Kabar
Nyawa Rakyat Dianggap “Pelajaran” oleh Menhub
TRAGEDI tenggelamnya KM Sinar Bangun di Danau Toba, Senin (18/6) petang lalu, membuka borok Kementerian Perhubungan, ASDP, serta para pihak yang seharusnya berkewajiban memberi pertolongan. Benar, musibah sudah terjadi, akan tetapi sikap aparat dari yang paling bawah sampai ke tingkat menteri, pasca tragedi, sangat buruk.
Berita-berita awal pasca kejadian, nyaris tidak ada yang terkonfirmasi ke pejabat terkait. Bupati tidak muncul, anggota dewan seperti menghilang, petugas Basarnas lamban, sampai petugas kepolisian pun kena semprot Sri Wahyuni, keluarga korban. Ibu asal Tebing Tinggi itu naik pitam ketika tergopoh mendatangi tenda darurat, dan didapatinya petugas kepolisian asyik bermain HP.
Kesaksian keluarga korban yang lain, tak kurang pedasnya. “Enteng benar melepas nyawa. Gilanya orang yang memerintahkan penundaan penyelamatan. Apa pun alasannya, tapi bahasa menunda penyelamatan itu sangat menyakitkan rakyat. Seandainya bahasa itu diubah, ‘kami akan tetap melakukan pencarian untuk menyelamatkan para penumpang, tidak perduli cuaca, tidak peduli kekurangan peralatan’… tentu lebih menyejukkan semua pihak, termasuk keluarga korban,” ujar Togu Sibuea mengutip kritik keluarga korban.
Tak kurang, seorang Menteri Perhubungan Ir Budi Karya Sumadi berkomentar secara tidak patut. “Menyedihkan benar komentar Menhub terhadap dua ratus korban kecelakaan kapal di Danau Toba. Dia bilang ‘sebagai pelajaran’. Bayangkan, komentar macam apa itu?” ujar Prof Dr Hermawan Sulistyo, dari Concern Strategic Think Tank.
Kepada Jayakartanews Prof Hermawan Sulistyo menambahkan, “Ternyata nyawa rakyat hanya untuk bahan pelajaran Menhub. Harusnya kalau masih belajar ya jadi mahasiswa di kampus saja, jangan jadi menteri baru belajar,” ujar Kikiek, sapaan akrabnya.
Kikiek menambahkan, problem kelebihan muatan itu nyaris menjadi pemandangan rutin. Persis seperti disampaikan Togu. Dari kesaksian keluarga korban dan pengalaman pribadi, petugas pelabuah terlalu bebal untuk diperingatkan ihwal muatan yang melebihi kapasitas. “Ketika saya ngomel soal kelebihan muatan, mereka malah tertawa-tawa. Mereka beranggapan, selama ini kapal penuh muatan toh aman-aman saja. Benar-benar harus diberangus mental orang pelabuhan seperti itu,” ujarnya.
Togu juga mengutip kesaksian korban yang lain. “Sabtu lalu aku ribut di pelabuhan Ajibata. Sebelum aku masuk kapal, kulihat kapal lain jalan miring karena kelebihan penumpang. Kapal itu menuju Tomok, dari Ajibata. Waktu tempuh sekitar satu jam. Tapi, mereka tetap saja tidak menggubris. Nanti kalau sudah ada yang tenggelam baru semua ribut, termasuk menterinya,” ujarnya.
Kekhawatiran masyarakat pun terjadi. Kapal sarat muatan dibiarkan jalan, lalu tenggelam. Ombak besar pula yang disalahkan. Begitu kejadian di saat cuti bersama, yang terjadi aparat pun lambat memberi pertolongan. Bahkan dengan enteng meminta penundaan pencarian. Jelas, pejabat-pejabat yang ringan lidah ketika bicara itu, sesungguhnya belum pernah merasakan tenggelam. Belum pernah merasakan sekarat tak bisa bernapas di dalam air. ***