Connect with us

Feature

Nasib Anak-Anak ISIS: Korban yang Terlupakan

Published

on

‘Anak-anak ISIS’—foto istimewa

JAYAKARTA NEWS – Ruang sidang pengadilan Rusafa (Pengadilan Pidana Pusat) di Baghdad, Irak, dipenuhi oleh anak-anak kecil (Balita), yang tentu saja hiruk pikuk, saat para ibu mereka menghadapi deretan hakim. Setelah sesi pengadilan selesai, ruang jadi kosong, dan merekapun kembali ke penjara perempuan, tempat tinggal mereka selama satu setengah tahun terakhir.

Anak-anak ini tidur di kasur tipis di sel yang penuh sesak, terlihat bosan, lapar, dan sering sakit. Mereka adalah anak-anak ISIS – Islamic State in Iraq and Syria (Negara Islam Irak dan Suriah)

Salah satunya, Obaida, anak laki-laki berusia dua tahun.

Dia lahir dari Laila Gazieva, asal Chehnya, yang ditahan pada akhir 2017 lalu ketika dia melarikan diri dari wilayah ISIS, Tal Afar, di bagian utara Irak. Enam bulan kemudian, dia dinyatakan bersalah sebagai anggota kelompok militan. Ketika Gazieva dihukum penjara seumur hidup, dia tidak sendirian. Ada belasan perempuan juga diberi hukuman yang sama, menurut catatan pengadilan.

Obaida tetap bersama-sama ibunya di penjara perempuan di Baghdad, menurut catatan pemerintah Rusia.

Saat ini, sekitar 1.100 anak-anak negara Islam atau ISIS terpaksa mengikuti ibunya ke bui. Anak-anak, yang masih balita, ikut ibunya di sel. Namun setidaknya ada tujuh anak-anak meninggal akibat sakit dan kondisi buruk sel tahanan, jelas beberapa sumber reuters.com, yang dikutip untuk tulisan ini.

Sementar anak-anak, yang lebih besar, diadili dalam pengadilan pidana dengan tuduhan mulai dari memasuki Irak secara ilegal sampai tuduhan menjadi kombatan ISIS.

 Sebanyak 185 anak-anak berusia 9 sampai 18 tahun sudah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mulai dari beberapa bulan sampai 15 tahun dan mereka ditahan di penjara anak-anak di Baghdad, jelas dewan peradilan Irak. Sebanyak 77 anak-anak perempuan jadi bagian dari terpidana.

Anak-anak ini jadi korban ISIS yang dilupakan atau tidak dipedulikan. Mereka dikhianati para orang tua —- ingat mereka terbawa ke Suriah dan jadi anggota ISIS hanya karena ikut orangtuanya.

Banyak dari mereka sejak usia dini (empat tahun) secara sistimatis dan terus menerus terpapar oleh ideologi ekstrim —- banyak negara asal mereka menolak menerima mereka kembali karena kuatir akan resiko keamanan dalam negerinya.

Cerita-cerita yang dikumpulkan menggambarkan kesengsaraan anak-anak ini.

Nadia Rainer Hermann, perempuan Jerman berusia belasan tahun, terkena hukuman seumur hidup karena jadi anggota ISIS. Dia bercerita harus hidup di sel dan kasur kotor bersama anak perempuannya yang baru berusia dua tahun. “Saya setiap hari kuatir anak saya akan jatuh sakit dan meninggal.”

Sementara anak-anak yang lebih tua sangat frustasi dengan penahanan mereka dan melampiaskannya kepada para penjaga atau kepada teman-temannya.

Gazieva berharap, bersama-sama Obaida, bisa kembali pulang ke Perancis. Tapi dia sudah tidak memengang paspor Perancis. ”Saya tidak mau disini, atau di negeri ini. Saya takut apa yang akan terjadi terhadap kami.”

Gazieva (28 tahun) duduk menyilangkan kaki di lantai disamping tumpukan kecil milik pribadinya. Dia memperlihatkan kartu ijin tinggal di Perancis. Di pangkuannya, Obaida, terlihat berkeringat dalam udara panas Irak. Dia menangis dan sedang lapar, Gazieva menjelaskan air susu ibu hanya keluar sedikit saja dan tidak bisa memberi puteranya asupan air susu ibu dengan cukup.

Gazieva hanyalah salah satu dari sekitar 1.400 perempuan dan anak-anak yang berdesakan dalam kamp penahanan — hanya ada tenda di kamp ini.Dia berbicara bahasa Rusia dengan puteranya, sementara perempuan-perempuan muda disekelilingnya berbicara bahasa Jerman, Perancis, Turki dan lainnya dengan anak-anak mereka. Mereka duduk berkeliling sementara penjaga-penjaga bersenjata berpatroli.

Terlihat dengan sangat jelas pihak berwenang Irak sebenarnya tidak tahu bagaimana memperlakukan mereka — mau dipulangkan ke negara asal ditolak, ditampung membebani, mau dilepas ada kekuatiran mereka akan jadi ancaman keamanan karena kuatnya ideologi ISIS yang tertanam dalam benak mereka.

Kalaupun Irak berupaya memulangkan mereka maka hambatan diplomasi, yang dihadapi, akan sangat besar. Dimasa lalu, sudah cukup sering terdengar laki-laki berperang di negara asing, namun sekarang ini ada begitu banyak perempuan dan anak-anak ikut ayah atau suami mereka.

Saat ini memang tidak ada semacam hukum internasional mengenai repatriasi, jelas Clive Safford Smith, dari lembaga amal Reprieve yang bergerak dibidang hak azasi manusia.

HIDUP NYAMAN BERSAMA ISIS

Cerita Gazieva masih berlanjut. Dia menjelaskan bahwa di masuk wilayah ISIS secara tidak sengaja. Pada usia 17 tahun, dia mengungsi dari kawasan Chechnya, yang saat itu marak dengan kekerasan akibat pemberontakan etnis Chechnya terhadap Rusia.

Dia kemudian tinggal di Perancis. Pada tahun 2015, setelah bercerai dengan suaminya yang menurutnya kurang religius, dia ikut tur ke Turki bersama beberapa teman perempuan, yang ditemuinya lewat internet. Dia meninggalkan tiga anaknya di Perancis. Saat itu, dia berpikir dia hanya ikut tur singkat saja.

Namun teman-temannya berhasil membujuknya untuk pergi ke pantai. Belakangan, dia menyadari sudah tiba di Suriah dan semuanya sudah terlambat. Pertama-tama dia merasa takut namuan akhirnya dia menyatakan mulai menyukai ISIS. Beberapa bulan kemudian, dia menikah dengan tentara ISIS asal Chechnya dan pindah ke Irak.

Gazieva bertutur untuk sementara waktu hidup di wilayah ISIS berjalan baik dan Obaida lahir di rumah sakit umum di kota Mosul. Dia lahir dengan bantuan bidan yang direkrut oleh ISIS. Tentara asing dan keluarganya menpunyai status elit di kota itu.

Mereka mendapat rumah bagus – yang disita dari pemilik lamanya orang Irak — dan memperoleh jatah pangan dan juga jaminan kesehatan yang baik.

“Kami hidup seperti di Perancis, kecuali disini saya bebas mempraktekan agama saya dengan damai. Ibu saya tidak mengerti, dia mengatakan saya sudah berubah. Tapi saya tetap sama seperti sebelumnya, saya hanya memakai niqab,” tambahnya.

Beberapa bulan setelah kelahiran Obaida, pasukan Irak dan AS memulai kampanye untuk merebut kembali Mosul. Saat itu, Gazieva sudah menjanda dan tinggal di kota Tal Afar, tempat yang jauh dari pertempuran.

Sekali lagi, di kota itu, kehidupan berlangsung nyaman bagi Gazieva dan keluarga kombatan ISIS lainnya. Di Tal Afar, para isteri kombatan dan perempuan bisa mendapat lauk ayam dan para tetangga juga ramah. “Hidup berlangsung menyenangkan,” tukasnya. “Kecuali ketika ada pemboman. Tapi ketika saya masih kecil, ada perang di Chechnya, jadi saya sudah terbiasa dengan pemboman.”

Namun keadaan berubah pesat mulai Agustus 2017, pasukan Irak, yang telah merebut Kota Mosul, mulai bergerak ke utara. Para perempuan dan anak-anak serta kombatan ISIS bergerak keluar dari Tal Afar melewati wilayah, yang dikuasai Kurdi, menuju perbatasan Turki.

Mereka berjalan kaki, yang setiap rombongan mencapai 20 atau lebih orang. Perjalanan, yang memakan waktu berhari-hari,  digambarkan sangat mengerikan, mereka berjalan kaki melangkahi mayat-mayat manusia, yang sudah hancur, sementara terdengar suara pesawat drone di udara.

Sebelumnya, mereka diberitahu oleh para diplomat dan teman bahwa pasukan Kurdi (Peshmerga) akan mengijinkan mereka melintas ke Turki. Tapi mereka dipaksa menyerah dan ditawan.

Setelah beberapa hari ditahan pasukan Kurdi, Gazieva dan puteranya, bersama dengan para perempuan dan anak-anak lain, diserahkan kepada pihak pemerintah Irak di Mosul dan masuk penjara Irak.

Para tahanan dipindah ke Bagdad pada akhir 2017 sampai sekarang. Sebanyak sekitar 2.000 perempuan asing dan anak-anaknya berada dalam tahanan Irak.

Dokumen peradilan memperlihatkan Gazieva adalah salah satu dari 294 perempuan asing yang dipidana — sejak akhir 2017 sampai pertengahan 2018 — dengan tuduhan telah membantu ISIS. Para perempuan ini berasal dari sekitar 18 negara, kebanyakan dari Turki, Rusia, dan negara-negara Asia tengah. Catatan – catatan ini juga menunjukkan sebanyak 20 perempuan telah dijatuhi hukuman mati (dengan digantung). Tapi sejauh ini belum ada yang dieksekusi.

KISAH SEDIH PENJARA PEREMPUAN DAN ANAK

Sementara itu, penjara perempuan di Baghdad sudah menampung tahanan berlebih. Ruang-ruang sel tahanan sudah penuh sesak oleh para perempuan dan anak-anaknya. Populasi berlebihan ini juga menyebabkan banyak dari tahanan menderita sakit, ujar seorang diplomat yang pernah mengunjungi penjara itu.

Hermann, perempuan asal Jerman yang dijatuhi hukuman seumur hidup Agustus 2018 lalu, menjelaskan dia dimasukkan kedalam sel seluas 10 meter persegi.”Kami tidur ber 12 dalam sel dan ini belum termasuk anak-anak.”

Kebanyakan anak-anak tetap tinggal di penjara bersama ibunya. Mereka, mulai dari balita sampai usia 12 tahun, tidak punya kegiatan apapun dan mengalami trauma dan banyak yang menderita penyakit kulit, kurang gizi, dan penyakit lainnya.

Mereka tidak punya cukup pakaian untuk menghadapi dinginnya musim dingin. Sebagian perempuan merobek jubah panjang mereka dan membuat topi serta kaus kaki untuk anak-anak mereka.

Para perempuan dan ibu tidur dengan kasur tipis serta beberapa selimut, yang dipakai beramai-ramai.

Selain itu, makanan diberikan dalam porsi kecil dan para penjaga sering menyalakan senter dan memeriksa mereka pada malam dan juga siang hari, ujar tiga perempuan di penjara itu.

Saat ini, beberapa lembaga bantuan kemanusiaan sudah membantu pemerintah Irak dengan menyediakan kebutuhan pokok perempuan dan anak-anak, termasuk pakaian dan susu. Tapi dana masih terbatas dan pemerintah-pemerintah, yang warganya jadi terpidana, enggan ikut campur.

Sampai bulan April 2019 tercatat sudah tujuh anak-anak meninggal di penjara ini akibat kondisi dan pelayanan kesehatan yang buruk. Selain itu, sedikitnya tiga perempuan juga meninggal, menurut sumber diplomatik yang diperoleh kantor berita Reuters. Sementara pihak Irak tidak bersedia memberikan komentarnya.

Namun untuk mengkonfirmasi identitas perempuan dan anak-anak, yang meninggal, sangat sukar karena testimoni yang kurang handal serta catatan tertulis pihak berwenang, yang juga tidak jelas.

Apalagi banyak perempuan atau ibu-ibu ini sudah membakar paspor atau identitas lainnya saat mereka menyatakan setia kepada ISIS. Identitas para tahanan ini biasanya diperoleh melalui hubungan keluarga, wawancara dengan para tahanan atau bahkan pihak berwenang Irak melakukan tes DNA.

Kompleksitas masalah ditambah dengan kenyataan sejumlah anak-anak, yang dibawa para perempuan itu, sebenarnya bukan anak mereka. Anak-anak ini berasal dari teman-teman para ibu yang sudah meninggal atau dari keluarga. Bahkan ada anak-anak, yang dicurigai, sebenarnya anak-anak Irak yang mereka culik, jelas beberapa tahanan. Namun ketika ditanya pihak berwenang Irak, mereka menyatakan anak-anak itu anak mereka.

Bulan September 2017, PM Irak (saat itu) Haider al-Abadi menyatakan pemerintah telah menghubungi negara asal anak-anak asing agar bisa dipulangkan. Namun sejak Januari 2018 pembicaraan telah terhenti akhirnya Irak memutuskan memulai proses peradilan.

Di Irak, anak-anak usia lebih dari 9 tahun sudah dinyatakan bisa bertanggung jawab secara hukum. Jika dibandingkan dengan di Amerika, usia 11 tahun, dan di Jerman usia 14 tahun. Peradilan anak-anak dan remaja akan mengadili anak-anak ini.

Kemungkinan mereka akan menghadapi tiga tuduhan; secara ilegal memasuki Irak dengan pidana 1 tahun penjara; menjadi anggota ISIS dengan pidana 5 sampai 7 tahun; membantu ISIS melakukan aksi teroris bisa mendapat hukuman 15 tahun penjara.

Hakim Aqeel al-Birmani, hakim kontra terorisme yang sudah memvonis beberapa orang tua anak-anak tersebut, mengatakan, “ Mereka memang masih muda tapi mereka tahu apa yang mereka lakukan. Mereka dilatih untuk berbohong.”

Para pekerja kemanusiaan di lembaga-lembaga amal mengkuatirkan masa penahanan yang lama, bagi anak-anak yang lebih tua. Pasalnya, setelah mereka berusia 18 tahun, mereka akan dipindahkan ke penjara dewasa. Sehingga, mereka kuatir, upaya-upaya rehabilitasi di penjara anak-anak dan remaja akan hilang ketika mereka bertemu dengan penjahat-penjahat dewasa di penjara.

Sejumlah negara, termasuk Rusia, Turki, Perancis, Jerman, Azerbaijan, Tajikistan, Kyrgyzstan, Uzbekistan dan juga Jordan,  Suriah, dan  Trinidad and Tobago serta negara-negara lainnya seperti Indonesia dan negara-negara Asia Selatan melihat kasus anak-anak militan ISIS ini dengan hati-hati.

Apalagi meski orang tua mereka berasal dari negara tertentu dan cukup banyak anak mereka lahir di wilayah kekuasaan ISIS tanpa akta kelahiran, yang menyebabkan sukar menentukan kewarganegaraan mereka.

Tampaknya nasib anak-anak ini cukup suram dan tanpa terobosan kemanusiaan akan tetap begitu. Mereka akan jagi sebuah generasi terhilang jika tidak ada langkah internasional yang kuat untuk melindungi dan menyediakan lingkungan yang sehat agar mereka bisa tumbuh dengan aman. ***leo patty/rtrs

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *