Connect with us

Feature

Riuh “Himne Innalillahi….”

Published

on

JAYAKARTA NEWS – Minggu kedua bulan Juni 2021 lalu, yang positif Covid-19 terus meningkat dan makin hari kian melonjak. Yang meninggal pun seiring, kian melaju jumlahnya.

Pemberitaan Covid-19 sungguh memprihatinkan. Setiap keluarga kiranya acap menerima kabar tertularnya virus yang makin masif penyebarannya, serta cerita duka kematian. Baik dari orang yang masih ada hubungan keluarga, famili, maupun teman.  

Rumah sakit di ambang kemampuan daya tampung. Tenaga kesehatan kewalahan. Teriakan lockdown pun digaungkan. Pemerinta lalu memutuskan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat untuk Jawa dan Bali selama dua pekan. Rencana semula hingga 20 Juli, namun angka kematian dan keterpaparan masih tinggi. PPKM Darurat pun dilanjutkan hingga akhir Juli 2021.  

Keadaan memang mengkhawatirkan. Kasus melonjak parah tentu DKI Jakarta. Kota tersibuk oleh pergerakan orang, menyusul Jawa Barat, Jawa Timur. Semua provinsi di Jawa seperti terjadi ledakan. Hari Minggu kemarin (18/7/2021) sebaran 44.721 kasus baru Covid-19 di Indonesia. DKI Jakarta 9.128 kasus, Jawa Barat 7.777 kasus, Jawa Timur 5.726 kasus, Jawa Tengah 4.699 kasus, Banten 3.139 kasus, DI Yogyakarta 2.119 kasus.

Orang bilang corona makin ganas. Serem. Ini tak berbeda dari pernyataan Gubenur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam berita petang di televisi beberapa hari lalu. Gubernur memohon kepada masyarakat untuk di rumah saja jika tidak ada tujuan penting. Karyawan yang diperbolehkan masuk hanya pekerja di sektor esensial atau kritikal.

“Sampai jam 3 sore tadi, yang meninggal sudah 238 orang,“ kata Anies. Kondisi rumah sakit yang terus membudak dan pasien yang di lorong-lorong, tak mungkin  diperlihatkan ke publik. Begitupun mondar-mandirnya mobil ambulans ke pemakaman.  Petugas pemakaman dari pagi hingga malam hari masih menguburkan jenazah.

Apa yang terjadi di lapangan juga terekam komplit di sosial media (sosmed). Meski Anda di rumah saja, Anda tentu bisa memantau perkembangan. Namun banyak orang yang sekadarnya saja melihat progres berita pandemi corona ini. Untuk ketenangan diri supaya tidak terseret  situasi. Bahkan ada yang tak mau membuka WA Grup.

“Bukan apa-apa….; isinya belakangan  innalillahi…. terus,” ia memberi alasan sebelum ditanya. “Bikin pikiran tambah ga karuan, “

RS Dr Sutomo Surabaya

“Himne innalillahi wainnailaihi rojiun” bukan hanya di grup WA, tapi di lingkungan kita tinggal juga sering terdengar. Pagi, siang, sore bahkan malam, berita kematian diumumkan lewat masjid atau musholah. Memang tidak selalu dari masjid terdekat, namun pengumumam kematian dari kampung sebelah, komplek perumahan sebelah sampai juga ke telinga kita lewat pelantang.

WA dari keluarga maupun teman, juga mengabarkan info serupa. Ya, sebentar-sebentar “innalillahi”, kabar duka diumumkan.

Kita tentu percaya. Meski di rumah saja, dunia ada dalam genggaman kita. Tidak hanya dari lingkungan sekitar, namun kondisi di kota-kota lain selama PPKM ini pun bisa kita pantau dan kita ketahui, termasuk situasi di negara-negara lain bisa kita lihat.

Rentetan kabar yang membuat makin galau dan duka lara itu serba kelam memang. Rumah sakit makin penuh, UGD ditutup, ambulan wira-wiri ke pemakaman, dan lahan kuburan khusus Covid terus diperluas.

Pemberitaan di televisi tidak  berbeda jauh. Bahkan jika disimak juga “menyeramkan”. Sebanyak 13 UGD di Surabaya sempat ditutup. Sejak diberlakukannya PPKM Darurat 3 Juli lalu, peningkatan angka positif Covid kian memuncak. Masyarakat yang stres dan panik melarang ambulans agar tidak membunyikan sirine.

Ini terjadi di Kecamatan Sukolilo, Surabaya. Ambulans yang wira-wiri melewati permukiman warga menuju ke pemakaman Covid di Keputih, dilarang membunyikan sirine. Karena, menurut ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) Keputih, seperti diberitakan CCN Indonesia, ambulans yang lewat itu tidak ada jamnya, mulai pagi hingga pagi lagi. Bunyi sirine itu mengganggu ketentraman masyarakat.

Karena itu masyarakat melarang ambulans yang melewati perkampungan  mereka agar tidak membunyikan sirine. Apalagi saat PPKM lalu lintas makin sepi, jadi tak perlu pakai sirine.

Kondisi di suatu RS di Surabaya tak kalah memprihatinkan. Pasien luber, bergeletakan dengan tabung oksigen. Mirip pasar. Foto yang tersebar di sosmed itu pun tentu hanya salah satu sudut, sudut lain tak terbidik, atau tak masuk sosmed. Panorama sepi di Jalan Malioboro pun cukup  menyentak. Jantung kota Yogya begitu senyap.

Meski di rumah saja, jika terus-menerus dicecar info-info yang dramatis tentang  melonjaknya pasien corona dan jumlah kematian, tentu membuat galau hati. Baik lewat kata-kata narasi, gambar, video, dan tik-tok.

Namun, di sisi lain, di rumah saja, dilarang beraktivitas di luar kendati mencari penghidupan, juga menimbulkan kecemasan, dan keluhan panjang, bahkan kemarahan.

“Pakai hati nurani, pak, masa jualan begini tidak boleh. Kami makan apa?“ Ini ungkapan penjual warung pinggir jalan ketika petugas lewat dan memintanya tutup, namun tidak digubris. Ia malah terus ngoceh, dan petugas pun pergi.

Kita tentu sering menonton lewat TV razia seperti itu. Wong cilik, masyarakat miskin – dan sekarang bertambah jumlah mereka – tentu mendengar dan mungkin sudah memahami keberadaan pandemi Covid-19 ini. Bahkan situasi belakangan yang kian masif penyebarannya, mengakibatkan banyak kematian diketahuinya pula. Mereka tampak paham. Coba dekati dan ajak bicara, mengerti tampaknya!

Namun, bagi masyarakat kebanyakan sangat menyadari, kelaparan itu pun menjadi ancaman yang juga bisa mematikan. Makin sulitnya mencari penghidupan, juga bisa menurunkan imun. Tapi apa daya. Kurang makan, berisiko lapar dan melemahkan daya tahan tubuh. Sementara negara sudah tidak mampu menjamin hidup mereka atau memberi kompensasi atas diberlakukannya kebijakan PPKM Darurat.

Presiden Joko Widodo pekan lalu juga memberi sinyal, atau mengingatkan terkait PPKM apabila dilanjutkan. “Harus dipikirkan matang karena ini masalah yang sensitif,”

Benar. Sangat sensitif, dan tentu dilematis.

Apa yang diplesetkan orang tentang PPKM? Beragam! Pelan Pelan Kita Mati. Ya, kalau akhirnya kelaparan ya, mati juga. Para Pedagang Kembali Mumet, ya betul pula akronim itu. Bagaimana tidak mumet kalau tidak ada lagi pemasukan. 

Situasi yang dilematis, dan makin runyam ini, seperti sulit dijelaskan. Saya kira kata-kata, baik lisan maupun tulis tak sangup lagi bisa membahasakan situasi batin masyarakat andai PPKM ini diperpanjang. Namun, penggubah lagu, barangkali bisa mengekspresikan lewat nada. Dengan gita puja. Bagaimana bisa melantunkan senandung situasi miris namun bisa menghadirkan kesabaran publik, sekaligus menumbuhkan harapan. Bahwa kita akan baik-baik saja, lalu beraktivitas seperti biasa. Protokol kesehatan tentu jangan dulu dilupakan.

Keluhan demi keluhan sudah digaungkan. Teriakan demi teriakan sudah disampaikan. Kini saatnya kita menata diri, memperbaiki negeri dan membangun jatidiri yang acap koyak oleh rentetan korupsi. (iswati)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *