Connect with us

Entertainment

‘Moonrise Over Egypt’: Perjuangan Diplomasi, Penghianatan dan Cinta

Published

on

 

Cuplikan film Moonrise Over Egypt’–istimewa

Pada bulan April, 1947, delegasi Indonesia tiba di Kairo (Mesir) untuk melakukan misi diplomatik yang sangat penting yaitu pengakuan de jure dari pemerintah Mesir atas kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia.

Mereka adalah H Agus Salim yang pemimpin delegasi, Abdurrachman Baswedan, Mohammad Rasjidi dan Nazir Sutan Pamuntjak. Dibantu Sekjen Liga Arab Abdul Rahman Hassan Azzam Pasya, ke empat orang dari Indonesia tersebut dijadwalkan bertemu dengan Perdana Menteri Mesir, Mahmud Fahmi El Nokrashy Pasya.

Namun, rencana tidak semulus di lapangan. Duta Besar Belanda untuk Mesir, Willem van Recteren Limpurg, membuat taktik keji untuk menggagalkan misi delegasi Indonesia. Didampingi ahli strategi bernama Cornelis Adriaanse, Willem kemudian melakukan lobi politik terhadap PM Nokrashy, Juga, Willem dan Adriaanse menyusupkan mata-mata kedalam kelompok delegasi Indonesia.

Kedua pejabat Belanda berhasil mempengaruhi Nokrashy. Akhirnya, dia memutuskan untuk menunda rencana kerjasama bilateral dengan Indonesia yang menjadi tanda legitimasi kedaulatan negara Indonesia di dunia Internasional.

Keterlambatan penandatanganan kesepakatan ini membuat Agus Salim dan tiga kawannya dalam keadaaan tidak pasti di Kairo. Situasinya makin memburuk dengan tersiarnya kabar dari Indonesia tentang invasi CIA yang mengepung pulau Jawa dan Madura. Dalam hal ini, Belanda telah melukai perjanjian Lingarjati dan mulai terlihat misinya menguasai wilayah yang tersisa di Republik Indonesia.

Keputusan Nokrashy untuk meneruskan proses perencanaan kerjasama RI-Mesir, membuat Willem dan Adriaanse mengeluarkan rencana pamungkas untuk menggagalkan penandatanganan kesepakatan tersebut. Keadaan kemudian membuat nasib Nokrashy dan RI berada di tangan di tangan seorang pemuda Indonesia yang sebelumnya dicurigai sebagai penghianat.

Demikian sekilas cerita film biopic (biography picture) tentang perjuangan diplomasi H. Agus Salim sebagai  Menteri Luar Negeri pertama RI dalam film bertajuk ‘Moonrise Over Egypt’ (MOE). Film produksi TVS (Tiga Visi Sinema) yang berdurasi 113 menit ini akan tayang di seluruh Indonesia mulai tanggal 22 Maret 2018.

Berperan sebagai H. Agus Salim adalah Pritt Timothy, aktor teater dari Jogjakarta. Pengajar broadcast di Universitas Muhammadiyah Jogjakarta ini berhasil membawakan perannya dengan bagus. Mengenakan kopiah di kepala ditambah kumis dan janggut putihnya, Pritt Timothy yang pernah bermain di film ‘Marsinah’ garapan sutradara Slamet Rahardjo, kali ini di film MOE tak diragukan lagi seni perannya. Tangan dingin sutradara muda Pandu Adiputra sangat terasakan dalam gerak tubuh, langkah jalan, gesture dan improvisasi Pritt Timothy saat memerankan sebagai H. Agus Salim.

Pritt Timothy sebagai Agus Salim–foto istimewa

Hanya satu kesalahan kecil, ketika berdialog dengan teman-temannya, Pritt Timothy sangat cadel bahasa Jawanya. Padahal, H. Agus Salim berasal dari Minang, seangkatan dengan Bung Hatta dan Syahrir.

Sedangkan pemeran lainnya meski mereka adalah pendatang baru di layar putih atau lebih banyak tampil di layar televisi, tapi hampir semua bermain gemilang, sesuai porsinya. Misalnya Bhisma Wijaya sebagai Hisyam yang penghianat, boleh dibilang sangat cemerlang. Juga pemain lain seperti Vikri Rahmat sebagai AR Baswedan, Satria Mulia sebagai H.M. Rasjidi (Menteri Agama pertama RI), drh. Ganda sebagai Natsir Pamuntjak, Reza Anugrah (personel boyband Smash) dan Ina Marika sebagai Zahra, perempuan Malaya (sebelum menjadi Malaysia).

Tak diragukan lagi adalah akting aktor senior Mark Sungkar yang berperan sebagai PM El Nokrashy Pasya yang berbahasa Inggris secara fasih serta Harry Bond Jr. Willem van Limpurg mampu mengisi scene dengan dialog bahasa Belanda dan bahasa Inggris secara sempurna. Harry Bond Jr pernah bermain dalam seri televisi komedi Bule Gila.

Inti cerita memang terjadi di Mesir dimana syutingnya hampir 20 hari sejak bulan Agustus 2016. Skenario yang ditulis bertiga yaitu Pandu Adiputra, Adie Marzuki (produser) dan Erik Supit sangat bernas.

DOP (Director of Photography) di tangan Joel Fadli boleh diberi acung jempol. Film drama diplomasi ini hanya menembak ruang-ruang dan sudut-sudut tertentu. Sayang adegan kota Mesir di masa itu kurang divisualisasikan di layar. Hal ini cukup dimaklumi, karena keadaan Mesir masa lalu sudah banyak berubah dengan situasi Mesir masa kini, dimana banyak hotel dan gedung pencakar langit sepanjang Sungai Nil.

Di sisi lain, film ini berkisah dua cerita. Yang pertama tentang perjuangan diplomasi H. Agus Salim dalam penugasannya sebagai diplomat dan Menlu yang sangat ulung dalam mencari pengakuan negara Mesir atas kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia. Cerita lain adalah sepenggal kisah perjuangan mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Mesir yang mayoritas mendukung kemerdekaan negara baru, Republik Indonesia.

Namun, ada seorang pemuda Indonesia bernama Hisyam yang menjadi penghianat dan membocorkan rahasia diplomasi delegasi RI ke tangan Belanda. Hisyam akhirnya tertembak mati oleh majikannya dan sebelum ia meninggal, menulis surat kepada H. Agus Salim. Hisyam seorang penghianat ataukah seorang pahlawan bangsa karena sebelum terlambat, ia telah sadar bahwa perbuatannya selama ini salah.

Film bergenre drama ini tanpa dibumbui cinta ibarat sayur tanpa garam. Liku-liku percintaannya dengan gadis Malaya bernama Zahra akhirnya kandas.Meski film ini berlatar belakang sejarah diplomasi, namun ada tokoh fiktif yang ikut menyemarakkan cerita. Misalnya Malik yang diperankan oleh produser eksekutif, Amir Sambodo, yang telah puluhan tahun merantau dan berbisnis di Mesir.

Memang, film MOE pada akhirnya perlu ditonton oleh generasi masa sekarang. Seperti dikatakan Bung Karno, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya. “Film yang bercerita tentang perjuangan diplomasi di dunia Internasional rasanya belum pernah dibuat di negara kita. Juga, perjuangan pahlawan nasional H. Agus Salim belum banyak diketahui oleh oleh generasi muda zaman now,” ungkap produser Adie Marzuki.

Tentu, liku-liku perjuangan negara Indonesia agar berdaulat dan diakui di dunia Internasional memang sangat terjal. Selain perjuangan bersenjata di dalam negeri, juga tak boleh dilupakan perjuangan diplomasi di luar negeri. Dan rasanya tepat H. Agus Salim diangkat ke layar putih kali ini.

Cucu AR Baswedan yang kini menjadi Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan usai menonton film ini berkomentar “Film ini layak ditonton oleh generasi milenial zaman kini. Agar perjuangan para pahlawan kita tak dilupakan begitu saja. Mendampingi bapak H. Agus Salim, pak Baswedan melalui laut membawa surat pengakuan Mesir yang ditandatangani oleh PM Mesir Nokrashy dengan menyembunyikan surat tersebut kedalam kaos kaki sepatunya.

Hal ini dilakukan agar surat tersebut tidak jatuh ke Belanda dan kaki tangannya. Beliau mendarat dan melakukan lobi diplomasi politik ke India dan dilanjutkan ke Persekutuan Tanah Melayu dan barulah tiba dengan selamat di Jakarta. Surat pengakuan dari Mesir tersebut kemudian diserahkan kepada Presiden Soekarno dan disimpan sebagai arsip sejarah,” demikian Anies Baswedan berpendapat.

Sebuah film yang layak tonton..

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *