Connect with us

Feature

Kharismawita, Sekolah Berkarisma di Sawangan Depok

Published

on

SAYA  menulis tentang SMA Kharismawita ini bukan berpromosi tetapi sekadar berbagi pandangan kepada orangtua di sekitar Tangerang Selatan dan Depok atau tepatnya Sawangan yang bingung mendapatkan sekolah untuk putra-putrinya.

Saya pun tidak izin pada pihak sekolah menulis ini. Menurut saya Sekolah Kharismawita Sawangan ini cukup bagus dan tidak kalah dengan sekolah negeri yang ada di sekitarnya. Saya memberikan penilaian ini karena dua anak saya sekolah di sekolah negeri dan satu di SMA Kharismawita Sawangan. Ini bukan sekolah alternatif tetapi layak sebagai sekolah pilihan. Saya akan menceritakan lebih lanjut.

Jika dicari di internet SMA Kharismawita letaknya di Jl. Raya Parung – Ciputat No.462, Serua, Kec. Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat 16517. Cukup membingungkan untuk yang tidak paham alamat ini karena dapat terkecoh dengan kata Ciputat dan Depok.

Nama jalan alamat SMA Kharismawita ini memang di Jl. Parung – Ciputat tetapi bukan di Parung atau Ciputat. Ada kata Depok tetapi bukan juga di Depok.

Sebetulnya lokasi SMA Kharismawita ini layak disebut di Pamulang Tangerang Selatan. Persisnya tidak jauh dari Perempatan Gaplek (perempatan McDonald) tidak jauh juga dengan Terminal Bus Pondok Cabe. SMA Kharismawita mudah dicari karena di jalan raya dari arah Ciputat menuju Parung.

Saya merasa perlu berbagi cerita tentang SMA Kharismawita ini karena merasakan betapa pusing sebagai orangtua mencarikan sekolah untuk anak. Dua anak saya masuk sekolah negeri di Pamulang, Tangerang Selatan, yang satu kemudian ke perguruan tinggi negeri dan sudah bekerja, satunya lagi masih kuliah juga di perguruan tinggi negeri. Paling kecil masih sekolah di SMA Kharismawita. Oleh sebab itu saya mencoba menceritakan pengalaman saya sebagai orangtua mencari dan menilai sekolah di mana anak saya pernah dan sedang sekolah.

Anak pertama masuk SMA dengan mulus karena belum diberlakukan sistem zonasi dan lulus tepat dua tahun karena dimasukan oleh guru ke kelas akselerasi. Anak kedua zonasi mulai diberlakukan sehingga lumayan jungkir menguras energi dan emosi untuk sampai masuk SMA dimana kakaknya pernah sekolah di sana.

Tiga tahun kemudian atau bertepatan dengan anak nomor dua lulus SMA,  anak nomor tiga masuk ke SMA Negeri tempat dua kakaknya sekolah. Gagal. Kali ini saya tidak berjuang seperti saat kakaknya masuk sekolah SMA. Banyak orang melakukan protes bahkan mengancam demo agar anaknya yang gagal diterima masuk dan masuk. Ada beritanya.

SMA Kharismawita, Depok/foto: ekk

Sejumlah teman menawarkan diri membantu tetapi saya menolak. Saya tidak ngotot harus masuk SMA Negeri ini karena dari harapan saya bahwa sekolah negeri lebih murah ternyata salah. Saya langsung mendaftarkan anak ketiga ke SMA Kharismawita yang lokasinya tidak jauh juga dari rumah melalui jalan tikus langsung sampai ke sekolah. Itu jika enggan memutar melalui jalan raya Ciputat – Sawangan.

Alasan memilih negeri sebetulnya selain berharap lebih murah dan jarak hanya 1200 meter dari rumah. Jadi bukan menilai sekolah swasta tidak berkualitas. Saya dan lima saudara sekandung semuanya sekolah di swasta. Bahkan ibu bapak juga sekolah di swasta. Hanya ibu saya sempat di SMA Negeri 3 Yogya tahun 1955.

Saya berpikir, sekolah salah satu jembatan menuju kesuksesan tetapi upaya diri secara mandiri merupakan faktor utama. Saya tidak memaksakan sesuatu kepada anak, tetapi mengarahkan pentingnya mengisi diri dengan ilmu dan pengetahuan sebagai bekal hidup nanti. Juga pada dasarnya keren tidaknya sekolah itu, tergantung anak siapa yang sekolah di sana. Hal ini sudah menjadi pemahaman umum karena menyangkut jejaring ke depan. Masyarakat banyak tidak melihat kuwalitas sesungguhnya. Banyak sekolah bagus dengan guru bagus dan sistem yang bagus tetapi karena yang sekolah di sana bukan anak pejabat atau tersohor membuat tidak diperhitungkan.

Memang sekarang diterapkan sistem zona sehingga dapat ditepis pandangan tersebut. Tetapi sudah pula menjadi rahasia umum bahwa enam bulan sebelum penerimaan siswa baru di sekolah negeri, orangtua berlomba memindahkan alamat anaknya ke alamat kenalan (baru kenal atau cari kenalan) yang lokasinya beberapa meter dari sekolah negeri.

Masihkah sistem zona dipertahankan? Itu bicara zona belum lagi cerita anggota dewan ikut titip entah anak siapa untuk dapat diterima di sekolah negeri.

Mengenai kecurangan sistem zona, ini bukan omong kosong. Bisa chek berita Walikota Bogor, Bima Arya yang melakukan inspeksi mendadak (sidak) langsung ke alamat sekitar sekolah negeri di wilayahnya.

Temuannya, ada calon murid yang mendaftar di sekolah negeri beralamat dekat sekolah tetapi ketika Bima Arya mendatangi alamat tersebut tidak ada nama siswa yang mendaftar ke sekolah tadi.

Bahkan Bima mendapati ada anak yang lokasinya dekat sekolah tidak diterima di sekolah negeri dekat rumahnya. Hal ini membuat Bima Arya marah.

Bagaimana di Tangsel? 

Perbandingan

Ada beberapa hal menarik dari SMA Kharismawita yang mau tidak mau menjadi pembanding antara sekolah negeri dan swasta tempat tiga anak saya sekolah.

Pertama adalah mengenai keuangan ketika masuk tahun 2022 siswa SMA Kharismawita harus membayar uang Rp1.950.000. Uang tersebut selain uang masuk sekolah juga sudah termasuk  seragam sekolah (stelan batik dan celana panjang, stelan baju olah raga, jas almamater, satu bulan iuran sekolah (SPP) Juli sebesar Rp350.000 dan fieldtrip serta jasa psycotest siswa baru.

Ruangan kelas dilengkapi pendingin udara (AC). Tentu kami orang tua tertegun. Koq bisa sekolah swasta tanpa subsidi lebih murah dibandingkan negeri? Bandingkan dengan ketika kakaknya masuk SMA Negeri tiga tahun lalu harus membayar uang RP1.800.000. Meskipun sudah pula termasuk seragam dan buku tetapi fieldtrip masih harus bayar sekitar Rp1.150.000 dan psycotest Rp150.000.

Yang menjadi tanda tanya,  katanya sekolah negeri gratis, tetapi masih harus beli buku lagi dan hal ini berlangsung setiap tahun. Orangtua wajib tanda tangan bahwa siswa membeli buku atas kehendak sendiri. Siapa berani menolak permintaan tanda tangan tersebut?

Orangtua terpaksa tanda tangan, khawatir anaknya ditandai dan mendapat masalah. Maka terpaksa bayar. Pada SMA Kharismawita tidak ada pembelian buku tetapi sistem sewa yang biayanya Rp150.000  per tahun.

Khusus pembelian buku di SMA Negeri ini kemudian menjadi berita di media bahwa ada pemaksaan tidak langsung, pendidikan dibisniskan. Pendeknya, ada ketidakberesan.

Akibatnya, penjualan buku tidak di sekolah tapi pindah ke warung dekat sekolah atau di luar pagar sekolah secara sembunyi-sembunyi.

Bisnis sekolah jual buku tidak bisa dipungkiri ada karena  menggiurkan. Saya tau karena beberapa kenalan, bahkan guru, menerbitkan dan menjual ke sekolah sekolah.

Saya berteman dan berdiskusi dengan sejumlah guru yang memiliki idealisme, juga pengamat pendidikan sampai  wakil menteri pendidikan. Tentang pendidikan dibisniskan ini panjang jika dikisahkan di sini.

Hal yang menarik dari SMA Kharismawita lainnya, ketika orangtua datang untuk ambil rapor anak,  ada orangtua murid yang membawa bingkisan, tetapi wali kelas menolak dan mengingat jangan melakukan hal itu agar guru independen.

Ternyata bu guru sudah mengingatkan semua murid untuk menyampaikan pesan kepada orangtua masing-masing, saat ambil rapor jangan membawa bingkisan. Bu wali kelas tampak menegur serius karena siswa tidak menyampaikan pesannya kepada orangtua.

Apa yang saya cermati dari pengalaman menyekolahkan anak di SMA Negeri dan swasta menimbulkan  kesan SMA Kharismawita tidak semata bisnis pendidikan tetapi masih ada idealisme pendidikan di sana. Itu kesan saya.

Saya tidak berpromosi tetapi menginfokan kondisi dan pengalaman kami sebagai orangtua. Saya lihat anak saya gembira. Minat sekolah dan belajar lebih baik dari sebelumnya.  Tampaknya guru-guru SMA Kharismawita mampu membangun komunikasi dengan baik kepada para murid tanpa membedakan.

Harapan saya tentu SMA Kharismawita menjadi sekolah yang terus lebih baik karena memiliki gedung bagus, lahan luas, lokasi yang strategis. Sayang jika hanya menjadi sekolah biasa-biasa saja.

Terima kasih.***Eddy Koko

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *