Connect with us

Feature

Selamat Jalan Penembang Pamer Bojo

Published

on

Jayakarta News – Ia seakan memilih sendiri jalan kematiannya. Cara nan indah,  bertabur pesan, dan meninggalkan kemuliaan. Sekilas ini yang kita lihat atas wafatnya penembang kondang campursari, Didi Kempot, dalam usia yang masih penuh vitalitas, lima tiga tahun.

Di puncak panggung kegemilangannya dalam berkarya, di tengah jagat penggemar yang sedang menggilai lagu-lagunya, di saat para fans kerap menantikan kehadirannya, Kempot seperti mendadak sontak harus berpulang ke alam baka. Ya, yang ada kan tiada lagi di dunia ini.

Penyebab wafatnya Kempot konon jantung. Namun bahasa gaulnya, kontraknya sudah habis. Istilah religi, telah sampai kodratnya. Wong Jowo pun bilang, wis titi wancine lungo (sudah waktunya pergi). Hanya kita yang tak pernah tahu dan menduga, bahkan orang di sekelingnya pun “tidak”. Itulah kematian yang tetap misteri.

Di saat-saat akhir hidup Kempot, ia seolah menyiapkan skenario nan apik. Lagunya  “Pamer Bojo ” digandrungi banyak orang. Top, terutama di kalangan kawula muda. Tampaknya, inilah masterpiece Kempot. Meski syairnya grantes, menyayat kalbu, tapi iramanya yang riang memaksa orang ingin berdendang.

Narasi Pamer Bojo seperti mewakili banyak situasi dan kondisi batin manusia.   Ini bukan hanya bisa disandarkan pada hubungan dua anak manusia berlawanan jenis yang ingkar janji, lalu pamer pasangan baru di depan mata. Ini semacam bentuk perlawanan atas keinginan dan cita-cita apapun yang tak kesampaian.

Anehnya,  orang lain malah dengan pongahnya unjuk kemenangan atas apa yang diraihnya. Bisa pamer kesuksesan, pamer pacar baru, pamer mobil baru, pamer  rumah baru, pamer pekerjaan baru. Lalu kita yang mengalami “kekalahan“ (sebut saja begitu untuk mimpi-mimpi yang tinggal mimpi), akan terhibur mendengar lantunan lagu Kempot. Karena setiap diri kita pernah gagal atau belum berhasil dalam hal-hal tertentu.

Memang, lagu-lagu Kempot  umumnya  menyuarakan hati yang luka. Hati yang rindu. Hati yang selalu bertanya dan menunggu. Karena tema lagu-lagunya yang berporos pada rasa  rindu yang mengharu biru itulah, maka Kempot dijuluki The Godfather of Broken Heart oleh penggemarnya.

Penggemarnya lintas negara. Suriname yang banyak pula masyarakat asal Jawa, menyukai lagu-lagu Kempot. Bahkan Pamer Bojo juga disukai penyanyi asal Korea, lalu diadaptasi dengan bahasa setempat. Musik memang universal. Irama akan sampai di telinga terlebih dulu, lalu menyapa dan mengaduk rasa/emosi sebelum arti lagu bisa dipahami.   

Jika kita simak dari lagu-lagu Kempot yang melegenda dan sering pula dilantunkan  penyanyi  lain, diantaranya Sewu Kuto, Stasiun Balapan, Terminal Tirtonadi, Banyu Langit, dan Pamer Bojo, semua mengejahwantahkan kepiluan. Kerinduan, dan penantian panjang buat pujaan hati. Ini barangkali pula cermin batin sang maestro. Mungkin ada cinta tulus yang tak bertepuk, sehingga meski perempuan lain telah menggantikan, posisinya bukan di bagian keping-keping hati yang dirasa penuh ketulusan itu. Karenanya ia (dalam lagu-lagunya)  senantiasa dalam penantian.

Namun, pedih hati, luka, rindu dendam, dan segala derita, agaknya harus dialami sang seniman. Seakan kudu ada hara/ nutrisi yang menyuburkan imajinasi dan inspirasinya. Harus merasakan betapa pedihnya sayatan luka. Merasakan perihnya siraman cuka di luka yang bernanah. Semua itu muaranya bisa menghasilkan karya yang berjiwa. Menggetarkan!

Banyak seniman besar yang karyanya diwarnai oleh deritanya sendiri. Derita itulah yang berperan besar memperindah dan memperdalam nilai karyanya. Kahlil Gibran, penyair Lebanon misalnya, puisi-puisinya penuh hikmah, Ludwig van Beethoven dengan lagu-lagu klasiknya kian menjangkau kedalaman rasa meski sang komposer ini kemudian tuli, namun gubahannya menggetarkan.

Ismail Marzuki, komponis yang banyak menciptakan lagu-lagu perjuangan,  karyanya tetap abadi hingga kini. Gesang, penggubah Bengawan Solo itu, karya-karyanya tak lepas dari perjalanan hidup yang dialaminya. Bagian-bagian “krusial” dan derita dalam biografi seniman besar di masa lalu justru memiliki andil berharga pada karya-karyanya. Agaknya itulah yang sudah tersurat sejak zaman azali.

Amal Sebelum Pergi

Ada momen bagus yang mengiringi sebelum kepergian Kempot. Dalam konser amal dari rumah bersama  salah satu stasiun TV, ia berhasil menarik pemirsa untuk berdonasi. Jumlahnya cukup besar. Yang terkumpul sekitar Rp 7 miliar, dan hasil konser amal itu disumbangkan untuk membantu mengatasi penanganan wabah covid 19. 

Kempot sendiri, ketika itu, tak menyangka akan mengumpulkan uang sebanyak itu dalam konser amal yang singkat. Inilah cuplikan penyataan Kempot usai konser amal tsb.

“Alhamdulillah, dari konser amal kemarin, tidak terduga, ternyata melebihi apa yang saya bayangkan. Saya hanya seorang seniman. Mampu saya membantu dengan tenaga saya. Talenta yang diberikan Allah, saya persembahkan untuk konser amal seperti kemarin.”

Kempot juga menyatakan rasa terima kasihnya kepada sobat ambyar/para penggemarnya yang telah berdonasi dalam amal tersebut.

Itulah cara indah dan mulia yang sempat ia lakukan jelang kepergiannya. Semoga apa yang dilakukan semakin memperbesar timbangan kebaikan di hadapan Sang Pencipta. Semoga pula, semua itu menambah kedamaian dan kebahagiaan dalam peraduan nan abadi di sisi Illahi.

Selamat jalan the Gotfather of broken heart, selamat jalan penembang Pamer Bojo. (Iswati)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *