Connect with us

Feature

Menata Sungai Merenovasi Peradaban

Published

on

JAYAKARTA NEWS – Siang itu, tampak seorang laki-laki paruh baya melintasi jembatan depan warung Padang Putri Sikumbang, Jl Raya Cilebut, Kabupaten Bogor. Berrrr… tiba-tiba ia melempar satu kantong plastik sampah ke dalam sungai. Pak Dayu, warga RT 04/RW 06 Bojongsempu, Cilebut, juga tengah membuang puing-puing bangunan di pinggir kali. Sementara, di kiri-kanan jembatan masih bertumpuk sampah.

Ia tahu warga sekitar acap membuang sampah di bibir sungai dekat jembatan, dan itu menyebabkan bau tak sedap. ”Kalau arus air besar gak apa-apa dibuang langsung ke sungai. Kan hanyut. Di bawah sana, dekat grojokan ada petugas yang ngambilin,“  katanya polos, seperti yakin dengan ucapannya. Ia menuding orang yang barusan melempar sampah itu salah. Ia dianggap salah karena arus sungai saat itu kecil.

Di sepanjang pinggiran Sungai Cipakancilan depan Stasiun Cilebut hingga depan Perumahan Kintamani, depan Perumahan PWI Jaya, Cilebut Kabupaten Bogor acap terlihat gundukan sampah. Tak lama kemudian sebagian sampah hanyut terbawa air yang sering meluap. Namun yang tersisa, seperti sampah plastik, tetap berserak di sekitarnya.

Dua tahun lalu, tak hanya pinggiran sungai dan badan sungai sekitar perumahan Kintamani yang dibersihkan anggota TNI, tapu juga sepanjang pinggir/tebing-tebing yang curam Sungai Cipakancilan,  mulai dari Jalan Baru dekat Kebon Pedes hingga Kintamani bahkan beberapa puluh meter lagi ke arah Bojong Gede. Kurang lebih 8 km yang dibersihkan pada hilir aliran Cipakancilan. Hulu sungai ini dari Pintu Air Cisadane di Kawasan Empang, Bogor Selatan.

Di titik area Perum Kintamani yang paling landai itulah, Ibu Negara Iriana Joko Widodo mencanangkan Gerakan Indonesia Bersih pada 19 September 2019. Apa lacur… dua tiga bulan setelah itu, masyarakat sekitar kembali membuang sampah ke pinggir sungai Cipakancilan. Meski spanduk warna hijau dari Kodim 0261 Kabupaten Bogor bertuliskan “Buang Sampah pada Tempatnya”, juga spanduk “Dilarang Buang Sampah di Sungai” masih kencang terpasang.

Ibu Negara, Iriana Joko Widodo mencanangkan Gerakan Indonesia Bersih pada 19 September 2019. (foto: https://www.medcom.id/)

“Habis pemerintah tidak menyediakan tempat sampah,“ kata pemilik warung Padang Putri Sikumbang ketika Jayakarta News menanyakan hal itu sambil menunjuk tumpukan sampah pinggir sungai. Menurutnya sebagian besar warga memang membuang ke tepi sungai. Hanya sebagian kecil yang dibakar.

Bulan berganti tahun dan sekarang menginjak tahun ketiga dari pencanangan Gerakan Indonesia Bersih yang diresmikan Iriana Jokowi, namun kondisi sungai yang dibersihkan kembali ke titik  semula. Kala itu, seminggu lebih aparat dari Korem 061/Suryakencana Bogor termasuk aparat Kodim 0261 kerja bakti memunguti sampah di pinggir-pinggir bahkan badan sungai Cipakancilan, dibantu aktivis lingkungan, mahasiswa dan lainnya. 

Menurut Letkol (Arm) Asep Muspida di posko Bersih-bersih Sungai di Komplek Perumahan Kintamani, Cilebut Barat, Kecamatan Sukaraja, saat itu diterjunkan 250 personil. Dua hari jelang pencanangan Gerakan Indonesia Bersih sekitar 650 orang turun ke lapangan membersihkan DAS Cipakancilan dan sekitarnya.

Kerja massal ini juga melibatkan gabungan kelompok mahasiswa,  antara lain dari Universitas Ibnu Chaldun Bogor, IPB Bogor, LSM, Pecinta Alam, BPBD, serta aparat terkait dari Pemda Kabupaten Bogor.

Mengapa sungai ini baru dibersihkan, sedangkan bertahun-tahun kondisinya sangat kotor? Asep Muspida, Kepala Seksi Teritorial Korem 061/Suryakencana ini tanpa aling-aling menuturkan, “Ya, belum lama ini ada berita yang viral tentang sungai ini,“  (Jayakarta News, 18 September 2019).

Spanduk imbauan tidak membuang sampai di sungai yang dipasang anggota Kodim 0621/Kab.Bogor. (foto: iswati)

Isu Lama

Sungai kita banyak yang kotor bukan isu baru. Ini isu lama. Usang. Kalau kemudian di beberapa lokasi ada reaksi dan tindakan pembersihan, hanya sesaat. Tidak tuntas. Tidak  berlanjut. “Tergantung pimpinannya,“ kata  Ir Budi Santoso, pakar sumber daya air Fakultas Teknik Sipil  Unika Soegijapranata Semarang kepada Jayakarta News, Selasa (23/9-2021).

Gerakan Indonesia Bersih yang diresmikan Ibu Negara, Iriana Joko Widodo, 19 September 2019 di DAS Cipakancilan, Desa Cilebut, Kabupaten Bogor, juga tidak diteruskan.

Sebelumnya, Sungai Citarum juga dibersihkan tentara tahun 2018, dan masih terjaga kebersihannya hingga kini. Citarum pernah mendapat predikat  sebagai sungai terkotor di dunia. Lalu TNI turun tangan atas komando Doni Monardo, sang penggagas program Citarum Harum yang punya “ideologi”: Kalau kita jaga alam, maka alam akan jaga kita.

Dalam pelaksanaannya Satgas Citarum Harum diketuai oleh Gubernur Jawa Barat dengan wakil-wakilnya antara lain Pangdam III/Siliwangi dan Kapolda Jabar. Program ini diperkuat dengan Peraruran Presiden RI No 15 tahun 2018 tentang Percepaan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum.

Ketika penanganan Citarum Harum belum selesai, Pangdam III/Siliwangi Mayjen TNI Doni Monardo ditunjuk Presiden menjadi Sekretaris Dewan Pertahanan Nasional (Wantanas), lalu tak lama kemudian mendapat mandat menjadi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Meski demikian Doni Monardo tak melepaskan perhatiannya demi “menyehatkan” Citarum. “Saya akan tetap mengendalikan Citarum dari Jakarta,“ begitu tekadnya.

Mantan Pangdam III/Siliwangi (2017-2018) dan Kepala BNPB (2019-2021) itu tetap konsisten. Bulan lalu, 19 Oktober 2021 saat tersiar kabar ada perusahan yang membuang limbah ke Citarum (Menabrak Peraturan Presiden) yang tayang di Jayakarta News Chanel, Doni pun segera bereaksi.

Meski kini jabatannya tak bersentuhan lagi dengan penanggulangan bencana, tapi filosofi dari aliran air sudah mendarah daging pada diri Doni. Ungkapan bijak mengatakan, ketika kebenaran sudah dalam genggaman, maka jadilah ia air yang mengalir. Tak ada yang bisa menghalangi mencapai tujuannya. Dalam hal ini menyehatkan sungai. Memperbaiki lingkungan.

Selama aksi kerja pembersihan Sungai Citarum, Pangdam Siliwangi menerjunkan sejumlah pasukannya untuk pertama-tama dan yang utama, adalah mengubah perilaku masyarakat, khususnya masyarakat di sepanjang bantaran Sungai Citarum. Doni mengatakan, mengubah perilaku masyarakat tidak bisa dengan senjata. Karena itu, ia pun minta prajuritnya hidup bersama masyarakat, tinggal di rumah-rumah penduduk di sepanjang aliran Citarum.

Menurut Doni lebih dari tiga bulan TNI membersihkan sampah-sampah di Sungai Citarum. Tak hanya membersihkan sampah tapi juga menata kawasan DAS Citarum sepanjang 270 km.

Pangdam III/Siliwangi, Mayjen TNI Doni Monardo dan Presiden Joko Widodo di tepian Sungai Citarum, 2018. (foto: Pendam III/Siliwangi)

Tekad Doni Monardo bahwa Citarum harus bersih rupanya meniru pula sifat tetesan air. “Kerasnya batu bisa takluk oleh tetesan air yang konstan. Begitu pula besarnya tantangan akan bisa diatasi oleh kuatnya tekad dan semangat.” Nah, kuatnya tekad inilah yang kemudian diwujudkan Doni, sang “Jenderal Pohon” bersama prajurit TNI/Polri dan masyarakat melakukan aksi nyata sehingga Sungai Citarum menjadi bersih. Ia tidak kerja sendiri, melainkan melibatkan semua pihak. Ia sering mengistilahkan dengan “kolaborasi pentaheliks”. Sebuah kolaborasi yang melibatkan unsur pemerintah/pemerintah daerah, akademisi, masyarakat, swasta/pengusaha, dan media.

Konsen Doni terhadap masalah lingkungan boleh dikata mencapai maqom atas dalam perbaikan lingkungan. Di wilayah-wilayah dimana ia pernah bertugas, Doni menanam pula vetiver/akar wangi yang memiliki banyak manfaat terhadap lingkungan. Bagian daunnya bermanfaat menyerap karbon dan mengusir hama. Juga menanam pohon-pohon resapan seperti sukun dan lain-lain.

Setelah Sungai Citarum bersih lagi, masyarakat pun senang karena memperoleh manfaat besar yang menyertai kegiatan mereka sehari-hari. Anak-anak pun tampak ceria bermandi di sungai. Dan ikan-ikan juga terlihat lagi di habitatnya itu. Penanganan Citarum Harum ini turut menentukan kualitas hidup sekitar 18  juta  warga yang tinggal di sepanjang daerah aliran sungai (DAS Citarum).

Memang, seperti yang sering diucapkan Doni, air adalah sumber kehidupan, dan sungai adalah sumber peradaban. Sebagai sumber kehidupan, kita tahu manfaat sungai sangat besar. Tidak hanya untuk irigasi pertanian, tapi sumber air bersih, sumber penghidupan bagi masyarakat dengan bertebarannya ikan-ikan, juga mengalirkan air hujan, sumber tenaga terbarukan untuk pembangkit listrik, jalur tansportasi, dan lain-lain.

Harapan Doni hanya satu, agar langkahnya bersama TNI ini bisa menginspirasi yang lain untuk menata sungai yang terabaikan. Padahal semua makhluk; manusia, hewan dan tumbuhan berkepentingan erhadap kondisi sungai yang bersih dan sehat.  

Namun sangat disayangkan sungai-sungai kita sekarang banyak yang kotor dan tidak tertata. Di perkotaan kondisinya lebih mencolok sebagai efek urbanisasi. Kepadatan penduduk memperburuk  daerah bantaran/pinggiran sungai.

Data BPS 2018 menyebutkan, sungai di perkotaan mengalami kondisi yang lebih buruk. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2018, deretan sungai besar yang melewati banyak perkotaan tercemar berat. Di antaranya Sungai Batang Hari yang membelah Sumatera Barat sampai melewati kota Jambi, Ciliwung yang bermuara di DKI Jakarta, Citarum yang melintasi banyak kota di Jawa Barat, serta Sungai Barito yang melintasi Kota Banjarmasin.

Nationalgeographic.co.id  (3/5-2019) juga mengungkap, sebesar 70 persen bahan yang mencemari sungai itu berasal dari kegiatan rumah tangga—berupa sampah, urin, air mandi, dan tinja. Sumber pencemaran lain juga berasal dari peternakan dan limbah pupuk pertanian. Kualitas air sungai di Indonesia umumnya berada pada status tercemar berat. Pada pemantauan 82 sungai sepanjang 2016-2017, kita bisa mengetahui bahwa 50 sungai kondisinya relatif tidak berubah, 18 sungai memiliki kualitas membaik, sementara kualitas 14 sungai di negeri ini kian memburuk.

Banjir di Karawang, Februari 2021. (foto: BNPB)

Dongeng Masa Lalu

Jika tidak diperbaiki, sebutan sungai sebagai pusat peradaban, barangkali nanti, ungkapan itu sebagai dongeng/ cerita masa lalu. Meskipun, jika kita menengok sejarah, kejayaan kerajaan di Nusantara, seperti Majapahit dan Sriwijaya, yang memiliki peradaban gemilang tak lepas dari posisinya dekat sungai dan pemberdayaan terhadap sungai. Sungai tidak hanya sebagai sumber irigasi, jalur-jalur transportasi, namun sebagai keseimbangan alam yang sangat dijaga dan dilestarikan.

Doni dan TNI sebenarnya bukan yang pertama membersihkan sungai. Sebelumnya kita sudah mengenal program kali bersih (Prokasih). Tapi sifatnya masih sporadis, kadang kala. Belum menjadi gerakan nasional. Belum menjadi gerakan masyarakat sehingga masyarakat tidak memiliki kesadaran untuk menjadikan sungai-sungainya bersih dan sehat.

Kalau persoalan menata sungai ini kita kedepankan, dan kita anggap penting, masalahnya belakangan memang sering terkait erat dengan bencana banjir yang melanda saban tahun di beberapa wilayah pada musim penghujan.  Selain bencana ajeg, skupnya makin luas, dampak dan kerugiannya pun meningkat. 

Bencana banjir di setiap kota, salah satu sebabnya adalah terkait kebersihan sungai. Banyaknya sampah memperparah ketinggian genangan. Drainase, gorong-gorong tersumbat karena banyaknya sampah. Peristiwa bencana banjir ini berulang setiap tahun dan berhulu dari sebab yang sama diantaranya sungai bersampah.

Sumber Jayakarta News di BNPB terkait laporan kebencanaan menyebutkan, jenis-jenis bencana di Indonesia cukup banyak. Bencana tersebut meliputi gempa bumi, gunung meletus, kebakaran hutan, kekeringan, angin puting beliung, banjir, dan tanah longsor.

Kejadian bencana alam yang paling banyak terjadi di Indonesia selama 2018-2019 adalah puting beliung lebih dari 1.800 kejadian, banjir 1.400 kejadian, dan tanah longsor sebanyak 1.100 kejadian

Khusus bencana banjir, umumnya terjadi oleh sebab yang sama, dan sebab yang sama itu berulang lagi di tahun berikutnya. Menurut ahli sumber daya air, Ir Budi Santoso, sungai yang kotor, dan sampah memang salah satu sebab banjir. Tapi itu penyebab dominan. Penting untuk segera diatasi. Harusnya dibenahi dari hulunya.

Hulu yang dimaksud Budi Santoso adalah pengelolaan sampah yang benar dari hulunya, dari masyarakat. “Di lingkungan tinggal warga harus disediakan tempat-tempat sampah yang memadai,“ sarannya. Lalu pengangkutan ke tempat pembuangan akhir harus rutin. Jangan nunggu numpuk, lalu diproses secara baik.

Curah hujan yang tinggi juga mengakibatkan sungai meluap. Guna mengurangi genangan, pembuatan sumur resapan di titik-titik tertentu penting. Tangkapan air atau tempat parkir air di lingkungan perumahan bisa dibuat secara komunal, di setiap RT/RW jika tidak memungkin  dibuat di halaman rumah karena lahan terbatas. Jika tersedia lahan bisa kita buat sendiri sumur resapan yang kecil. “Yang penting air hujan di halaman kita tidak kemana-mana selain masuk ke sumur resapan. Ini bisa mengurangi volume air yang masuk saluran air, sehingga tidak meluap dan menimbulkan  genangan-genangan atau banjir,“ ujar budi Santoso.    

Terkait sumber daya air ini, menurut Budi Santoso, sebenarnya cukup lengkap komponennya. Namun disayangkan keberadaan Dewan Sumber Daya Air kurang ada “suaranya”. Dan yang sulit dalam penanganan sungai ini, masalah koordinasi. “Masalah koordinasi  di kita (antar institusi ) masih lemah,“ kata Budi lagi. Jika koordinasi baik dan cepat banyak masalah yang bisa segera teratasi.

Prof Wiku Adisasmito. (foto: BNPB)

Urusan Nyawa

Sejak terjadi bencana nasional bahkan global pandemi Covid 19 tahun 2020 dan kini belum benar-benar sirna, telah mengakibatkan banyak kematian. Di Indonesi jumlah kematian mencapai 143.753 (23 November 2021) dan dunia lebih dari 5 juta, serta dampak sosial ekonomi juga besar.

Di ranah penanganan wabah yang akbar ini pun sempat terjadi  keluhan terkait koordinasi. Ini diakui Ketua Tim Pakar dan Juru Bicara Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Prof Wiku Adisasmito.

Menyingkap hal ini, suara Wiku agak bergetar, dalam tangis yang tertahan. Mengapa sampai demikian? 

“Ini menyangkut nyawa ya,“ kata pakar penyakit infeksi  ini kepada Jayakarta News, 27 September 2021 lalu saat berbincang terkait virus dan keseimbangan lingkungan. Orasi ilmianya saat pengukuhan sebagai guru besar adalah “Formulasi Kebijakan Kesehatan Strategi menghadapi The Disease of Tomorrow melalui pendekatan Systematic Review dan Astagatra”.

Wiku yang studi S2 dan S3 bidang Kesehatan Lingkungan di Colorado State University mengatakan, kelangkaan APD di awal pandemi karena kurang sigapnya kita dalam koordinasi. Tak perlu impor, karena sebagai salah satu negara produsen tekstil kita ternyata mampu memproduksi APD. Doni Monardo pun sebagai Ketua Satgas Covid 19 saat itu sempat mengambil alih APD yang akan diekspor ke Korea untuk diberikan kepada DKI Jakarta seiring  kasus kematian yang terus naik. “Kita sangat lemah dalam koordinasi,“ ujar Wiku lagi.

Masalah kordinasi yang dikeluhkan Wiku, juga dialami Ketua Relawan Satgas Covid 19, Andre Rahadian. Dalam perbincangan dengan Jayakarta News Desember 2020, ia menceritakan pengalamannya ihwal keterlibatannya ikut menangani Covid 19 selaku Ketua Relawan Satgas Covid yang kemudian aksi-aksi kerja relawan itu dibukukan bersama pengalaman tim relawan lainnya.

Selama delapan bulan berjibaku dalam penanganan covid, sebagai pucuk pimpinan dalam mengkoordinasi  relawan, dan berinteraksi dengan banyak pihak, ada juga goresan catatan buram. Selain masukan, dan pengalaman, Andre berkata, “Saya jadi  tahu seperti apa penangaan kesehatan kita, bagaimana administrasi pemerintahan kita yang ego sektoral itu masih ada, “

Muara-muara dari lemahnya koordinasi itu tentu berdampak serius. Pandemi Covid 19 yang menghajar kita (bangsa dan negara) hingga “babak belur”, “sempoyongan”, semoga  jadi titik bangkit. Jadi momen perubahan besar dalam membenahi cara berkoordinasi. Kita jadi sigap dalam menyelesaikan masalah. Supaya cekat-ceket, kata orang Jawa.

Wiku membenarkan pula bahwa kerusakan lingkungan –termasuk lingkungan sungai tentunya– mengganggu keseimbangan alam. Menyitir ungkapan Doni Monardo, Wiku menegaskan, kalau kita jaga alam, alam akan jaga kita. Jika tidak akan terjadi emergence effect disease.

Sementara, Dr. Rusdian (Yan) Lubis, seorang senior profesional bidang pengelolaan sumber daya alam- lingkungan hidup dalam seminar daring mengenai lingkungan hidup, budaya dan hukum yang diadakan kelompok penulis Satupena menegaskan bahwa kesehatan manusia berkaitan erat dengan kesehatan lingkungan hidup. Kesehatan manusia berkorelasi dengan lingkungannya.

Dalam seminar 26 Juni 2020 itu, selain Yan Lubis sebagai pembicara, juga  Todung Mulya Lubis Dubes RI untuk Norwegia, dan Chandra Darusman wakil budayawan, serta Wina Armada (pers).

Ditekankan pula oleh Yan Lubis, di planet bumi ini  manusia tidak sendirian. Di bumi ini ada 8 juta species makhluk hidup dan diperkirakan ada 1.7 juta jenis virus.

Dosen Fakultas Pertanian dan Ketua Pusat Studi Lingkungan Universitas Hasanuddin, Direktur Amdal-Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, Jakarta ini juga menyarankan agar kita mampu mendorong pergeseran paradigma integrasi lingkungan, sosial ekonomi ke dalam strategi pembangunan, guna melengkapi indikator finansial ekonomi-investasi dengan indikator kelestarian lingkungan, low carbon untuk terjadinya pembangunan berkelanjutan.

Jika kesehatan berkait dengan lingkungan, maka sungai kotor, penuh limbah dan sampah tentu merupakan ancaman bencana yang harus dipedulikan, dikoordinasikan antar  sektor atau institusi terkait untuk segera menanganinya. Ahi sumber daya air, Budi santoso beberapa kali mengatakan, sebenarnya komponen-komponennya sudah lengkap. Peraturan-peraturannya pun sudah bagus.

Tinggal aksi?  Eksekusi?

“Tinggal jalan sebenarnya,“ ujar Budi Santoso singkat.

Menatap Kearifan Lokal

Saat mengikuti kuliah daring di FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang kemudian diunggah ke Youtube, dosen Sosiologi Asep Mohammad Iqbal mengingatkan perlunya kita  peduli atau menatap kembali  local wisdom (kearifan lokal). Sosiologi Lingkungan, khususnya terkait etika lingkungan dalam perspektif kearifan lokal dengan fokus pada Pikukuh Karuhun dapat kita pahami dalam relasi manusia dan alam pada masyarakat Sunda.

AM Iqbal yang meraih gelar Ph.D dari  Murdoch University, Australia ini memaparkan ikhwal kearifan lokal dan persoalan lingkungan. Kearifat lokal menurutnya dapat ditemukan di hampir semua masyarakat, meskipun samar-samar karena proses modernisasi.

Berpaling ke tradisi, kata Iqbal, untuk menemukan landasan etis dan praktis dalam mengatasi kerusakan lingkungan. Etika-etika lingkungan itu masih ada  dalam masyarakat khususnya masyarakat adat

Ia mencontohkan ikhwal kearifan lokal orang Kanekes (Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten) yakni Pikukuh Karuhun. Pegangan Hidup atau pikukuh karuhun ini jadi acuan masyarakat Kanekes dalam bertindak terhadap alam.

Pikukuh karuhun orang Kanekes, kata Iqbal antara lain menerapkan larangan menggunakan bahan kimia, larangan mengubah aliran air, serta larangan memanfaatkan leuweung titipan/hutan.

Dalam kaitan menata lingkungan  sungai, membuang limbah yang umumnya mengandung bahan-bahan kimia bisa merusak habitat ikan-ikan dan jasad renik lainnya.

Slogan klise yang sangat popoler menyebutkan, bahwa Alam ini bukan warisan nenek moyang kita melainkan titipan anak cucu kita. Dalam masyarakat Jawa dikenal piwulang/ajaran memayu hayuning bawana. Dalam kontek ini tidak hanya menjaga namun memperbaiki dan memperindah lingkungan alam. Sehingga kondisi lingkungan yang kemudian kita kembalikan kepada  anak cucu atau generasi mendatang dalam keadaan lebih baik pula.

Memanfaatkan hutan jika dibarengi penanaman atau reboisasi tentu tak masalah, namun mengeksploptasi hasil hutan, alih fungsi lahan, bisa mengakibatkan banjir. Di banyak wilayah hal ini sudah terbukti.

Laporan kebencanaan BNPB tahun 2020 terkait banjir menunjukkan fakta itu. Banjir di Bodowoso, Jawa Timur juga 29 januari 2020 disebabkan ulah manusia. Banjir bandang sepertinya akan menjadi peristiwa tahunan di Bondowoso jika akar permasalahannya tidak ditangani serius.  Pemicunya alih fungsi ratusan hektar hutan menjadi lahan pertanian serta kebakaran hutan di kaki Gunung Ijen. Akibatnya, jika hujan intensitas tinggi, air langsung mengalir deras ke hilir, menghantam pemukiman penduduk.

Sejak pembukaan areal hutan berlangsung, tercatat sudah terjadi tiga kali banjir bandang di Bondowoso. Yang pertama tahun 2015, kemudian 2018 dan terakhir pada 2020. Peristiwa banjir bandang pada Januari 2020 lebih dahsyat. Memang tidak ada korban jiwa tapi sekitar 200 unit rumah hancur,  sejumlah infrastruksur serta areal pertanian rusak disapu air dengan material lumpur. Sebanyak 4.000 lebih warga terdampak, sebagian terpaksa dievakuasi ke lokasi aman.

Banjir di Karawang pada Februari 2020 memang disinyalir disebabkan curah hujan ekstrem. Namun drainase di sana juga buruk dan sampah yang terbawa arus sungai menyumbat sehingga saluran air tertutup. Di Perum BMI misalnya, alat penyedot/siphon menyempit karena sampah dari Purwakarta dan Pasar Cikampek.

Pada dasawarsa terakhir di Karawang acap terjadi bencana banjir. Intensitas hujan tinggi, dan luapan sungai, baik Sungai Citarum maupun Sungai Cimalaya, dan Sungai Cibeet  sering menjadi penyebab banjir di Karawang. Banjir 19-22 Maret 2010 karena luapan Sungai Citarum, dinilai merupakan banjir terparah selama 15 tahun terakhir.

Setiap tahun di musim penghujan kerap terjadi banjir. Di wilayah tertentu juga terjadi rob. Genangan yang luas menyerupai bentang lautan menjadi pemandangan rutin tiap tahun.  Kerugian materi tidak kecil. Mulai rusaknya lahan pertanian, harta benda warga yang terdampak, serta terganggunya aktivitas perekonomian.  Upaya penanggulangan darurat bencana selalu dilakukan setiap petaka menimpa. Namun, banjir serupa bahkan kian meluas terjadi lagi di musim penghujan tahun berikutnya.

Banjir di Bekasi pun serupa, terutama kawasan perumahan Pondok Gede Permai (PGP)) pada tahun 2019 cukup parah. Dan banjir tahun 2020 lebih parah lagi. Ketinggian air mencapai 5 meter karena dibarengi jebolnya tanggul Sungai Cikeas.

 Akankah hal ini terus berulang? Padahal, Alam takambang jadi guru, ungkapan bijak orang Minang yang memaknai peristiwa atau fenomena alam yang terbentang sebagai guru.

Harus Orang Nomor Satu

Ir. Budi Santoso

Budi Santoso, ahli sumber daya air dari Fakultas Teknik Unika Soegijapranata mengatakan, jika koordinasi selalu jadi kendala, lalu penataan dan kebersihan sungai  belum berjalan baik seperti yang diharapkan barangkal harus ada komando dari orang nomor satu.

“(Ihwal) Penataan sungai dan kebersihan sungai tampaknya harus orang nomor satu. Presiden yang mengintruksikan,“ kata Budi Santoso yang juga konsultan teknik sejak 1989 hingga sekarang.

Komando itu lewat TNI yang pasti langsung bergerak atau pemerintah daerah?

“Masak Pemda ga mampu. Saya kira mampu,“ ujar Budi Santoso, alumnus Teknik Sipil UGM Yogyakarta. Harus terus dioprak-oprak. Budi Santoso setuju jika penataan sungai, dan menjadikan sungai-sungai itu bersih menjadi gerakan nasional.  Sebagaimana masyarakat mau menerapkan Protokol kesehatan di masa pandemi, maka segenap aparat terus-menerus melakukan imbauan dan ajakan. Di masa pandemi ini akhirnya masyarakat memakai masker sudah menjadi kebiasaan.

Guna menjadi gerakan nasional, lalu menjadi habid masyarakat, pengawasannya pun menurut Budi Santoso harus jalan. “Fungsi pengawasan terkait sumber daya air dari DPR pun harus jalan,“ tegas Budi Santoso.

Musim penghujan tiba, banjir pun menghadang. Ini kejadian berulang. Seolah suatu kemestian. Menurut Budi Santoso, hujan mesti dimaknai sebagai berkah. Bumi basah dan tumbuh-tumbuhan jadi subur. Hujan jangan sampai menimbulkan bencana banjir yang salah satu sebab adalah banyaknya sampah yang terbawa arus air. Juga alih fungsi lahan. Dan soal Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) harus diawasi juga. “Karena sering kali yang membuat atau penentu kebijakan yang melanggarnya,” ucap Budi Santoso lagi.

Karena itu pula, saran Budi Santoso, pola hidup masyarakat  di tepian kali harus diubah. Rumah-rumah mereka harus menghadap sungai, bukan membelakangi sungai, sehingga keadaban mereka lebih bisa diharapkan untuk tidak mengotori sungai.

Budi Santoso mengapresiasi apa yang dilakukan Doni Monardo yang melibatkan TNI dan masyarakat dalam penanganan sungai. Cara membaur dengan masyarakat itu pun, katanya, pernah dilakukan Romo Mangunwijaya ketika menata kawasan Sungai Code di Yogyakarta. 

Penataan sungai sebenarnya juga sudah dilakukan beberapa kota, seperti Yogya, Kota Denpasar, dan Semarang, Bandung meskipun di lokasi sungai yang terletak di jalan-jalan besar. “Di sungai-sungai kecilnya, di kampung-kampung belum bagus,“ kata Budi Santoso. Konsistensinya memang tergantung pimpinan.

Ya, hamparan lingkungan sungai bersih memang sudah ada di beberapa kota. Sungai Mas Surabaya, tak lepas dari keseriusan Pemkot Kota Surabaya, Teras Cikapundung (Kota Bandung), Sungai Tukad Badung, dan Sungai Tukad Bindi (Bali). Pada titi-titik aliran tertentu sangai itu juga jadi destinasi wisata

Watergong Klaten yang penuh ikan-ikan yang sempat viral dan jadi bagian dari destinasi wisata di Klaten, Jawa Tengah awalnya dilakukan oleh personal. Sebenarnya, kata Budi Santoso, apa yang sudah tampak di sungai-sungai yang sudah bersih dan tertata itu, masyarakat juga senang. Namun untuk menggerakkan perilaku masyarakat yang sadar akan kebersihan sungai, dan tidak mengotorinya lagi harus digerakkan atau diintruksikan oleh orang nomor satu, Presiden.

Karena nantinya juga menyangkut koordinasi antar institusi. Selanjutnya, lanjut Budi Santoso, pengawasan juga harus jalan, dan sanksi atas pelangggaran harus diterapkan. “Lama kelamaan akan membentuk perilaku untuk tidak mengotori sungai,“ kata Budi Santoso. “Kalau negara lain bisa karena sanksi (hukumnya) ada,“ tegasnya pula.

Di beberapa negara, hunian tepi sungai, terutama di perkotaan  justru menjadi kawasan elit. Hal itu menurut Budi Santoso karena aturan pemerintah kota diterapkan dan dipatuhi bahwa semua hunian atau bangunan harus menghadap ke sungai. Halaman depannya sungai, sehingga tampak bersih.

Sebenarnya, sungai yang bersih sangat sedap dipandang. Gemericik alirannya pun menenangkan jiwa. Kita tengok saja sungai-sungai bersih dan indah lewat chanel youtube. Utamanya sungai-sungai di mancanegara seperti Sungai Rhine-Swis, Sungai Verdon Prancis, Sungai Hudson Amerika Serikat, Sungai Douru Portugal, dll. Menjadi destinasi wisata favorit. Sejauh mata memandang tak terlihat sampah mengambang. Daun-daun seperti takut gugur.

Indonesia memiliki banyak sungai, sungai besar dan anak-anak sungai. Terpanjang Sungai Kapuas mencapai 1.143 km, Sungai Mahakam 920 km, dan Sungai Barito 900 km (di Kalimantan). Tak terbilang, walau Pusat Penelitian Limnologi LIPI menyebutkan jumlah sungai dan danau belum ada data akurat. Namun kita melihat banyak sungai.  Hampir setiap jalan raya terutama di Pulau Jawa, bersisian dengan sungai atau memotong banyak jembatan sungai.

Bukankah esensinya sungai-sungai itu sumber kehidupan/berkah jika dijaga kebersihan dan kelestariannya. Lalu amanat alam ini dikelola dengan baik. Tentu bisa menjadi sumber pundi-pundi bagi daerah yang kreatif mengolah kawasan sungai dan berdampak pada kesejahteran masyarakat. Sekali lagi, apabila perilaku kita selaras, penuh adab terhadap semesta dalam menjaga lingkungan. Ada pula ungkapan yang mengatakan, siapa yang menguasai sungai, dialah yang menguasai peradaban. Dan kita, NKRI ini berpotensi menjadi sang penguasa itu jika arif dan sungguh-sungguh mengelola keberlimpahan ini untuk kemakmuran bersama. (Iswati)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *