Connect with us

Kabar

Radio ARH, dari Radio Amatir sampai Global Radio

Published

on

JAYAKARTA NEWS— Tahun 1966 – 1968 pasca Orde Lama, bermunculan radio amatir seperti cendawan tumbuh di musim hujan. Sebagian besar milik perorangan namun banyak pula yang dikelola oleh aktivis mahasiswa Angkatan 66. Fantastis!

Ada sekitar 700an radio amatir yang muncul ke udara menikmati eforia kebebasan ekspresi perjuangan mahasiswa dan berita-berita yang up to date.

Surat kabar dan majalah tak lagi dianggap ngetren saat itu. Surat kabar dengan sistem cetak tindih kala itu hanya ada Berita Yudha, Angkatan Bersenjata, Kompas, Sinar Harapan, Duta Masyarakat dan Mercu Suar yang berita-beritanya pro Orde Baru plus media yang baru terbit El Bahar yang berada di posisi berseberangan.

Masyarakat perlu komentar dan penyebaran informasi secara cepat.

Karena siaran radio amatir dianggap telah mengganggu frekuensi khusus instansi milik pemerintah (telekomunikasi, penerbangan, perkapalan) maka perlu dilakukan penataan dan penertiban.

Gubernur Ali Sadikin sedang menerima plakat Radio ARH dari Penanggung Jawab Radio ARH , Zainal Abidin Suryokusumo. (Foto : koleksi ARH)

Ali Sadikin selaku Gubernur Kepala Daerah Chusus (masih ejaan lama) Ibukota Jakarta dan Kementerian Perhubungan plus instansi Komunikasi menerbitkan sejumlah peraturan. Yaitu harus punya izin frekuensi, penanggung jawab, struktur organisasi, pembagian ruangan untuk siaran, pemancar dan diskotik dan lahan yang menata untuk bagian antena pemancar (tower).
Radio-radio amatir disarankan bergabung (merger) menjadi satu radio dengan satu paket izin siaran.

Maka, 7 dari 8 radio amatir menjadi Radio Arief Rachman Hakim (ARH). Embrio Radio ARH adalah aktivis mahasiswa Angkatan 66, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Laskar Ampera Arief Rachman Hakim. Arief Rachman Hakim adalah mahasiswa UI tingkat 6 yang tertembak di depan Istana.

Sementara ada beberapa radio amatir milik perorangan yang mengantongi surat izin siaran, antara lain Radio Draba, Cakrawala, Ramako, El Shinta dll.

Zaman berganti, radio amatir ini kemudian menjadio radio komersial dan disebut Radio Siaran Swasta Niaga (terakhir kata Niaga berubah menjadi Nasional).

Di era Ali Sadikin itulah, Radio ARH mendapat bangunan di Taman Ismail Marzuki (TIM) sebagai bentuk penghargaan untuk Laskar Ampera dan setiap penyiar Radio wajib ikut program pendidikan siaran Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI).

Zulkifli Ibrahim dalam tulisannya berjudul ‘Radio ARH, Riwayatmu Dulu’ menyarankan agar Penanggung Jawab Radio ARH, Zainal Abidin Suryokusumo (1937-2007) diberi penghargaan sebagai Pejuang Penyiaran Radio. Kala hidupnya, Zainal Abidin Suryokusumo dikenal sebagai Bang Daktur.

Kini, Radio ARH ganti pemilik. Sejak 2005, formatnya berubah menjadi Global Radio di bawah naungan MNC Media Group.

Bekas bangunan Radio ARH kini difungsikan menjadi Sekretariat Ikatan Keluarga Besar Laskar Ampera Arief Rachman Hakim (IKBLAARH).

Salah seorang penyiar Radio ARH dan aktif di Bengkel Belia Radio ARH, Wina Armada Sukardi bahkan menulis bahwa ikon cagar budaya radio ARH kini dibuang tanpa sisa, sementara gedung TIM eksis berdiri megah.

Bengkel Belia ARH yang dulu aktif menghelat sandiwara radio dan teater serta menghimpun generasi muda ‘kelas menengah bawah’ kini banyak yang sukses menjadi pengusaha, seniman dan anggota DPRD dan lain-lain. (pik)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *