala-- hampir 25 km. Selama ini tak pernah saya pikirkan dan juga tidak menghiraukan ongkos yang dikeluarkan, tapi saya selalu begitu, pergi bermobil, begitu saja tanpa tujuan, artinya—dengan satu dan lain cara akhirnya ada juga tujuan, itu maksudnya, saya berkendaraan mengarah satu tujuan yang teringat begitu saja, ke selatan jurusan Koblenz, atau ke barat ke jurusan Aachen, atau ke bawah ke jurusan Nieder-Rhein. Tidak saban hari. Saya tak bisa mengatakan berapa sering dan dalam jarak-jarak yang berapa jauh. Biasanya kalau hujan dan bila saya bebas-kerja dan saya merasa kesunyian. Tidak, saya memperbaiki pernyataan ini: hanya kalau hari hujan, saya berangkat begitu saja. Saya tidak mengetahui persis apa sebabnya. Anda harus tahu, bahwa saya selalu, kalau tak perlu lagi ke rumah keluarga Hiepertz dan tak ada kerja-ekstra, jam lima sudah di rumah dan tak ada mengerjakan sesuatu. Saya kan tidak bisa terus-menerus ke rumah Else, terutama sejak dia bersahabat karib dengan Konrad, dan untuk pergi sendirian ke bioskop bagi seorang wanita yang berdiri sendiri, tidaklah selamanya tanpa risiko. Sering juga saya masuk ke gereja, bukan karena pertimbangan keagamaan, tapi karena orang di sana bisa mendapatkan ketenangan, tapi pun dalam gereja-gereja, kita sekarang ini disapa orang dan bukan saja oleh orang-orang awam. Saya memang mempunyai beberapa teman: misalnya Werner Klomer, dari siapa saya membeli Volkswagen itu, dan isterinya, dan juga pelayan-pelayan dari majikan Kloft, tapi memanglah agak sukar dan selalu menyakitkan, apabila Anda datang sendirian dan tidak begitu saja, atau lebih tepat, tidak tanpa syarat menyetujui setiap saran yang ditawarkan. Oleh karena itu saya naik ke mobil menghidupkan radio dan begitu saja pergi, selamanya lewat jalan-jalan raya, selalu dalam hujan dan yang paling saya senangi jalanan dengan pepohonan di pinggirnya—dan sering saya bermobil ke Holland atau Belgia, berhenti minum kopi atau bir di sana dan kembali pulang. Ya, sekarang bila Anda bertanya, barulah hal itu menjadi jelas bagi saya. Jadi kalau Anda sekarang bertanya, berapa sering—saya akan mengatakan: dua atau tiga kali dalam sebulan—sering pula kurang, kadang-kadang lebih sering, biasanya berjam-jam sampai saya pada jam sepuluh, acapkali juga menjelang jam sebelas, kelelahan tiba di rumah kembali. Mungkin juga hal ini adalah ketakutan; saya mengenal banyak wanita-wanita yang sendirian, yang minum sampai mabok di depan televisi’ (h. 56-58).

***

Kesepian macam apa pun masih sah jika dialami sebagai kehidupan pribadi yang tertutup, tetapi bisa dibayangkan bagaimana perasaan Katharina ketika sampai titik terdalam hidupnya harus terungkap tanpa ampun dalam interogasi. Lebih gila lagi bahwa semua masa lalunya dilacak oleh wartawan Berita dan diubah-ubah sedemikian rupa, sehingga pembaca bisa menerima bahwa Katharina memang wajar termasuk dalam komplotan teroris.

Semua keterangan dari famili dan kenalannya yang sedikit itu menjadi lain dalam koran Berita, seperti terlihat dari kutipan keci1 atas keheranan Blorna, kenalan Katharina:

Di halaman sebelahnya dia membaca, bahwa harian Berita telah mengambil oper pendapatnya, tentang Katharina, bahwa perempuan muda ini cerdas dan tenang, menjadi ‘bersifat dingin dan memperhitungkan segala sesuatu’ dan pendapat umum Blorna tentang kejahatan, bahwa perempuan muda itu ‘pasti tega melakukan suatu kejahatan’ (h. 43).

Dalam film dengan judul yang sama, yang dalam bahasa Inggris berbunyi The Lost Honour of Katharinia Blum (Volker Schlöndorff, 1975) upacara penguburan wartawan yang ditembak oleh Katharina itu diiringi dengan khotbah mengenai klise-klise kebebasan pers yang telah dihina.

Siapakah sebenarnya yang menghina? Wartawan Tötges menawarkan rehabilitasi bagi Katharina sambil mengajaknya bermain cinta. Katharina, yang sudah tidak tahan, menembaknya. Ia merasa telah kehilangan segala-galanya karena pemberitaan koran Berita, dan tak ada yang perlu dipertahankan lagi.

Menarik sekali bahwa sampai saat ini perang melawan jurnalisme-kuning itu masih juga berlangsung, Heinrich Böll yang melontarkan kritik terhadap Bild-Zeitung, dalam Der Spiegel kontan jadi sasaran fitnah dan maki-maki, sementara Volker Schlöndorff pun ketika filmnya beredar mengalami hal yang sama pada 1976. Cerita ini adalah kritik-satiris terhadap iklim ‘kebebasan menyatakan pendapat’ yang jadi modal peradaban Barat, dengan sangat halus, tapi sangat menusuk.

Böll bahkan mengawali novelnya dengan pengantar ironis seperti ini:

Tokoh-tokoh dan peristiwa dalam kisah ini berdasarkan khayalan. Apabila dalam penguraian tentang praktek-praktek jurnalistik terdapat persamaan dengan praktek-praktek suratkabar harian  BERITA, maka persamaan itu tidak disengaja dan juga tidak kebetulan, tetapi tidak bisa dihindari (v).

***

Catatan ini saya buat tahun 1983, ketika pengertian media sosial tidaklah dikenal seperti sekarang, 40 tahun kemudian, saat jurnalisme-kuning tidak lagi menjadi masalah bukan karena sudah menghilang, melainkan karena sudah bertiwikrama sebagai salah satu ciri media sosial itu sendiri: menghancurkan kehidupan pribadi, bohong, memutarbalikkan berita; dan alih-alih melindungi diri, kini terlalu banyak orang justru mengumbar kehidupan pribadinya—baik membanggakan maupun memalukan—melalui media sosial itu.

Kini dapatlah disebutkan, faktor ideologis yang diserang Banda Harahap adalah kapitalisme media, yang melanggar kode etik jurnalistik dan menghalalkannya, selama menghasikan keuntungan berlipat ganda, sebagaimana media sosial masa kini juga melakukannya. Apa yang terjadi tahun 1970-an, menjadi gejala kontemporer, ketika terhadap berita perang maupun kehidupan pribadi dalam media sosial berlangsung komodifikasi, atas nama keberlipatan kapital, demi kapital itu sendiri.

Dalam konstelasi pasca-kebenaran (post-truth), jurnalisme-kuning telah melebur ke dalam jurnalisme-hitam yang sudah jelas mengabaikan jurnalisme, selain meminjam tekniknya tapi melecehkan etikanya, sebagai kampanye hitam (black campaign) yang dominan. Apa yang disebut media arus-utama (mainstream media) menunjuk bukan kepada eksemplar, massa, maupun daya jangkaunya, melainkan kesetiaan kepada metode dan etika jurnalistik yang ‘putih’.

Menghadapkan jurnalisme-putih kepada jurnalisme-hitam, posisi jurnalisme-putih yang melekat kepada media arus-utama ini adalah inferior. Kebebasan pers atau kebebasan media—untuk tidak bertanggungjawab—menjadi salah satu penyebabnya. Dalam sudut pandang Banda Harahap, yang berkepentingan menerjemahkannya, untuk dialihkan kepada kondisi aktual,saya kira negara diperhitungkan untuk berperan menghadapinya.

SENO GUMIRA AJIDARMA
Partikelir

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *