Connect with us

Feature

Kaum Intelektual Kini telah Wafat

Published

on

The Death of the Intellectuals

Nation-state, Saintek dan Masa Depan Peradaban

Orasi Kebudayaan Hermawan Sulist
Emeritus Research Professor

Puskamnas UBJ
Pusat Kajian Keamanan Nasional
Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
4/25 Juli 2023

teks ini didedikasikan untuk
mentor-mentorku
Arbi Sanit
Sardjono Jatiman
William Frederick
James Rush
Beth Luey

Prof Hermawan Sulistyo

Le Doyen

Ketika Ben Anderson melontarkan “imagined community” sebagai imaginary conceptual framework tentang sebuah keluarga nation-state, ia telah membangun unrivalled fondasi filosofis abstraksi kejiwaan nation-state yang sangat kuat. Konsepsi yang menjelaskan fenomena keutamaan ekspansi teritorial dan terbentuknya negara-negara baru dari kelampauan hingga dekade 1960an, dari akar-akar kejiwaannya yang terdalam.

Just curiousity, apakah Anderson memperoleh gagasannya dari negara kekeluargaan Soepomo dan generasi founding fathers Indonesia? Curiosity yang wajar, karena intellectual intercourse adalah keniscayaan sejarah; sebagaimana curiosity pada pengaruh Al Mukadimmah terhadap Das Kapital (Zainuddin 1986).

Gagasan tentang imagined community seolah memberi roh pada domain nation-state yang lebih fisikal—batas spasial pada kedaulatan manusia—semenjak Westphalia 1648; syarat penduduk, wilayah, pemerintahan, dan pengakuan negara-negara lain. Sebuah gagasan yang menjadi dominant mainstream bahkan hingga saat ini. Berbagai upaya kontestasi teoretik seperti yang dilakukan oleh Pabottingi, misalnya, tidak pernah bisa menandingi gagasan Anderson (pada kasus Pabottingi karena belum sempat terbit). Sementara konsep-konsep klasik Renan dan intellectual cohort lama tampak obsolete.

Akibatnya, memang tidak ada public discourse sekuat imagined community. Pada arus non mainstream ini misalnya, mission civilisatrice yang dibawa dan diperankan oleh print media memang tak terbantahkan dalam pertumbuhan embrio maupun persemaian nasionalisme. Termasuk bagaimana local genius menyandang peran creole seperti itu dalam print media; Tuanku Manullang sekadar contoh betapa sulitnya pengakuan publik, apalagi politik. Bahkan self-admission—sekaligus revisi Anderson—tentang salah terjemahan dan tafsir Noli Me Tangere yang tidak tepat—tetap tidak meruntuhkan bangunan filosofis imagined community. Narasi sang Le Doyen tetap. Melampaui batas-batas sebagai Indonesianist. Mondial sebagai penerjemah kepentingan lokal kepada dunia; semacam cultural brokernya Geertz (1972). Le Doyen is beyond guru.

Namun dalam hal status peran serupa bagi posisi creole masih sangat debatable. Setiap diskusi pasti politically imbued karena membawa poilitical baggage yang disandangnya. Meskipun pada banyak kasus kita mengakui creole-nya Anderson, sebagaimana ditemui pada kaum “Indo” yang menjadi pelopor proto nasionalisme Indonesia seperti MH Thamrin dan Sutan Sjahrir. Bahkan bisa lebih jauh lagi pada “socio-politically creole” seperti pada kapitan Cina atau kategori vremde oosterlingen lainnya secara umum. Bahkan pada kasus golongan keturunan Arab—ingat Partai Arab—jejak-jejaknya masih terasa hingga masa kini; apakah dalam hal ini juga karena perannya sebagai predator kekuasaan, bahkan kultural?

Pada masa itu, pergeseran tema dari ekspansi ke kontraksi sedang dominan. Tema Ekspansi melahirkan Nasionalisme. Dan Nasionalisme mendorong kontravensi reaksi balik berupa pembentukan kesatuan sosial yang baru. Integrasi kawasan bukan lagi regionalisme ekonomi tetapi sudah kesatuan sosio-politik berbagai fragmen nation-states. (J Frankel, 1971). Kasus exemplary niscaya Eropa Barat, sekalipun Brexit seolah-oleh menegasikan tema ekspansi-kontraksi ini; Brexit memang dapat didekati dari dualisme ekspansi-kontraksi. Jika imagined community mampu memerikan potret perkembangan proto nasionalisme hingga terbentuk negara baru yang relatif stabil, maka belum ada penjelasan yang memadai—dalam bentuk tandingan basis filosofis—bagi integrasi kawasan. Kendala berupa fisikal dalam pembentukan negara baru bahkan belum bisa diatasi, apalagi dikalahkan, oleh roh nasionalisme; etalase terkuat tentu saja kasus Catalonia.

Counterparts tema Ekspansi-Kontraksi yang disusul dengan Integrasi pada kasus Schengen adalah USSR. Bangunan kertas Uni Soviet runtuh dengan cepat pada 1980an. Dan pendukungnya menyalahkan Gorbachev. Padahal bumi pertiwi memang sudah hamil tua. (Apakah ini sarkasme?). Manakala Uni Soviet pecah dan “mati” (menurut  sebagian orang), kita berasumsi telah mati pula tema ekspansi-kontraksi-integrasi—dengan huruf kecil. Namun, ekspansi Russia ke Ukraine membuktikan sebaliknya; dan kita menganggap kecerdasan padahal menunjukkan kebodohan dengan usulan perdamaian yang menggelikan. Dalam potret yang jauh lebih fragmented dapat ditemui di Afrika. Lalu kita dengan sia-sia kembali berpaling ke Le Doyen. Hingga kapan kita baru bisa menemukan idiom-idiom baru yang eksplanatif bagi never-ending fenomena seperti ini?

Prof (Ris) Hermawan Sulistyo

Saintek

Imagined community berlangsung dalam linearitas waktu dan spasial. Waktu, yaitu memperjelas ruang, (yang sebagian masih) terra incognita, tentang kolonialisme. Rentang yang sangat jauh hingga perubahan dahsyat pertarungan ideologi mondial individualisme (Kapitalisme-Liberalisme) versus komunalisme (Sosialisme-Komunisme). Dalam jarak ruang-spasial, rentang itu juga sama panjangnya. Namun, di sini, yang belum disentuh adalah dimensi kemajuan saintek. Padahal, tema-tema Ekspansi-Kontraksi sangat dipengaruhi oleh perkembangan dunia saintek. Dan perubahan-perkembangan itu berlangsung setiap saat. Tanpa alutsista transportasi dari produk terdepan Saintek pada masanya, tidak mungkin terjadi bliezkrieg pada The Battle of Normandy. Dan tanpa kemampuan Saintek yang menopang jaringan infrastruktur transportasi darat, tidak mungkin integrasi Schengen bisa berlangsung cepat.

Salah satu contoh kecepatan saintek yang paling dahsyat berhubungan dengan tema-tema ekspansi-kontraksi-integrasi adalah teknologi dan produksi alutsista. Arms race pada dekade 1950-1960an menghasilkan teknologi 007 berupa nuclear warheads bawah tanah di Nevada dessert dan Arizona. Tidak sampai dua dekade kemudian perubahan kemampuan teknologi perang, strategi perang dan doktrin deployment kekuatan US serta negara-negara maju lainnya, menyebabkan infrastruktur 007 itu hanya menjadi dahsyat di film-film yang dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama juga tampak kuno. Tidak (belum) ada yang tahu apakah berbeloknya bom “percobaan” nuklir di atas wilayah Jepang sehingga jatuh di Laut Pasifik, dan “kecelakaan” di instalasi nuklir Korea Utara, akibat intervensi teknologi Jepang/US. Berhentinya Perang Dingin juga menghentikan perlombaan kemampuan Sukhoi, Mig-29 Fulcrum, dan F-16; setidaknya menjadi tidak relevan lagi. Smart bomb bahkan sudah digunakan di berbagai pertempuran wilayah.

Teknologi persenjataan memang merupakan ujung tombak, avant garde, perkembangan saintek. Peradaban mondial belum mampu menghambat, apalagi mencegah, banalisme manusia untuk saling menghancurkan. Ketika banalisme itu berhenti—sementara—banyak kemajuan saintek yang sudah dicapai menjadi sia-sia. Terutama karena incomptability teori-teori sainsnya. Keberhasilan docking space labs dan penyatuan kemampuan teknologi luar angkasa tampaknya belum diikuti oleh berbagi bidang lain. Atas nama secrecy dari kemampuan yang berbeda-beda demi “kepentingan nasional,” sulit membayangkan berbagai MIC (Military Industrial Complex) dari seluruh penjuru dunia mampu (ataupun sekadar bersedia) menyatukan kemampuan saintek negara-negara MIC maju tersebut dan mengubahnya menjadi aset sumberdaya peradaban umat manusia. Arah yang berlangsung adalah kesepakatan diam-diam MIC untuk “standarisasi” munisi 5.6-calibre bagi senjata pembunuh individual laras panjang.

Karena karakter dasar saintek perang adalah kompetisi untuk merusak (lawan), maka agak sulit memang mengharapkan para stakeholders konflik itu untuk dapat bekerjasama membangun platform peradaban baru. Dunia sudah berubah. Banalisme dan kehancuran peradaban belum. Bahkan daya dorong terkuat bagi eksplorasi ruang angkasa adalah kompetisi bagi kontestasi Star Wars dan perhitungan dampaknya ke permukaan bumi. Barangkali proponents Star Wars penganut filosofi Sun Tzu; Jika tidak ingin berperang maka bersiaplah untuk perang. Tetapi deterent effect apa yang diharapkan bisa terjadi pada para decision makers yang jauh dari informasi dan pengetahuan tentang outer space? Belum lagi bahwa selalu ada decision makers yang insane; melabuhkan impuls perkelahian kanak-kanak mereka pada peperangan sedahsyat-dahsyatnya.

Perkembangan dan pertumbuhan saintek dalam 40 tahun terakhir ini bersifat eksponensial. Lebih jauh melampaui Deret Ukur ketimbang sekadar Deret Hitung. Waktu sebagai dimensi keempat tak lagi mampu eksplanatif bagi tambahan ruang dan waktu. Spekulan bahkan mempercayai extrapolasi hingga sepuluh dimensi. Atau lebih. Lebih tiga dekade yang lalu Toffler melontarkan proyeksi mimpi anak-anak. Buku-buku futuristik sampah, namun menjadi best-seller dan memukau kalangan awam dunia. Kini, dalam satu dekade terakhir, Michio Kaku memetakan jalan fiksi—menurutnya, yang bagi saya lebih merupakan eskapisme dari tanggung jawab moral sebagai saintis—saintek kontemporer dan masa depan. Namun, siapa sekarang orang Indonesia yang mau membaca Kaku? Yang mengikuti kontestasi teoretik tentang Pluto? Apalagi tentang ribuan bintang lama yang baru ditemukan.

Pada masa depan yang dekat, kita masih berkutat dengan masalah-masalah klasik perebutan dan distribusi kekuasaan. Baik pada tataran lokal, nasional maupun internasional. Trajektori politik Indonesia harus dibaca pada penggal waktu hingga 2045; Tahun Emas yang telah kita kenali. Namun, missing point pada kerangka PwC (2050) adalah aspek saintek tersebut. Itupun masih belum termasuk perhitungan berbagai aspek di luar ekonomi. Ceteris paribus. Padahal, problem pembelahan sosial telah membunuh bibit-bibit saintek sejak awal. Preferensi japres pelajar pada kemampuan mengaji ketimbang logika matematika dan sains anak-anak telah mengubah keseimbangan antara kemampuan logika saintifik-empirik dengan keyakinan ilahiyah. Catatan Mahathir Muhammad tentang isu ini kebanyakan direspon negatif.

Dalam hitungan jarum jam peradaban, sisa waktu 25-30 tahun itu tidak lama. Sangat singkat malah. Padahal seluruh aspek dan faktor yang dikesampingkan, ceteris paribus, justru semakin berperan. Jarak peradaban akan semakin menjauh. Apakah ini mengulangi sejarah tergusuaarnya sains-logika empirik di kawasan Andalusia sekian ratus tahun yang lalu; bergesernya Al Jabar ke Math dan kini ke cabang-cabangnya; Astronomi, dan lain-lain. Kontestasi kekuasaan menambah seluruh kerumitan peradaban itu. Jejak-jejak sejarahnya masih sangat jelas di Alhambra, Cordova hingga Opporto; kathedral-masjid yang masih terawat dengan baik. Etika kekuasaan menghilang. Predator kekuasaan tidak bisa dibasmi, karena sebagai sel hidup predator membelah diri dan menciptakan predator-predator kekuasaan yang baru.

Salah satu predator kekuasaan itu adalah police force. Istilah pejoratif NKRI sebagai “Negara Kepolisian Republik Indonesia” sesungguhnya early warning memasuki pembatas zona peradaban kecil ini. Polisi berada di ruang Democratic Policing. Ini berarti di wilayah Civil-Civilian-Civility-Civic. Namun manakala pembatas itu ditegakkan dan polisi didorong ke dalamnya, kejumu dan resistensi, terjadi. Terbukti tidak mudah mengubah polisi sebagai salah satu predator kekuasaan—barangkali sekarang justru yang terkuat—untuk berperan beyond the call of duties, dalam pengertian seburuh-buruknya. Titik balik pertama dalam trajektori peradaban civil-civilian police ini terjadi pada peristiwa Bom Bali I 1992. Tetapi bangunan otot kawat balung wesi sebagai predator kekuasaan itu hampi melampaui kekuatannya sendiri, hingga terjadi kasus Sambo. Suatu kasus yang harus dipahami dalam konteks pergeseran kebudayaan-peradaban ini. Bukan sekadar—meskipun benar—dalam makna kekuasaan. Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely (thanks to Lord Acton).

PwC memang tidak mempertimbangkan, apalagi memperhitungkan, dimensi kebudayaan dan peradaban ini. Terlebih lagi lingkungan saintek yang tidak mampu—bahkan tidak mau—dikendalikan oleh para predator kekuasaan. Di bawah konteks ini, polisi berada pada critical juncture. Relasi love-hate tersirat dari tingginya aspirasi anak-anak SMA untuk menjadi polisi, despite the fact polisi setiap hari dihujat dan dicacimaki. Prediksi PwC bisa saja menghampiri kenyataan jika polisi mampu melakukan transformasi peran, dari “sekadar” instrumen rust en orde menjadi pendorong akselerasi peradaban. Tetapi dalam langkah-langkah kecil saja, polisi dituding justru mengubah “dwifungsi” menjadi “multifungsi” sebagaimana disinggung di atas. Harus diakui bahwa komponen predator kekuasaan itu sendiri juga tidak satu perspektif di dalam gerbong yang sama. Jika polisi mampu berperan sebagai daya dorong beyond Democratic Policing maka proyeksi PwC bisa lebih cepat dari 1950; bahkan bisa saja lima tahun sebelumnya, pas pada Tahun Emas 1945. Namun sebaliknya. Jika Polri gagal memposisikan arah peran tersebut, maka Tahun Emas akan terlampaui.

Arah peran tersebut sudah dimulai sejak post-immediate Gerakan Reformasi 1998 melalui berbagai tagline dan Program Reformasi, disadari maupun tidak. Setelah Promoter, tagline yang sekarang digunakan adalah PRESISI. Tidak penting ada silogisme yang tidak paralel dalam istilah PREDIKTIF, TRANSPARANSI, AKUNTABILITAS dan BERKEADILAN, langkah awal—atau langkah lanjutan jika digunakan benchmark sejak Tiga Pilar Reformasi dari Buku Biru—telah diawali dengan berbagai praxes tindakan. Sesekali—atau seringkali?—praxes menjadi off the track, sehingga mengurangi daya dorong peradaban. Misalnya pada kasus jenjang kepangkatan, saat pangkat terendah Bharada dikembalikan, setelah sempat dihapus. Atau pada simbol-simbol dan lencana penghargaan dan kehormatan.

Meskipun demikian, kita harus menatap masa depan dengan optimis. Roh dari marwah Polri sudah dirumuskan secara konsisten dan on-the-track, sekalipun sekali-sekali tarnished oleh perilaku oknum polisi. Jangan pernah dilupakan—bukan sekadar jargon atau malah apologia—bahwa polisi adalah bagian dari masyarakat. Jika masyarakatnya masih rotten, busuk, maka polisinya pasti bad cops; jangan bermimpi memiliki good cops. Oleh karena itu, polisi harus tanpa henti mendorong pembangunan masyarakat sipil. Dan secara tegas pula melakukan detachment dari simbol-simbol militer sebagai pemegang kedaulatan yang absah untuk menggunakan ultimate power.

TNI sebagai insitutisi pemegang kewenangan untuk menggunakan ultimate power tersebut sesungguhnya menyandang potensi yang serupa dengan polisi, karena berhampiran lebih dekat dengan persoalan-persoalan daripada predator kekuasaan yang lain. Pada kelampuan yang dekat, yaitu 1998, TNI lolos dari lubang jarum, setelah hampir saja terperosok ke dalam lubang yang sangat menyakitkan. Lubang serupa yang kini sedang berusaha dilalui oleh Angkatan Bersenjata Thailand. Bagaimana bisa lolos dari jebakan monyet perubahan politik melalui Reformasi Sektor Keamanan, khususnya Reformai Militer. Pada tingkat atas, di bawa Doktrin—yang berbeda dari “Doktrin” deployment pasukan—belum ada tanda-tanda upaya menindaklanjuti perubahan visi kenegaraan dari “memunggungi laut” menjadi “menjadikan laut teras depan rumah,” dengan misalnya merintis transformasi Marinir menjadi Matra ke-4 TNI.

Intelektual

Sepanjang sejarah pemikiran, perdebatan klasik selalu berulang. Tentang peran intelektual dalam perjalanan peradaban. Intelektual dipercaya—self-acclaimed; terutama oleh kalangan intelektual itu sendiri—sebagai pembawa obor peradaban. Sebuah self-defined role bersifat grandiose. Padahal peran seperti itu hanya eskapisme dari ketidakmampuan menguasai teknokratisme ATAU filsafat ilmu. Intelektualisme mempercayai peran DAN. Bukan ATAU. Tradisi yang sesungguhnya sejak awal dimiliki oleh para intelektual Islam; banyak ulama terkemuka adalah astronom-astronom terbaik pada masanya. Tradisi ini kemudian tumbuh berkembang di kalangan pastor Katholik yang menyebar ke seluruh dunia; Intelektualisme yang merupakan perpaduan antara filsafat (ilmu) DAN teknokratisme. Kaum friar yang menyandang mission civilisatrice dalam filantropisme mereka.

Sekarang, bagaimana state of the arts dari peran DAN? Satu demi satu peran filsafat ilmu yang diyakini memberi obor pencerahan bagi peradaban itu rontok dalam kontestasi dengan teknokratisme dan technicalities. Generasi milenial sudah tidak bisa menulis dengan tangan. Ratusan tahun tulisan tangan digantikan oleh print media sehingga memungkinkan masifikasi pengetahuan; menjadi salah satu sumberdaya kekuasaan. Juga perajut proto nationalisme melalui kiprah creoles dan mestizos dalam kredo Anderson. Setelah berjasa selama ratusan tahun menggantikan (atau melengkapi) fungsi tulisan tangan, mesin ketik manual digantikan oleh word processor—mulai dari yang paling sederhana hingga komputer—lalu hampir secara tiba-tiba muncul HP. Penemuan dasar teknologi chips pada awal 1960an baru memperoleh pengakuan Nobel lima puluh tahun kemudian.

Teknokratisme membuat saintek 1970an menjadi obsolete. Bahasa COBOL dan FORTRAN dibuang ke tempat sampah, atau kita akan menjadi tempat sampah itu sendiri. Jarak pengetahuan pun semakin melebar antara dunia saintek dengan dunia abstrak filsafat. Namun hubungan antara ATAU dengan DAN ini tetap suatu dilasi. Sangat relatif. Dan manakala filsafat ilmu menghampiri sistem keyakinan, maka jarak itu semakin jauh. Betul-betul dilasi. Karakter dilasi ini menimbulkan ketidaknyamanan. Bukan lagi sekadar perhadapan pengetahuan empirik vis-a-vis non-empirik (termasuk terhadap apa yang sesungguhnya pseudo science), melainkan sekarang sudah memperhadapkan secara langsung Saintek dengan sistem kepercayaan. Tentu saja Saintek tidak akan pernah menang, selamanya, manakala harus berhadapan dengan sistem keyakinan “pokoke.”

Namun, arloji peradaban ternyata tidak cukup hanya berhenti di sini. Ia berdetak terus. Semakin lama semakin cepat berdentam-dentam, semakin cepat lagi, dan semakin cepat. Dan kita terusik. Terpontal-pontal mengikutinya. Bukan lagi mengusik, tetapi sudah menghentak dan menghantam relung-relung tranquility yang memang sudah tidak tranquil lagi. Muncul dan meledak lah apa yang kita kenal sebagai AI. Ya, Artificial Intelligent. Saintek menghasilkan  mesin yang berpikir sendiri. Sebuah ras baru menusia. Minus perasaan. God knows, karena sudah ada mahluk hybrid berupa cangkok jantung babi ke tubuh manusia. Di Amerika. Di Inggeris, saga domba Dolly (1981) tidak terdengar kelanjutannya. Apa yang terjadi pada mahluk muda dengan sel-sel tua? Pasti terjadi mutasi genetik, tetapi publik tidak atau belum mengenali apa yang terjadi pada manusia yang mengkonsumsinya.

Dolly dan manusia baru berjantung babi hanya salah satu arah perkembangan peta jalan saintek hayati yang sudah ditunjukkan oleh Michio Kaku. Tetapi, siapa di Indonesia yang membaca Michio Kaku? Peta jalan tak dikenali, akibatnya kita berjalan tanpa arah. Riset hayati pada tingkat dunia yang dipetakan Kaku mengarah pada kanker, stem cell, genetik, vaskuler, dan yang semacamnya, semakin pesat. Sementara ruang bagi advanced research seperti itu di Indonesia semakin lama justru semakin sempit. Lembaga Eijkman tidak dipahami sebagai parastatal institute, sehingga kita tak lagi peduli apakah akan semaput atau mati. Sumberdaya hayati dengan keragaman fauna terbesar di dunia, Kebun Raya Bogor, kini hanya menjadi destinasi wisata anak-anak; tidak berbeda dari Ancol atau tempat pemancingan di Taman Bermain Manula di Desa Septic Bau Wangi.

Serupa halnya, peta jalan riset-riset avant garde dan penguasaan saintek bidang-bidang lain juga memberikan gambaran yang menyedihkan. Dunia yang semakin mengecil dalam saintek komputer—dalam bentuk microchips yang semakin kecil—hanya lamat-lamat terdengar. Padahal produk hilirnya—laptop, PC, hp, dan semua turunannya—hadir setiap saat di depan kita. Perubahan kemajuan pun terjadi setiap saat, dan kita terpontal-pontal mengikutinya. Dalam bahasa populer, kita akan selalu menjadi konsumen produk-produk teknologi dari Dunia Pertama.

Salah satu turunan AI adalah aplikasi ChatGPT. Mesin ini menjungkirbalikkan logika etis. Karena yang bepikir dan bekerja adalah mesin. Bukan manusia. Cilakanya, produk otaknya ChatGPT kerapkali lebih sophisticated ketimbang otak manusia; termasuk otak kaum intelektual.  Dilema etis pun muncul. Apakah memanfaatkan kemampuan AI untuk menggantikan tugas-tugas dan pekerjaan peneliti-dosen dan intelektual secara umum is ethically wrong? ChatGPT tidak memerlukan credit points dari quotations untuk kenaikan pangkat menjadi TalkGPT atau SeminarGPT sehingga ethically neutral; semacam open source yang memanfaatkan open source lain. Mahasiswa tidak perlu cerdas, tapi cukup terampil saja mengutak-atik dan memanfaatkan teknologi yang setiap saat berubah semakin canggih.

Manusia masa depan sudah komplit pada dirinya sendiri. Ingin making love? Pasangan tersedia dalam bentuk sex doll dan muncul dalam hologram tiga dimensi, seperti yang setiap hari sudah ditonton oleh ribuan orang di perempatan Shibuya Tokyo. Lebih cantik dari Angelina Jolie dan lebih sexy dari Adriana Lima (sehingga Victoria Secret pun bangkrut!). Ingin punya anak? Kloning saja. Cungkil sedikit hidung dan kuping, kita produksi anak secara massal, kembar 10. Karena kita konsumen saintek tersebut, maka fakultas MIPA sebaiknya dibubarkan saja. dan itu sudah dilakukan saat ini. Apalagi mendidik calon-calon doktor dan profesor. Semua sudah diganti AI.

Situasi ini menambah daftar panjang yang sudah ada sebelumnya. Tentu saja ujung paling ekstrem adalah apakah bisa–lebih tepatnya oleh; oleh siapa?–menciptakan manusia baru hasil kloning? Persoalan klasik seolah mengulang Copernicus. How far can we go? Semua akan menghindar. Narasi Kaku sekalipun tampak menghindari wilayah rawan ini. Extrapolasinya tentang lembaran-lembaran Hyper Space yang memisahkan universe serta menyinggung keberadaan Tuhan—atau “sekadar” surga-neraka—di universe seberang dan kemungkinan eksplorasi ke “seberang” melalui Worm Hole; belum lagi spekulasi teoretik terlipatnya membran luar angkasa tersebut. Kaku memang hanya berhenti sebatas fiksi sains; zona aman dan nyaman di sana.

Tugas sejarah kaum intelektual sudah memasuki critical phase, injury time. Dimatikan oleh lingkungan strategis sejak awal. Pendidikan dasar dan menengah sudah menjauhkan logika empirik dari persiapan psikologi-kematian. Pada jenjang pendidikan tinggi, terjadi pembunuhan yang lebih kejam. Atas nama efisiensi dan perhitungan ekonomis, fakultas-fakultas MIPA dan Saintek dimatikan jika tidak memenuhi kuota jumlah minimum mahasiswa. Yang tertinggal adalah degradasi pembodohan setiap cohort generasi. Akibatnya terjadi penurunan kualitas (fisik) kehidupan. Jika bangsa-bangsa lain menikmati leisure time sebagai salah satu indikator kesejahteraan karena mereka bisa menikmati produk saintek-peradaban, kita terseok-seok kebingungan menatap arah surga-neraka. Le carefour sans soleil.

Yang tersisa kemudian adalah desain pendidikan dan karir Doktor Scopus. Ahli Peneliti-Absensi-Sangat-Utama. Dan Profesor-Selebgram-Rajin-Webinar. Intelektualisme telah kehilangan rohnya.

Karena alasan-alasan itulah saya merasa tidak ada lagi pilihan-pilihan dilematis DAN/ATAU. The Intellectuals are dead!!

Menyusuli wafatnya Pluto, kaum intelektual kini telah Wafat. Mati. Modar kon !!

Tertawalah kau… deGraef Tyson

[Dedikasi untuk Daniel Dhakidae dan Mochtar Pabottingi, dua dari generasi terakhir intelektual dilema Dan/ATAU]. ***

Curriculum Vitae

(agak lengkap, minus karya tulis)

Hermawan Sulistyo

Emeritus Research Professor

TTL: Ngawi, 4 Juli 1957

Pensiun (dini 2023) PNS/ASN Gol IVe/Pembina Utama

Sekolah:

  • SR Negeri Geneng, Ngawi
  • SDN Guntur Madiun
  • SMPN II Madiun
  • SMAN I Madiun
  • Universitas Indonesia (UI) Jakarta
  • Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta
  • Universitas Airlangga (Unair) Surabaya
  • State University of New York (SUNY)-Buffalo, NY, US
  • Ohio University (OU)-Athens, OH, US
  • Northern Illinois University (NIU), DeKalb, Il, US
  • iArizona State University (ASU), Tempe Az, US

Scholarships: Fulbright (2x), ITT, Ford Foundation, Teaching Assistantship ASU, Research Assistantship ASU, berbagai scholarships lain.

Bidang: Fisika Murni/Nuklir/Teori-Matematika; Political Science (Politik dan Pemerintahan Indonesia, Teori-teori Politik); IR/Area Studies (Southeast Asia: Anthropology, Literature, Politics of Southeast Asia); History (Historiografi; Southeast Asia; Public History/Comparative History Central Asia-Eurasia-Russia); Filsafat (Politik); Scholarly Publishing.

Pernah Mengajar

Pengantar Sosiologi; Sistem Sosial Indonesia; Sistem Politik Indonesia; Pengantar Ilmu Filsafat; Metodologi Penelitian; Teori-teori Politik Negara Berkembang; Introduction to Southeast Asia; Conflict Studies; Studi Keamanan Nasional; Metode Penelitian Hukum; Teori-teori Sosiologi Modern; Politik Perkotaan; Metode Penulisan Ilmiah

Minat Akademik: Konflik; Kekerasan; Revolusi; Perang; Insurgency; Pemberontakan (Revolt, Rebellion); Genocide; Pogrom; Kerusuhan (Riots); Demonstrasi; Political Killings; Terorisme (Forensik, Bom, Modus); Security-Defense; Police Science; Bencana (Disaster).

Keahlian Teknis: Investigasi; Publishing

Special Investigation:

  • Ketua Tim Investigasi TGPF Kerusuhan Mei 1998
  • Kasus Penembakan Trisakti 1998
  • Katim TPF Kasus Semanggi II (Yun Hap) 1998
  • Investigasi Bom Bali I
  • Berbagai kasus Bom lain (Sri Rejeki Semarang; Bom Marriott dan lain-lain)
  • Tim Pakar TPF Kasus Novel Baswedan
  • Berbagai kasus Kekerasan lain
Bom Thamrin

Perselingkuhan dengan polisi:

  • Investigasi Bom Bali I
  • Pembentukan Densus 88
  • Investigasi Bom Marriott
  • Polmas di Jepang
  • UU 22/2007 Lalu Lintas
  • RUU Kamnas (Keamanan Nasional)
  • Bakamla: penyatuan Pol Air – Airud
  • Penyusunan Renstra Polri—Asrena Polri
  • Konsultan SDM/AsSDM Polri
  • Penulisan Buku (authorship/co-authorship/editor): Sutanto; Tjuk Sugiarso; BHD; Sutarman; Tito Karnavian; Farouk Muhammad; Andi Masmiyat; Suhardi Alius; Maruli Simanjuntak; dll)

Profesional:

  • Profesor Riset bidang Perkembangan Politik P2P LIPI/BRIN
  • Penasihat Ahli Kapolri
  • Scholar-in-residence, Contemporary History Institute, Ohio University
  • Scholar-in-residence ISEAS (Institute of Southeast Asia) Singapore
  • Profesor/Kepala Pusat Kajian Keamanan Nasional (Puskamnas) Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
  • Profesor STIK/PTIK (Program S3 Ilmu Kepolisian)
  • Anggota Senat Akademik Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Perjalanan intelektual (mengajar/ceramah/workshop dll)

  • APCSS Armada 7 Hawaii US;
  • Royal Institute of International Affairs (RIIA) Chatham House London;
  • Conflict Studies Uppsala University Sweden;
  • IEEI/Opporto University Portugal;,
  • Universiti Sains Malaysia Penang;
  • Pembicara Sidang Pleno Parlemen Belgia;
  • CSEAS Kyoto Daigaku Jepang;
  • Walailak University Nakorn Shri Thammarat Thailand;
  • Thammasat University Bangkok Thailand;
  • Chulalongkorn University Bangkok Thailand;
  • Studi Banding Sespimti/S3 PTIK ke Jepang, Thailand, Singapore dan UK;
  • Sespimma, Sespimmen, Sespimti; Sesko Angkatan; Sesko TNI; Lemhannas-RI; Wantannas-RI; Konsultan Kode Etik Bea Cikai; Diklat Awak Cabin Garuda; Diklat Kemenkes; Sesdilu Kemenlu;
  • Berbagai universitas dan strategic think tank di belasan negara.
  • Konsultan Country Risk Analyses, berbagai perusahaan (Total Indonesie, Pertamina, PTT-GE Thailand; Gulaku; PT Astra, dll)
  • Konsultan Asia Tenggara, PTT-GE Thailand
  • FISIP Universitas Nasional Jakarta
  • FH Universitas Trisakti Jakarta
  • FISIP Universitas Juanda Ciawi Bogor
  • FISIP Universitas Achmad Yani Cimahi
  • Universitas Wiraraja Sumenep Madura
  • Universitas Pasundan Bandung
  • Unhas Makassar
  • Pasca Sarjana Unpad Bandung
  • UIN Jakarta
  • Belasan lainnya (lupa)

Karya Akademik:

Penulis, editor, penerjemah lebih dari seratus buku, puluhan artikel jurnal dan ribuan tulisan di media massa, di dalam dan luar negeri, sejak 1976.

Beberapa buku terpentingnya, antara lain:

Palu Arit di Ladang Tebu;

Polmas: Falsafah Baru Pemolisian (bersama Sutanto);

Democratic Policing (bersama Tito Karnavian);

Lawan! Jejak-jejak Jalanan di Balik Kejatuhan Soeharto;

Contributing chapter, Robert Hefner, Pluralism in Souytheast Asia;

Contributing chapter, Aurel, Marei. Elections in Southeast and East Asia (FES)

Puluhan buku lain.

Jurnalis/kolumnis Redaktur majalah Gadis; Redpel Kaonak dan KIR tabloid Mutiara; Pollster HU (Harian Umum) Sinar Harapan/Suara Pembaruan; Redaktur tamu/kolumnis tabloid Bangkit, Redaktur tamu/koresponden Amerika Serikat HU Surya (Surabaya); Kolumnis Kompas/Jawa Pos/Jakarta Post, Aspemred/Redpel HU Jayakarta; Redpel/Wapemred majalah TSM (Teknologi dan Strategi Militer); majalah D&R (Demokrasi & Reformasi); konsultan Ikapi (sponsored by the Ford Foundation); Editor tamu penerbit buku UI Press, Gramedia, Panca Simpati, Pustaka Sinar Harapan. Founder & Chief Analyst, Traces Strategic Analyses; Concern Strategic Analyses.

Sosial/hobi

  • Pelopor Kelompok Ilmiah Remaja (KIR), out-of-school science education.
  • Pendiri dan koordinator PIPPA (Pusat Informasi dan Pengembangan Pencinta Alam. Aktif di klub Speleologi Garbha Bumi.
  • Penasihat, APTR (Asosiasi Petani Tebu Rakyat).
  • Co-founder KontraS
  • Pendiri dan Patron Yayasan 324 Eksekutif RIDeP (Research Institute for Democracy and Peace).
  • Pendiri dan patron CONCERN (Conflict and Peace Research Network)
  • Penasihat Nasional KIPP
  • Pengelola Training Site Lembah Aurora, Cilember-Cisarua.
  • Pengasuh anak-anak jalanan Yayasan Nanda Dian Nusantara.
  • Co-founder Masyarakat Fulbright Indonesia.

Bisnis

  • Organizer, Asian Aerospace Exhibition, PT Cakra Sudarma, Changi Airport, 1991.
  • Organizer, pameran Indonesia Today, Singapore Exhibition Center, 1990-1991.
  • Komisaris Utama, PT Gemilang Citra Utama trading.
  • Owner, Pensil-324 trade publisher
  • Pendiri dan owner, PT Citasa contractor
  • Pemilik/pengelola Bukafe. Toko Buku dan Cafe
  • Konsultan, PTT-GE (Green Energy) Thailand.
  • Pengelola pabrik CPO dan kebun kelapa sawit PT MAR/PTT-GE di Pulau Rimang, Banyu Asin Palembang
  • Komisaris Utama dan owner, PT Hexa Samudra Mandiri (HSM), pariwisata.
  • Komisaris Utama dan owner, PT Hexa Semesta Global (HSG), mining & construction.
  • Patron pengelola Renzo-Dynamix Edupark, Cibadak Sukabumi

===

Pengelola RENZO DYNAMIX EDUPARK (RDE) CIBADAK SUKABUMI

Karate

Karateka Shotokan Dan IV (Inkai/ISKF)

  • Porbikawa (Madiun: Ss Mursid Magetan; Ss Sutrisno);
  • Inkai Cabang Madiun/Jatim: Ss Budi Utomo, Ss Cliften Tupan;
  • Inkai Ranting UI (Ss Pieter Ferdinandus, Ss Hedy Patipeilohy);
  • Ohio University Karate Club/ISKF/JKA Midwest: Ss Teruyuki Okazaki, Ss Golden Greer, Ss Howard Beebee; Juara 3 kumite perorangan ISKF Regional Midwest, 1994
  • ISKF/JKA/Arizona/Arizona State University: Ss Shojiro Koyama.

Pernah menjadi

  • Penasihat FORKI Depok
  • Waketum/Binpres Inkai Depok
  • Kabid Litbang PB-FORKI (Ketum Luhut B. Panjaitan)
  • Tournament Director Indonesia Open Karate Tournament (2002)
  • Ketua Panitia berbagai turnamen Inkai
  • Sekjen PP-Inkai dua periode (Ketum Ryamizard Ryacudu)
  • Pencetus dan Program Director Inkai Prestasi
  • Penasihat Pengda FORKI DKI
  • Kabid Pembinaan dan Organisasi Pengda Inkai DKI
  • Ketua delegasi Timnas ke kejuaraan AKF, Genting Highland, Malaysia 2001.
  • Wakil Ketua Umum Bidang Pembinaan Prestasi PP-Inkai
  • Pemilik kompleks Dojo Renzo Depok (Honbu Dojo 4 lantai; asrama, swimming pool).
  • Pemilik/pengelola Dojo Renzo-Dynamix Edupark, Cibadak, Sukabumi Jawa Barat (kompleks dojo karate raksasa, yang disponsori oleh PT Solusi Bangun Indonesia/Semen Dynamix).
Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *