Connect with us

Drama & Teater

Ada Cinta di Santo Xaverius

Published

on

Azwar AN, Manusia Teater (4)

___

Tokoh teater Indonesia, Azwar AN wafat Senin dinihari (27/12/2021) pukul 01.40 di kediamannya, Wirokerten, Yogyakarta. Untuk mengenang sosok Azwar AN, Jayakarta News menurunkan serial tulisan autobiografi Azwar AN yang dikutip dari Buku Trilogi Teater Alam (Penyunting: Roso Daras, Prof Yudiaryani, Bambang JP – 2018).

___

JAYAKARTA NEWS – Sebagai manusia teater, aku bisa akting, bahkan sudah malang-melintang tampil di panggung lawak sejak tahun 1960-an, pentas teater pun berkali-kali. Mestinya saat itu aku sudah bisa dibilang “seleb”. Lantas apa hubungannya dengan “Cinta di Santo Xaverius”?

Ini memang soal cinta. Tapi jangan dikira kalau “seleb” itu banyak pacar. Jangan juga mengira, “seleb” ketika itu digandrungi wanita-wanita. Itu sama sekali tidak benar. Buktinya, aku tidak menemukan cinta di Yogyakarta.

Cinta pertamaku tertambat –atau bahkan tertinggal—di Lampung sana. Aku sebut saja namanya Mawar. Maklumlah, beliau masih hidup, dan tidak etis kalau aku sebut nama. Terlebih, endingnya putus. Mawar ini tinggal tak jauh dari rumahku. Terus terang, aku sudah naksir dia sejak SMP. Dan aku tahu, itu cinta monyet. Jangankan kok berpacaran, bisa memandangi saja senang bukan kepalang. Celakanya, Mawar sepertinya belum terpanah cinta hatinya.

Pendek kalimat, saat aku lulus SMP dan berangkat ke Yogya, maka cinta monyet itu pun kubawa serta. Untuk beberapa saat, bayangan Mawar masih terngiang-ngiang. Bayangan Mawar, seperti memanggil-manggilku pulang. Padahal, Mawar sendiri belum tentu merindukanku. Aku tahu itu.

Waktu terus bergulir, aku sekolah di Yogya. Mawar tetap di Lampung. Perlahan, kesibukanku berteater dan beraktivitas, ada kalanya bisa menutup bayang-bayang Mawar. Bisa jadi, Mawar sendiri tidak pernah merasakan apa-apa.

Tiba suatu hari, saat liburan tiba, aku pulang kampung. Yakinlah, Mawar bukan tujuan utamaku. Setidaknya ia nomor dua. Sebab, yang pertama adalah rindu orang tua, rindu kampung halaman. Yang ketiga, rindu kawan-kawan sepermainan.

Jika ada pepatah sekali dayung, dua-tiga terlampaui, mengapa tidak sekali pulang kampung, Mawar kujumpai? Jadi, kami bertemu dan bertegur sapa. Setelah itu, baru aku mulai berani menunjukkan hasratku. Kukira, Mawar pun mulai memperhatikan. Sungguh, proses pendekatan itu tidak mudah. Lebih mudah melawak, kukira. Berbait-bait puisi kusiapkan, tapi kelu lidah kurasa.

Saat musim libur berakhir, kami pun harus berpisah. Aku kembali ke Yogyakarta, dan Mawar tetap di kampung, menuntaskan SMP-nya. Setidaknya aku mulai berani menulis surat kepadanya. Entah di kepulangan yang keberapa, aku mulai dekat dengan Mawar. Setidaknya, aku merasa sudah seperti orang berpacaran. Sungguh aku lupa, apakah aku pernah menyatakan cinta kepadanya? Aku ragu, tapi mungkin pernah. Entah melalui surat, atau setidaknya melalui kata-kata bersayap.

Perjalanan cintaku sampai kepada sebuah kabar gembira, ketika Mawar mengatakan hendak melanjutkan pendidikan ke Jawa, tepatnya Magelang. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Mawar yang kucinta, akan lebih dekat adanya. Jarak Yogyakarta – Magelang yang hanya 44 kilometer sungguh dekat, dibanding jarak Yogyakarta – Tanjung Karang (Lampung) yang 753 kilometer!

Tahun ajaran baru kuterima kabar, Mawar sudah bersekolah di Sekolah Kepandaian Putri (SKP) Santo Xaverius, Magelang. Tanpa pikir panjang, saat ada waktu luang, segera aku berangkat ke Magelang. Senang bukan main, bisa jumpa Mawar, jauh dari kampung halaman. Rasa dekat, menjadi makin lekat.

Mawar kemudian memanggil temannya, dan memperkenalkan kepadaku dengan kalimat, “Kenalkan, ini Titiek… dari Teluk Betung.” Kami bersalaman, sambil berpikir, Teluk Betung artinya Tanjung Karang. Berarti pula, sama-sama dari Lampung. Nah, seputar itulah obrolan kami bertiga.

Benar-benar seperti cerita dalam sinetron picisan, cinta uang seketip…. Setelah pertemuan itu, Titiek teman Mawar kekasihku, seolah terus membuntutiku. Tatapan mata yang sayu tapi tajam, sungguh sulit dilukiskan, ada apa di balik sorot mata itu. Senyum tipis seperti dipaksakan, sungguh sebuah senyum misterius. Ada apa di balik senyum itu.

Baiklah… aku putar jarum jam sekencang-kencangnya sehingga segera tiba ke momen-momen apel selanjutnya. Tiada apel tanpa pertanyaan, “Titiek mana?” Dus, tiada apel, tanpa kehadiran Titiek di antara aku dan Mawar.

Begitulah apel-apel selanjutnya, Mawar tetap memanggil Titiek, saat aku bertanya, “Titiek mana?” Tapi seiring waktu, ada roman kurang enak di wajah Mawar. Cemburu kukira. Celakanya, aku pun tidak berusaha mati-matian untuk menepis rasa cemburu Mawar. Mawar ngambek.

Setan-gundul…. Mengapa aku justru merasa senang ketika Mawar ngambek? Jajalanak…. Mengapa aku menganggap ngambeknya Mawar sebagai peluang untuk mengenal lebih dekat Titiek?

Apel selanjutnya, aku langsung mencari Titiek. Itulah enaknya apel di asrama putri. Harus melapor, mencatatkan diri, dan menyebut penghuni asrama mana yang hendak dikunjungi.

Titiek keluar dengan wajah terheran-heran, demi melihat tidak ada Mawar di situ.

“Mana… Mawar?”

“Aku cuma mau ketemu kamu.”

Kukira itulah dialog pertama kami. Masih agak canggung, memang. Maklum, jika sebelumnya kami bertiga, obrolan bisa saling isi. Bahan obrolan pun lebih banyak. Manakala aku berdua Titiek, otak seperti beku, lidah kelu, tubuh kaku. Itukah yang disebut salah tingkah? Mungkin.

“Apel” pertamaku ke Titiek, memberi kesan yang dalam, meski sungguh tidak banyak hal yang kami percakapkan. Aku sebut apel dalam tanda kutip pun, karena aku belum resmi berpacaran dengan Titiek. Bagaimana mungkin aku berpacaran dengan duasekawan, yang sama-sekampung, dan sama-seasrama?

Persoalan dengan Mawar pun kuselesaikan pada kedatanganku ke Magelang selanjutnya. Dingin dia menjawab, “Saya sudah tahu.” Begitulah perjalanan cintaku dengan Mawar, kandas di bangsal Xaverius.

Apakah Mawar dan aku patah hati? Tidak. Hanya retak. Sebab memang tidak ada jalinan cinta yang begitu dalam. Tidak ada perjalanan cinta dengan pengembaraan yang jauh ke ujung dunia.

“Kabar duka” bagi Mawar, kusampaikan sebagai “kabar gembira” ke Titiek. Sejatinya ini sebuah pertaruhan, sebuah perjudian cinta. Pepatah “lebih baik satu burung di tangan daripada sepuluh burung di pohon” benar-benar tidak berlaku. Yang terjadi sesungguhnya, Mawar sudah kulepas, Titiek belum lagi kudapat.

Kabar gembira itu diterima Titiek dengan perasaan campur-aduk. Itu aku tahu setelahnya. Aku pun baru tahu setelah ia menerima cintaku, bahwa betapa sesungguhnya batinnya berperang untuk menerima cinta seorang Azwar AN.

Begini kisahnya. Kisah yang sudah melewati serentetan perjuangan keras meluluhkan hatinya. Titiek mengaku, saat pertama kali…. Aku ulangi…. Saat pertama kali bersalaman denganku, mendadak ada bisikan merasuk sukmanya, “Tiek… ini jodohmu.”

Ia menyangkal keras bisikan itu. Awalnya. Sebagai orang Teluk Betung, yang tinggal tak jauh dari kampungku, ia tahu dan mendengar semua cerita buruk tentangku. Cerita tentang kegemaranku berkelahi. Cerita tentang kebiasaanku memalak pedagang. Cerita-cerita yang sungguh membuat hati Titiek tegas menjawab bisikan itu dengan kata batin, “Tidak mungkin. Orangnya kecil dan terkenal karena kenakalannya. Mana mungkin dia jodohku. Salah apa aku harus berjodoh dengannya.”

Bisikan “Tik ini jodohmu” rupanya terus-menerus menerobos sukma Titiek, menerobos hati Titiek. Sementara itu, setiap apel, aku buka diriku seluas-luasnya. Maksud hati, agar ia bisa melihat lebih dalam diriku. Aku adalah pribadi yang telanjang di hadapannya. Tidak ada cerita apa pun tentang diriku yang tidak aku buka. Kukira, inilah jalan terbaik meyakinkannya, merebut cintanya. Aku tergila-gila padanya.

Aku tahu, Titiek pun mulai mencintaiku. Pandangan tentang diriku sudah berubah sama sekali. Ia bahkan tidak menolak ketika aku ajak menikah. Sekalipun, ia ragu, apakah akan diizinkan kedua orang tuanya.

Kembali cinta dihadang masa kecilku yang jalang. Saat hubunganku semakin serius, dan berpikir untuk meningkatkan status, ayah Titiek memupus. Alasannya satu: Nakal. Aku pun serasa mampus.

Titiek yang mencarikan solusi. Ia ajak aku menemui pakdenya, kaka dari ayah Titiek, yang tinggal di Purworejo. Ia seorang militer berpangkat kapten, waktu itu. Namanya Soepino Djunaidi. Kapten Pino, biasa dipanggil teman-teman kesatuannya.

Ketika ujian SKP usai, Titiek lulus, itu artinya pernikahan harus segera digelar. Bukankah setelah lulus ia harus meninggalkan asrama SKP Santo Xaverius Magelang? Aku bertekad, ia harus keluar dari sana sebagai istriku.

Tanggal ini kucatat betul, 4 Juli 1965, sebagai tanggal pernikahanku dengan Titiek Suharti. Pakde Kapten Pino yang menjadi wali nikah. Kami menikah di Magelang.

Usai menikah, aku boyong Titiek ke Yogya, ke rumah kontrakanku di Jalan Sawojajar Nomor 30, rumah milik pak Soma. Di situlah kontrakanku, sebelum nantinya aku pindah di Jl. Sawojajar Nomor 25, sekaligus menjadi markas sanggar Teater Alam, yang aku bentuk 4 Januari 1972, setelah aku keluar dari Bengkel Teater akhir Desember 1971.

Tiga tahu setelah menikah, setelah lahir anak pertama Moni (Azmakiyanto Ronny Amperawan AN lahir 1966) dan anak kedua Nana (Erna Azmita AN, lahir 1968) barulah aku mulai diterima di keluarga mertua. Aku telah membuktikan kerja kerasku, membuktikan aku menyayangi dan menjaga Titiek, dan yang lebih penting kukira, aku telah memberinya cucu-cucu yang lucu. ***

Keluarga Azwar AN. (foto: dok Teater Alam)
Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *