Connect with us

Feature

“Hidup Saya sudah Selesai,  tapi Terus Berkarya”

Published

on

JAYAKARTA NEWS“Hidup saya sudah selesai.” Kalimat pendek, hanya empat kata. Ungkapan ini disampaikan  Prof Hermawan Sulistyo. Rekan-rekan Jayakarta News biasa memanggilnya mas Kikiek. Ia memang teman lama sejak di Harian Jayakarta tahun 1990-an sebelum  ia melanjutkan studi S2 dan S3-nya di Amerika           

Ungkapan di atas nampaknya telah kita dengar dua kali. Pertama, dikatakan mas Kikiek ketika ulang tahun Jayakarta News ke-6, 25 Februari lalu di Bukit Merah Putih, Sentul, Bogor.  Kedua, saat keluarga Jayakarta News halal bihalal, Rabu (24/5)  lalu di Lenteng Agung yang juga merupakan kantor pribadi mas Kikiek. Hadir pula Pemimpin Umum Jayakarta News Martin Hutabarat, dan Pemred Roso Daras.

 “Hidup saya sudah selesai.” Kiranya ini rangkaian kata menarik  untuk direnungkan. Pesan yang simpel, namun layak diurai bagi kita yang tak lagi  muda, atau memasuki usia tua dan jelang senja kala. Frase itu dikatakan di sore hari saat mas Kikiek   diminta Yonathan, wartawan senior Jayakarta News  untuk menyampaikan  tausiyah halal bihalal.

Mas Kikiek dalam tausiyahnya tak mengutarakan yang terkait langsung spiritual keagamaan, seperti bagaimana  agar kita tetap istiqomah, bagaimana berlaku sabar atau menyambung tali silaturahim sebagaimana acap menjadi materi ceramah singkat yang informal. Penasihat Ahli Kapolri ini menceritakan tentang dirinya sendiri, khususnya setelah lolos dari bayang-bayang maut. Namun, tentunya bias dari ucapannya bisa kita bawa dan kita rajut dengan pengalaman-pengalaman kita masing-masing.     

“Hidup saya sudah selesai”.  Agaknya kalimat tersebut mudah dimaknai, namun tentu tak  mudah diikuti. Kata-kata berikutnya kian memperjelas pesannya  bahwa putra-putrinya pun sudah “mentas” alias sudah tak memerlukan biaya studi atau support  materi dari dirinya.  Di sini, bisa dimaklumi, jika ungkapan “Hidup saya sudah selesai”  sebagai kewajaran saja.  Maka wajar pula  jika  spontan salah seorang teman menimpali tapi dengan berbisik ke telinga saya; “ (Kalau) kita masih mikirin uang  kuliah anak”.

Teman yang lain di samping saya berbisik pula;   “Aku suka dengar santapan batin begini.”

Itulah, setiap pesan menimbulkan respon berbeda, dan tentu tafsir berbeda pula.

Memang tak cuma, “Hidup saya sudah selesai.” Mas Kikiek pun mengaku sudah tak ada ikatan dengan materi.   Ia bercerita pula, bahwa  dirinya pernah sakit parah harus terbaring selama enam bulan di tempat tidur. Ia terkena stroke lalu tak sadarkan diri pula. Ia telah mati suri dua kali. Hilangnya kesadaran kedua akibat terserang malaria setelah berkunjung ke Papua.

Benar-benar tak ingat sesuatu apapun  ketika tidur panjang dan siuman. Di saat hidupnya koma, banyak dokter, termasuk anak-anaknya yang juga dokter tak punya harapan lagi  ia bisa hidup dan bahkan sehat kembali  serta melakukan aktivitas seperti sedia kala. Menjadi pembicara terkait masalah politik, dan juga kasus-kasus yang berhubungan dengan kepolisian. Pria kelahiran Ngawi, Jawa Timur, 1957 ini aktif mengajar di lingkungan TNI/ Polri, seperti di Lemhannas, Sesko TNI, Sespimti Polri, Sespimmen Polri dan semua jenjang pendidikan Polri.  Bahkan kemudian bisa tetap rutin bermain karate. Olahraga yang ditekuni sekitar 40 tahun dari hidupnya.     

Tidur panjang berhari-hari, dan ruhnya  masih kembali  ke badan wadag, tentu ini  pun menjadi perjalanan  batin dan spiritual yang membekas, atau bahkan punya daya pagut yang tentunya luar biasa bagi yang bersangkutan.

Bayangkan, tak ingat apa-apa ketika koma. Jantung tentu berdetak, namun sukma entah dimana dan kembara kemana. Nalar kita acap tak menjangkau terkait orang-orang yang koma namun kemudian hidup normal lagi seperti semula.

Koma,  fase dimana seseorang  berada dalam dimensi antara hidup dan mati.  Fase ini bisa terjadi berjam-jam, berhari-hari, minggu, bulan bahkan  bertahun-tahun.

 Kata-kata yang disampaikan mas Kikiek,  “Hidup saya sudah selesai” , lalu “Saya sudah tidak ada keterikatan dengan materi”  yang tercetus setelah sakit  menimpanya dan mati suri, kiranya bertolak  dari pergulatan pasca kesadarannya pulih kembali.  Setelah tahu pula tentunya, bagaimana reaksi orang-orang terdekat, terutama keluarga.

Untuk lahirnya kata-kata yang mirip permata semacam itu, yang mengarah pada pencapaian maqom tertentu, dalam pandang orang-orang   tertentu pula, seseorang kadang harus dihadapkan atau mengalami  benturan-benturan. Baik menimpa secara fisik maupun batin atau keduanya. Dan dalam “hukum semesta” seorang insan   perlu mengalami benturan, atau layak “dibenturkan” guna menemukan nilai-nilai, atau untuk menapak tangga naik.  Karena setiap kejadian tak lepas dari hadirnya hikmah dan pelajaran-pelajaran. Dan semesta konon  senantiasa menghamparkan hal itu,  terutama bagi orang-orang yang  mau berpikir.    

Setelah merasa “hidup sudah selesai”, lantas apa yang  akan terus dilakukan?  

Sebagai ilmuwan, dan purna tugas dari LIPI yang lebur menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Hermawan Sulistyo akan terus menulis buku. Terus berkarya melahirkan  buku-buku yang mencerminkan, memotret,  dan  menyuarakan gerak zaman,  semacam karya sebelumnya; Palu Arit di Ladang Tebu, Potret Transisi Reformasi,  Potret Akhir Orde Baru,   Bom Thamrin, dan  masih banyak lainnya, seperti Polri dalam Arsitektur Negara, Jenderal 600 .

Hidup pada esensinya tak pernah usai, lebih-lebih  bagi para pemikir. Yang berbatas adalah tugas rutin atau terkait dengan institusi, suatu lembaga. Tapi untuk negeri, dan pengabdian pada kemanusiaan berlangsung selamanya,  sampai Tuhan memanggilnya. Kematian !

Guru Besar Universitas Bhayangkara Jaya ini begitu enteng dan santai bicara kematian, bahkan beberapa kali ia mengatakan tak ingin mati terlalu tua. “Ga ada yang menangisi. Ga ada yang layat, “ ujarnya sembari tertawa.  *** iswati

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *