Connect with us

Kabar

Wartawan Melawan Hoax dan Pembela Kebenaran

Published

on

Jayakarta News – Jurnalis senior yang juga Tenaga Ahli Kepala BNPB, Egy Massadiah prihatin melihat fenomena oknum wartawan penyebar hoax. Ia harus menyebut kata oknum, karena faktanya memang tidak semua wartawan penyebar hoax.

Setelah ia teliti lebih dalam, oknum penyebar hoax tadi masih terklasifikasi lagi pada dua layer. Pertama, melakukannya dengan sengaja. Kedua, melakukan tidak dengan sengaja, karena ketidaktahuan. Itu terjadi karena banyak wartawan yang tidak mau menggali data lebih dalam. Bahkan cenderung melakukan copy-paste.

Egy memaparkan hal itu saat berbicara sebagai narasumber Pendampingan Wartawan Dalam Peliputan dan Pemberitaan Covid-19, hari ini (6/10/2020) di Novotel Tangerang, Tangerang Superblock.

Acara itu diprakarsai BNPB bekerja sama dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Tangerang Kota. Tema yang diangkat pada pendampingan wartawan kali ini adalah “Kita Berbagi, Kita Mengedukasi Covid-19.”

Sebagai pemateri dengan tema “Wartawan Melawan Hoax dan Pembela Kebenaran”, Egy membukanya dengan mengutip kalimat legendaris dari Edward Bulwer-Lytton (1803 – 1839). Penulis sekaligus politisi Inggris itu terkenal dengan ungkapannya: “Pena lebih tajam dari sebilah pedang”.

Maknanya, tulisan ada kalanya bisa mengakibatkan peperangan antarnegara, konflik politik, hingga chaos. Karena itu, ilmu jurnalistik kemudian mensyaratkan banyak syarat. Di luar syarat teknis 5W + 1H, hal utama yang tak bisa dianggap sepele adalah akurasi. Mekanisme check and recheck, cover both sides, adalah beberapa tips untuk membuat sebuah karya tulis memiliki nilai akurasi tinggi.

Fenomena Hoax

Egy menyitir fakta beberapa tahun terakhir, ihwal maraknya hoax pasca munculnya platform media sosial, enam tahun terakhir. Hoax adalah informasi palsu, berita bohong, atau fakta yang dipelintir atau direkayasa untuk tujuan lelucon hingga serius.

Dalam Kamus Jurnalistik, Berita Bohong (Libel) sebagai berita yang tidak benar sehingga menjurus pada kasus pencemaran nama baik. Lebih dari itu, bisa berimplikasi pada delik hukum. Yakni, perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana.

“Media sosial memungkinan semua orang menjadi publisher atau penyebar berita, bahkan ‘berita’ yang dibuatnya sendiri, termasuk berita palsu atau hoax,” ujarnya.

Egy mengaku tak habis pikir, ketika di masa bencana non alam (pandemi Covid-19), masih ada penulis yang tega berbuat nista. Menyebar hoax, mengakibatkan kepanikan, yang bisa berujung pada terancamnya nyawa manusia (akibat berita bohong).

Tim AIS (Pengais Konten Negatif) Ditjen Aptika (Aplikasi Informasi) Kemen Kominfo, menunjukkan 1.401 konten hoaks dan disinformasi terkait Covid-19 beredar di masyarakat. Angka itu tersaji dalam paparan Kominfo tanggal 5 Mei 2020. Sumber yang sama juga menyebutkan, Kominfo sudah men-take down lebih dari 6.000 situs penyebar hoax.

Dengan berbagai dalih dan latar belakang, bisa dipastikan ancaman hoax belum akan hilang. Ia seperti binatang jalang, yang menerjang, mengamuk, dan memporak-porandakan siapa saja (masyarakat) yang rentan, sensitif, dan malas melakukan cross-check. Lebih parah, jika ditambah sikap “mudah menggerakkan telunjuk untuk menyebarkluaskan” melalui mekanisme “share”.

Suasana acara Pendampingan wartawan dalam Peliputan dan Pemberitaan Covid-19 dengan tema “Kita Berbagi, Kita Mengedukasi Covid-19.” (foto: BNPB)

Dalam kesempatan itu, Egy juga mengutip data Tim Pakar Satgas Covid-19 yang diketuai Prof Wiku Adisasmito. Peran aktif (dan positif) media massa memegang peran 63 persen dalam ikut menanggulangi pandemi Covid-19 di Tanah Air. Kontribusi peran yang begitu besar, bisa mengakibatkan turbulensi atau guncangan keadaan jika tidak dilakukan dengan baik.

“Ada tiga cara bagi kita yang berprofesi wartawan/penulis untuk melawan hoax dan menjadi pembela kebenaran,” ujar Egy. Pertama, Menanamkan Rasa Berdosa Jika Salah Menulis.

Menurut Egy, frame yang kita kenakan adalah frame kaca benggala. Bukan kacamata kuda. Setiap yang kita tulis, akan tersiar dan memiliki kesempatan luas untuk dibaca/dilihat/didengar audiens. Salah satu huruf, bisa mengubah makna. Apalagi jika salah kata, atau kalimat. Sebab, jika kesalahan itu kemudian ditelan bulat-bulat oleh masyarakat dan mengakibatkan chaos, sesungguhnya kitalah (wartawan/penulis/pewarta) yang harus bertanggung jawab di mata Tuhan.

Kedua: Merasa Butuh Eksplorasi Data/Fakta. Egy menjabarkan, wartawan atau siapa pun yang menuliskan sesuatu informasi, harus membunuh ambisi yang mengedepankan clickbait (umpan balik) untuk media siber, atau antusiasme pembaca/pemirsa/pendengar semata. Mengapa perasaan itu harus dibunuh? Karena selain tidak bermanfaat (bahkan berdampak negatif), juga menutup kewajiban seorang jurnalis untuk melakukan tugasnya secara profesional.

Tugas jurnalis secara profesional harus mengulik dan mengeksplor data seakurat dan selengkap mungkin. Cross check, cover both sides, konfirmasi, mencari dan meneliti data pelengkap, adalah nafas jurnalis dalam menyebar informasi ke masyarakat.

Syarat profesionalisme jurnalis/penulis tidak hanya dibutuhkan manakala mendapatkan informasi negatif (misalnya terjadi kasus), tetapi juga untuk informasi yang bersifat positif. Dengan begitu, jika toh dalam tulisan ada kritik (fungsi watch dog), tetap dilakukan dalam koridor yang seimbang, dalam narasi gamblang, dan sajian data yang akurat.

Ketiga: Mengakses Ketersediaan Data. Egy prihatin jika melihat ada wartawan yang enggan menggali kedalaman data atas informasi yang ia terima. Terkait Covid-19, misalnya, Pusdatinkom BNPB menyediakan data yang bisa diakses setiap wktu.

Egy yang juga anggota Satgas Covid-19 itu menambahkan, hampir semua rumah sakit rujukan, laboratorium, dan sumber data lain terkait Covid-19 di seluruh Indonesia, sudah dibuatkan mekanisme pelaporan dan up date data yang di-pool di Tim Pakar Satgas Covid-19.

Jika dalam keadaan informasi belum didapat secara lengkap dan akurat, maka berlaku pameo “diam itu emas”. Artinya, tidak tergesa-gesa untuk menyiarkan, tetapi menunggu kelengkapan data didapat, baru menulis.

Cepat Harus Akurat

Dalam hal penyiaran berita, Egy menyadari bahwa di tengah persaingan antar-media, ada kalanya kecepatan menjadi sesuatu yang mutlak. Tapi ingat, kecepatan tanpa diimbangi akurasi yang presisi bisa mengakibatkan tabrakan.

“Saya mengajak semua berempati atas musibah wabah Covid-19 yang menimpa bangsa kita (dan bangsa-bangsa lain di dunia). Wabah mendatangkan perasaan susah. Dan rasa susah itu menjadi berganda manakala ditambah informasi yang salah,” pungkasnya. (rr)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *