Connect with us

Kolom

Belajar dari Trump: Etika dan Moral Dibutuhkan

Published

on

Tulisan Paul Krugman (ekonom kondang AS) bisa jadi pembelajaran kita bersama untuk melihat para pemimpin kita secara lebih kritis — dalam hal ini belajar dari tindakan Presiden AS Donald Trump.

Mungkin tujuh atau delapan tahun lalu, saya sempat berbincang, yang tidak pernah terlupakan, dengan seorang mantan Marinir AS, yang bertugas di Irak dan Afghanistan. Dia dipensiunkan dengan hormat setelah cedera berat akibar ranjau, meski dia berhasil pulih sepenuhnya. Sama seperti perwira militer lain, dia orang yang  berpengetahuan luas dan juga pemikiran yang baik, hampir seperti seorang intelektual — orang yang saya bisa ajak berdiskusi, kendati dia punya pengalaman yang tidak bisa saya bayangkan.

Dia menjelaskan pengalamannya dalam kehidupan setelah masa tugas miter tidaklah menyenangkan. Karena, “ dalam kehidupan sipil tidak ada rasa saling menghormati (respek).”

Meski terasa agak aneh, saya bisa memahaminya. Saya punya kehidupan profesional yang bagus, memperoleh penghasilan baik dan saya menikmati pekerjaannya. Namun kadang-kadang saya merasa saya harus berbuat lebih – ingin mencapai tujuan lebih besar, termasuk siap memberi pengorbanan besar jika diperlukan. Saya juga tahu, bukah hanya saya saja yang berpikir seperti ini, atau mengagumi pejabat publik, bukan hanya dari militer, yang hidup berdasarkan kode etik (etika moral yang tinggi).

Tapi kalau anda (sebagai pejabat publik) sangat berkuasa dan korup, anda tidak akan mengagumi orang-orang yang melayani (negara dan rakyat) dengan etika (kehormatan). Sebaliknya, anda akan membenci dan takut terhadap mereka, karena mereka punya rasa tanggung jawab besar terhadap tugasnya dan menghalangi langkah – langkah anda. Dan anda paling benci terhadap siapapun yang merasa kagum terhada pejabat publik yang memegang teguh moralitas, yang artinya menjadi sangat sukar menyingkirkan mereka.

Kebencian terhadap praktek moral tinggi (etika), saya percaya terkait dengan dua cerita tentang (Presiden AS Donald) Trump beberapa waktu lalu.

Satu cerita mengenai Marie Yovanovitch, mantan duta besar AS untuk Ukraina yang dipecat Trump. Duta besar diangkat dan dilengserkan oleh presiden, jadi pemecatannya adalah legal — pasti. Dalam beberapa hari testimoni (sidang Kongres AS soal pemakzulan presiden — catatan editor) terlihat jelas Trump menghendaki Yovanovitch keluar karena dia berketetapan melaksanakan tugasnya (sebgai duta besar AS) dengan melayani negaranya dan bukan kepentingan personal Trump.

Salah satu sebab Trump tetap saja berusaja menyudutkan Yovanovitch adalah mantan dubes tetap pada pendiriannya menjadi pejabat yang tetap menyujug tinggi moralitas kendati bertentangan dengan presiden. Orang bisa membayangkan betapa marahnya Trump ketika dia memperoleh sambutan besar di parlemen.

Cerita lain mengenai kehormatan  berupa keputusan Trump —- meski ditentang semua pemimpin militer — memberi pengampunan kepada tiga prajurit AS yang dituduh atau sudah dihukum melakukan kejahatan perang.

Kenapa dia mengampuni mereka? Trump “mencuit” di Twiter menyatakan dia sedang mempelajari kasus mereka. Kemudian dia mengatakan,”Kami melatih pemuda kami jadi mesin pembunuh, kemudian mengadili mereka ketika mereka membunuh”.  Namun itulah sebabnya, tentara punya kekuatan luar biasa dan juga tanggung jawab ketika menembak mati orang lain ketika sedang bertugas di lapangan dan mereka harus tidak melakukan tindakan itu sembarangan. Perilaku terhormat (dan bermoral) bukanlah halangan, yang tidak mengenakkan, untuk menggunakan kekuatan itu, sehingga militer bukan serombongan preman bersenjata saja.

Namun Trump membenci mereka, yang bertugas dengan menyunjung tinggi kehormatan (dan etika). Dia lebih suka ‘preman’.

Inilah salah satu dari Trumpism. Bukan hanya sebuah ideology saya tidak setuju; bukan hany sekedar kultus individu yang memuliakan seorang pemimpin yang seharusnya semua orang tidak menyanjungnya. Ini adalah inti dari penolakan terhadap nilai-nilai yang kita pikir jadi dasar negara kita. Anda mungkin berkata bahwa Trump sedang berperang melawan kebenaran, keadilan, dan nilai Amerika. Dan inilah yang paling menakutkan, dia bisa saja menang perang ini. (*/leo patty)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *