Sosial Budaya
Zaman Baru Pendidikan Manusia
Oleh Reno Azwir
TAK satu pun kita yang tahu bagaimana kejadian demi kejadian berlangsung, sambung sinambung. Segala rencana yang kita buat, mungkin bisa terjadi atau tidak sama sekali. Bagi kita, mungkin hidup seperti bermain dadu. Namun seorang paling jenius abad ini, Einstein, punya adagium lain, “Tuhan tidak sedang bermain dadu.” Demikianlah hidup terselenggara dengan segala misteri yang menyelubunginya.
Menemani adik-adik Sekolah Atmanagari (sebelumnya Sekolah Cerdik Cendekia) selama hampir empat tahun, telah banyak dinamika yang kami lalui. Sebab bukan hanya tak ada yang pasti, tapi juga tak ada yang tetap. Segala sesuatu berubah. Termasuk cara pandang, sudut pandang, jarak pandang, dan batas pandang kami memahami hidup, yang di dalamnya termasuk sekolah, rekan guru, para murid, belajar-mengajar, cinta, kasih, dan sayang.
Saban tahun berganti, kami selalu saja menemukan soal baru yang menarik tuk dipecahkan. Itu karena yang kami hadapi adalah anak-anak manusia. Sebagaimana kita, mereka juga lahir dari serbaneka kemungkinan. Salah seorang rekan pengajar pernah berseloroh pada kami, “orangtua kita zaman dulu, meski hanya lulusan SMA, tapi daya jelajah nalarnya sudah setara sarjana. Lantas kenapa anak-anak sekolah kita hari ini jauh merosot ya?” demikian ia berkeluh kesah. Mendengar itu, kami hanya bisa tersenyum sembari menghibur diri sendiri dengan membathin; setiap zaman ada orangnya, setiap orang ada zamannya.
Menghadapi anak manusia, memang tidak serta-merta berhadapan dengan kepastian, melainkan keniscayaan. Tak ada rumus baku dalam mendidik. Justru ketidakbakuan itulah senjata pamungkasnya. Wajar bila di Atmanagari, kami kerap kali merombak pola belajar, mendaur ulang kurikulum, memperbarui metode pengajaran—semata demi mencari khazanah emas yang bisa mereka bawa pulang ke dalam diri masing-masing. Jikalau ada anak yang tak mengakrabi matematika seperti ia menggilai kesenian, itu bukan berarti ia murid yang tidak pintar. Pun sebaliknya.
Pemahaman seperti ini mestinya juga ditumbuhkembangkan oleh para pengajar di setiap sekolah modern. Apa pun bentuk dan modelnya. Toh kita sama mafhum, sekolah bukan tentang seberapa tinggi nilai di raport, atau ijazah, namun sejauh apa para murid bisa mengenali bakat dan kecenderungan dirinya sendiri. Pada masa sekarang ini, dengan segala pencapaian keadaban, sudah tak boleh lagi ada murid yang membuang waktu bertahun-tahun di sekolah, hanya untuk menghafal dan memecahkan rumus esksakta—yang kelak takkan berguna baginya dalam mengarungi kehidupan. Kecuali memang ia berkeinginan menjadi saintis paripurna.
Kita belum lagi membahas industrialisasi pendidikan, atau membisniskan pendidikan. Lain soal jika itu berkenaan dengan sekolah bisnis. Ada nilai yang ingin kami tanam dengan memanusiakan manusia di sekolah. Selaiknya para murid, kami pun pernah dan masih menjadi murid bagi para guru. Begitu juga pengalaman yang menjadi guru terbaik. Paling tidak, mengajarkan kami cara berbakti dan mengabdi pada kehidupan. Tuhan telah memberikan anugerah terbesar bagi kita berupa hidup, oleh karenanya berbakti dan mengabdi pada hidup sendiri, adalah cara paling masuk akal untuk menjadi hamba-Nya. Nilai inilah yang ingin kami tanamkan ke lubuk hati mereka.
Terhitung sejak Selasa, 17 November 2020, Atmanagari memulai tradisi baru. Setiap murid membawa sekarung sampah non organik sebagai ikhtiar merawat bumi. Karung-karung sampah ini juga diiringi kelahiran dua wadah belajar baru. Pertama, Atmanagari Enterprise sebagai institusi lain di luar sekolah. Kedua, Bank Sampah Sinagar, yang dikelola Muhammad David Hartadi, salah seorang alumni Atmanagari. Hasil penjualan sampah tersebut, akan digunakan untuk biaya operasional sekolah—dan tentu membantu menumbuhkan pendapatan warga sekitar.
Atmanagari Enterprise yang beranggotakan warga Padepokan Khatulistiwa, bertanggungjawab menopang ekonomi keluarga besar sekolah, pembangunan, operasional, serta diharapkan mampu mengangkat perekonomian masyarakat. Sedangkan Bank Sampah Sinagar, dipercayakan melanjutkan pengelolaan sampah yang terkumpul dari rumah warga di Kampung Babakan, Ciseeng. Mungkin kami lah satu-satunya sekolah di Indonesia, yang mengajak murid-muridnya mengelola sampah dengan pendekatan konvensional.
Kendati itikad baik sudah dimulai, kami masih berharap pada keajaiban hidup, dan misteri yang tak ada habisnya untuk digali. Tak ada yang tahu hari esok, tidak juga kapan persisnya hidup kita selesai di dunia. Namun selayaknya orangtua, kami menginginkan ada yang melanjutkan perjuangan, dan ada anak-anak terbaik yang lahir dari rahim zaman. Jika zaman yang terus berkembang tak sejalan dengan peradaban yang kian mundur, setidaknya semangat kita, daya hidup kita, mesti terlecut membangun peradaban baru yang lebih baik.
Seorang teman yang menggemari tetumbuhan pernah berujar, “Saya akan tetap menanam pohon hari ini meskipun besok kiamat.” Bukankah sikap seperti itu baik jika kita terapkan pada banyak hal dalam hidup ini? Kehidupan kita sejatinya pertumbuhan. Proses belajar. Menjadi dan terus menjadi. Setiap manusia mengalami perubahan dalam skala detik. Semua sel, pikiran, kejiwaan, dan rasa kita, berubah seiring perjalanan waktu, menuju cahaya pencerahan. Teknologi dan peradaban boleh kian canggih. Tapi semua itu takkan berarti jika manusia kehilangan kemanusiaannya. Padahal manusia belajar dan mengajari dirinya yang sejati—dengan peng(alam)an sendiri.
Reno Azwir, adalah pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pada tiga matra kerja: pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas. Selain terus membidani kelahiran buku-buku, juga menjabat Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institut.