Connect with us

Feature

Kenang-kenanglah Ibu Tien

Published

on

Ibu Tien Soeharto (alm)

Jayakarta News – Pada satu titik, mari kita mengenang Ibu Tien Soeharto. Istri Presiden Soeharto yang lemah lembut ini, patut dikenang sebagai pribadi yang mengutamakan kekuatan tolong-menolong. Itu diwujudkan dengan berdirinya dua yayasan sosial oleh tangannya. Masing-masing, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Harapan Kita.

Kedua yayasan itu kini masih berkibar dan menebar manfaat bagi segenap rakyat Indonesia. Yayasan Dana Gotong Royong kini telah berusia 33 tahun, sedangkan Yayasan Harapan Kita pekan ini merayakan usianya yang ke-51.

Memperingati momen membanggakan itu, Ketua Umum Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Siti Hardiyanti Rukmana menyatakan bahwa jauh sebelum orang-orang di Indonesia membicarakan antropolog terkemuka Marcell Maus dengan teori The Gift, seorang ibu rumah tangga yang tak pernah sekalipun meraih gelar PhD apalagi profesor dalam hidupnya, justru telah lama percaya akan kekuatan tolong menolong. “Telah lama yakin bahwa semangat memberi akan menerangi kehidupan manusia yang menjalani laku tersebut,” ujar Mbak Tutut, panggilan akrabnya.

Mbak Tutut

Hal yang patut disyukuri, ibu rumah tangga itu sedikit lain dari sekedar ibu-ibu arisan. Si Ibu punya sedikit akses untuk membicarakan ide tolong-menolong itu menjadi nyata. Paling tidak karena ia istri seorang Presiden pada masanya. “Ibu rumah tangga itu tak lain, adalah ibu saya tercinta. Ibu kita semua, almarhumah Ibu Tien Soeharto,” lanjut Mbak Tutut.

Ibu Tien saat itu, melihat bahwa bencana seolah menjadi bagian dari takdir kehidupan manusia. Bila datang musim kemarau, maka potensi kekeringan segera membesar, membawa peluang terjadinya paceklik (minus) yang ujung-ujungnya meluas menjadi bencana kelaparan.

Menurut Sekretaris Jenderal Mohamad Yarman, setahun sebelum pendirian YDGRK, bertepatan 40 tahun berdirinya Food and Agriculture Organization atau FAO di tahun 1985, Presiden Soeharto berkunjung ke markas organisasi naungan PBB itu, di Roma, Italia. “Beliau membawa bantuan dari para petani Indonesia, berupa hasil pertanian kita yang saat itu berlimpah ruah. Pak Harto mengantarkan langsung sebagian hasil pertanian yang melimpah itu untuk disampaikan FAO kepada saudara-saudara kita di Afrika yang sakit dan meninggal akibat kelaparan,” kenangnya.

Dari sejarah kita tahu, imbuhnya, saat itu kemarau kelewat panjang membuat orang-orang, terutama bayi dan banyak anak-anak tidak mampu bertahan hidup. Dunia tergugah, hingga meluncurlah berbagai program besar, bahkan terbit pula satu lagu monumental yang hingga hari ini bisa kita rasakan getar kemanusiaannya, We Are The World.

Indonesia saat itu bukan bangsa yang bisa berpangku tangan melihat fenomena yang mengguncang perasaan itu. Hati nurani masyarakat Indonesia terpanggil. Kita pun memberikan andil, yang kemudian dihargai tinggi. “Kepada Presiden Republik Indonesia Mohamad Soeharto, organisasi federasi pangan dunia itu memberikan medali dan penghargaan yang tinggi,” kenangnya lagi.

Teladan yang dilaksanakan suami tercinta telah menggerakkan hati Ibu Tien Soeharto melaksanakan keinginan terpendamnya, yaitu berbagi kasih sayang dan perhatian nyata kepada keluarga-keluarga Indonesia yang begitu merana karena tertimpa bencana.

“Kedalaman rasa. Keinginan yang sangat kuat untuk menemani dan menyantuni, turut merasakan duka dan penderitaan sesama, segera dan seketika dapat dilaksanakan berkat bantuan dan dana yang terkumpul berkat kedermawanan masyarakat dan para pengusaha,” imbuh Yarman.

Kesetiakawanan sosial yang tulus telah 33 tahun diantarkan oleh seluruh Pengurus Yayasan Dana Kemanusiaan Gotong Royong Siti Hartinah Soeharto. Begitu bencana alam terjadi, mereka adalah yang terdepan berada di lapangan. Ibu Negara Tien Soeharto memegang langsung komandonya.

Ibu Tien Soeharto mempercayakan pengabdian besar ini turut dilaksanakan oleh putra-putri dan menantunya. Mbak Tutut, Mas Indra Rukmana, Mas Sigit, Mbak Titiek, Mas Tommy, dan Mbak Mamiek Soeharto menjadi ujung tombak yang memecah kesedihan. Putra-putri Presiden ini menguatkan dan mengajak warga kembali menyusun harapan bahwa hidup tidak harus berhenti bermakna hanya karena bencana.

“Mereka membawakan berbagai keperluan yang sangat dibutuhkan para korban musibah alam seperti angina ribut atau puting beliung, gempa-gempa tektonik yang menelan rumah-rumah warga dan jalan-jalan raya, gunung meletus, banjir bandang, gelombang pasang, tsunami, tanah longsor, kebakaran, juga para korban kemarau panjang.” terang Yarman.

Melalui Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan ini, putra-putri Presiden Soeharto dididik Ayahanda dan Ibunda sebagai ujung tombak pengantar Sila ke-5 Pancasila, yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Kiprah yayasan pun berskala internasional dengan pemberian santunan untuk korban musibah di Saudi Arabia, korban perang Teluk Persia, dan lainnya. Ibu Tien Soeharto sendiri seringkali mengantarkan langsung kebutuhan mendasar perkotaan di daerah seperti gerobak sampah dan merehabilitasi banyak perkampungan kumuh.

Yayasan juga mengadakan berbagai pelatihan dan simulasi bencana untuk para relawan, mengukuhkan keberadaan mereka, kemudian menyerahkannya kepada pemerintah daerah setempat untuk bertugas di lokasi-lokasi bencana.

Kini dibawah komando Siti Hardiyanti Rukmana atau akrab disapa Mbak Tutut, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan yang dipimpinnya tetap melanjutkan bakti sosialnya.

Generasi ketiga keluarga Pak Harto dan Ibu Tien tampak sangat bersemangat mengikuti jejak langkah eyang, ayah dan bundanya tercinta. Mbak Danty Rukmana, Mbak Eno Sigit, Mbak Gendis Trihatmojo telah menjadi bagian pasukan terlatih Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan Siti Hartinah Soeharto. Mereka kini ujung tombak pelanjut pengabdian Presiden RI ke-2 Mohamad Soeharto dan Ibu Negara Tien Soeharto, di ranah kemanusiaan tanah air Indonesia.

Tak terasa, selama 33 tahun berkiprah itu YDGRK telah menyalurkan bantuan sekitar Rp 64 miliar. Selama itu pula YDGRK telah menyalurkan bantuan di 1.099 lokasi bencana, pada 899 kejadian bencana di 34 Provinsi di Indonesia serta beberapa titik bencana dunia.

Sementara itu menurut Sekretaris Jenderal Yayasan Harapan Kita, Tb Mohammad Sulaeman bahwa YHK didirikan Ibu Negara Siti Hartinah Soeharto dengan tujuan luhur meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia dalam arti seluas-luasnya. Ibu Tien mengelola Yayasan Harapan Kita bersama para wanita enerjik pada zamannya yaitu Siti Zaleha Ibnu Sutowo, Sri Dewanti Muhono, Kartini Widya Latief, Siti Maemunah Alamsjah, Wastuti Ali Murtopo dan Soetamtitah Soedjono Humardani.

Pak Harto, dengan keyakinan akan kemampuan sang istri, selalu mendukung setiap ide besar Ibu Tien, berikut pelaksanaannya. Dukungan penuh cinta dan kebanggaan dari seorang suami yang tahu benar kemampuan dan kehebatan istrinya. Pasangan yang visioner ini telah membuktikan bahwa tidak ada karya Ibu Tien Soeharto yang sia-sia. Bahkan hingga kini setelah Yayasan Harapan Kita berusia 51 tahun.

“Rumah Sakit Anak dan Bersalin Harapan Kita merupakan bukti perlawanan Ibu Negara Tien Soeharto terhadap tingginya angka kematian bayi dan ibu yang melahirkan di masa itu. Beliau ingin rumah sakit ini berperan besar membantu tumbuh kembang anak-anak hebat harapan bangsa dan menjadi pionir penggunaan teknologi kedokteran terbaru,” puji Sulaeman, kagum.

Pada Mei 1988 lahir bayi tabung pertama Indonesia. Dengan bahagia Ibu Tien Soeharto memberinya nama Nugroho Karyanto. Disusul bayi tabung kembar tiga yang juga mendapatkan nama dari Ibu Tien Soeharto yaitu Melati, Suci, dan Lestari.

RS Jantung Harapan Kita menjadi medan pertempuran berikut Ibu Negara Tien Soeharto bersama Yayasan Harapan Kita. Dalam pengasuhan tangan dinginnya, rumah sakit ini menjadi yang pertama melakukan bedah jantung terbuka di Indonesia dan operasi jantung berteknologi tinggi lainnya.

Dengan aspirasi kasih dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, Yayasan Harapan Kita mendukung kedua rumah sakit ini berbagi teknologi berikut peralatan kedokteran terbaru pada rumah-rumah sakit pusat propinsi di Medan, Padang, Palembang, Semarang, Surabaya, Makasar, yang merupakan kota-kota berpenduduk padat.

Kini Yayasan Harapan Kita berlayar di bawah komando seorang nakhoda yang tidak kalah pintar, tegar, dan kaya visi. Siti Hardiyanti Rukmana telah mengukir sejarah panjang pengabdian sosial masyarakat di dalam dan luar negeri. (john sinjal)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *