Connect with us

Ekonomi & Bisnis

Akibat Blokade Israel – Mesir: Industri Tradisional Gaza Lenyap

Published

on

JAYAKARTA NEWS – Jalur Gaza, Palestina, pernah punya perekonomian yang maju pesat dan membuat masyarakat relatif sejahtera. Industri kerakyatan dan tradisional seperti keramik, gelas warna-warni, furniture bambu, bahkan karpet – berasal dari tradisi kuno – dan alas tidur tenun sempat lama berjaya.

Selama puluhan tahun industri tradisional ini menghidupi ribuan pekerja dan keluarganya dan jadi tulang punggung ekonomi Gaza. Produk-produk ini juga diekspor ke manca negara. Sekarang? Semua itu sudah jadi masa lalu dan seluruh industri ini sudah hampir punah.

Kendati harus juga diakui semua pelaku industri mengalami kemunduran besar setelah era globalisasi dengan diperhadapkan efesiensi produksi massal Tiongkok. Disisi lain blokade Israel dan Mesir selama 12 tahun juga ikut mempercepat punahnya industri tradisional Jalur Gaza.

“Ekonomi kami hancur. Kami tetap tinggal disini, tapi sangat sulit,” kata Abed Abu Sido, salah seorang perajin gelas sambil membalik-balik katalognya yang berisi gambar-gambar karya gelas atau kaca warna-warni.

Di bengkelnya, debu sudah menyelimuti gelas dan kaca — karya Abu Sido — dan dia perlu melap gelasnya agar cahaya indah berwarna terlihat kembali. Sementara kotak-kotak karton berisi gelas atau kaca, yang belum selesai, serta material lain menumpuk sampai ke atap.

Abu Sido mulai membuka bengkel gelasnya pada era tahun 1980-an. Dia menjual banyak karya gelasnya di toko-toko di Yerusalem (dibagian kota tua). Pada masa kejayaannya, dia bahkan sempat ikut pameran di Eropa.

Semua berubah sejak 2007, ketika Hamas menguasai Gaza hingga memicu Israel dan Mesir menutup perbatasan. Abu Sido terpaksa menutup bengkel gelasnya dan memecat ke 15 pekerjanya — setahun setelah peristiwa itu.

Israel menyatakan blokade diperlukan untuk mencegah Hamas mempersenjatai diri. Namun penutupan, pertempuran terus-menerus antara Israel lawan Hamas serta pergulatan kekuasaan Hamas dengan Otoritas Palestina, yang berkuasa. Semua ini menyebabkan kondisi sosial ekonomi di Gaza sangat sukar.

Israel sangat membatasi ekspor dan impor bahan baku industri ke Gaza. Disisi lain, tingkat pengangguran sudah mencapai lebih dari 50%. Akibatnya, sisi permintaan dari dalam Gaza lemah. Israel menuduh situasi ini karena Hamas.

Sejak awal 2019, Israel meluncurkan program percontohan mengijinkan perusahaan Gaza mengekspor. Namun para pengusaha menjelaskan setelah bertahun-tahun tidak bisa mengekspor ke luar negeri, mereka sudah kehilangan mitranya dan tidak bisa serta merta mengekspor produknya.

Di Khalaf Furniture dikenal luas menghasilkan produk bermutu furniture dari bambu dan rotan. Mereka mengekspor sofa, meja makan dan kursi-kursi ke Tepi Barat, Israel, Teluk Persia dan Amerika. Bisnis maju pesat sejak 1975 sampai terjadi peristiwa Intifada  kedua tahun 2000. Saat itu, Israel memberlakukan blokade terhadap Gaza hinga kondisinya memburuk. Pengusaha Tareq Khalaf menjelaskan para pelanggannya sudah mengalihkan pasokan ke pemasok lain bertahun-tahun lalu. Apalagi Hamas merapkan pajak terhadap bahan bakunya, yang mamin mempersulit upaya ekspor meski Israel sudah mengendurkan blokadenya, terutama untuk produk furniture. “Ini (pembuatan furniture) adalah profesi tradisional orang Palestina. Para pejabat pemerintah seharusnya menjadikan (industri furniture) sebagai prioritas. Mereka harus mendukung industri ini,”imbuhnya.

 Sementara itu, di pabrik keramik Atallah ada ribuan kendi, piring, gelas, vas bunga, dan lainnya teronggok di halaman pabrik.  Saat itu ada tiga pekerja mengerjakan berbagai produk keramik dan dua lagi sebagai pencampur bahan baku (tanah liat dan lainnya). Khairi Atallah, pemilik pabrik, menjelaskan ini semua adalah sisa-sia kejayaan ketika dia memperkerjakan lebih dari 50 orang. Dia menjelaskan, setelah blokade, dia tidak bisa lagi mengekspor produknya ke Tepi Barat dan Israel, yang menyerap 90% produk keramiknya sebelum blokade.

“Pendapatan sudah tidak memadai untuk meneruskan bisnis ini,” jelasnya. Dia juga mengatakan dia tetap meneruskan usahanya hanya karena ayahnya memintanya agar tidak menutup pabrik saat dia masih hidup.

Sementara Mahmoud Sawaf (73 tahun) percaya dia adalah sisa satu-satunya penenun karpet di Gaza. Dia tinggal dekat dengan kawasan turis dan para pekerja lembaga internasional membeli produknya dan memampukannya bertahan. Tikar murah telah membanjiri Gaza dan penduduk setempat tidak akam mampu membeli karpet buatan tangan. “Bahkan pada usia saya sekarang ini, saya tetap bekerja. Saya tidak akan berhenti,” tegasnya.

Oleh: Leo Patty

Sumber informasi: haaretz.com, AP

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *