Connect with us

Feature

Epilog in Memoriam Didi Kempot, Refleksi Musik Selera Ideologis

Published

on

Refleksi Bambang J. Prasetya

DIDI KEMPOT adalah kontroversi yang menyimpan unikum tersendiri. Merintis karier dari jalanan, kemudian berhasil mendaki puncak kemasyhurannya. Meninggal di saat berada di papan teratas prestasi. Kontroversinya disimpan bersama takdir itu tersendiri.

Fenomena musik Didi Kempot periode pop dangdut koplo, belum lama mengundang ketertarikan saya. Bahkan sebelumnya, musik campursari sudah tidak asing untuk menyebutnya akrab. Meski sebatas pemanfaatan untuk kebutuhan praksis program teve. Kerap kerja bareng bersama beberapa grup campursari, memilih, memilah, menentukan lagu-lagu yang akan ditampilkan. Sebagai Gatekeeper yang bertanggung jawab menjaga ragam variasi lagu yang akan ditampilkan, agar tak terjadi overlap, pengulangan atau penyesuaian tema antar grup campursari, kadang sedikit pula masuk wilayah varian garapan aransemen.

Pada fase lain, ketertarikan menjadi semakin kuat saat munculnya “Sobat Ambyar” yang menakjubkan setahun dua tahunan lalu. Komunikasi digital medsos turut membesarkan Didi Kempot, menjadi meteor yang melesat cepat mengitari orbitnya. Melintas batas-batas sekat segmentasi penggemarnya. Hadirlah Didi Kempot bak Diva berjuluk “The Godfather of Broken Heart, Lord Didi Kempot”. Yang tidak saja dielukan penggemar, tapi juga ditangkap peluangnya oleh para agensi, iklan, perusahaan, dan media tentunya. Campursari pop dangdut koplo pun jadi mantra membuka katup klasterisasi citarasa penggemar, dari anak muda sampai orang tua, tanpa pembeda sosial. Pendeknya lagu Didi Kempot berhasil menembus atmosfer universal atas selera musikal personal ataupun komunal.

Godaan lebih jauh untuk meraba bagaimana infrastruktur industri hiburan secara lebih seksama mempengaruhi Didi Kempot pun tak terhindari. Mendudukkannya tidak saja sebagai figur unsich yang terbebas lingkaran periferal. Tapi sebagai modelis yang tumbuh dalam kepentingan bersama. Namun tiba-tiba yang mengejutkan pula, Selasa 5 Mei 2020, Didi Kempot meninggal. Tanggapan responnya pun tak kalah mencengangkan, banyak ulasan tulisan, baik itu kesan atau tinjauan tentang Didi Kempot, tapi saya pribadi tidak dapat langsung dapat menuliskan kesan. Butuh beberapa hari, sebelum kemudian mampu menuliskannya. Sejak kabar meninggalnya, musiknya tidak pernah lepas lewat headset handphone yang menempel di telinga, sembari membaca ulang syair-syair liriknya. Sesekali iseng mengusir kejenuhan, me-repost lagu-lagunya ke beberapa grup WA, sekalian menguji respon balik atau tanggapan atas kesan yang ada.

* * *

(Alm) Didi Kempot

“MANTRA CINTA YANG TERPINGGIRKAN. POTRET DARI YANG TERSISIH, MENYERAH DAN MEMILIH MENGALAH. CERMIN RETAK, KESADARAN YANG MENGHENTAK.”

Sebuah pilihan yang tepat kiranya, ketika Didi Kempot menempatkan diri sebagai obyek kekalahan. Obyek merupakan penerima akibat dari perbuatan subyek. Posisi sub ordinasi korban ini yang dipilih dan secara konsisten dipertahankan dalam hampir kebanyakan lagu ciptaannya. Mungkin ini dipengaruhi oleh latar masa kecilnya yang akrab dengan tradisi tobong Srimulat, sebagaimana Ratno Gudel ayahnya. Mungkin kiat itu pula yang digunakan Didi Kempot dalam mengolah ekspresi karyanya. Bagaimana Srimulat menyasar segmentasi pasar penggemarnya di masyarakat kebanyakan. Ranah suasana kebatinan masyarakat lapis bawah, wong cilik, pernah disebut almarhum Umar Kayam sebagai sebuah uncultured. Soal meramu hiburan semacam bukan hal baru bagi anak panggung hiburan Srimulat. Ibaratnya Tobong Srimulat adalah habitat perguruan yang pasti banyak memberi kontribusi.

Kebetulan pada kurun waktu yang sudah berlalu, pernah pula membuat film dokumenter tentang Teguh Srimulat. Dari sanalah berkesempatan mewawancarai beberapa tokoh Srimulat di Solo dan Surabaya, termasuk Ratno Gudel ayahnya. Hampir setiap menit berjalan, mereka para seniman Srimulat hanya berpikir tentang bagaimana pertunjukan yang akan dilangsungkan setiap malam bisa sukses. Ide kreatif diolah dalam koridor gaya mereka.

Tipologi menghibur masyarakat sudah diakrabi benar. Relasi antara tontonan dan penonton sudah dibumikan menjadi kamus psikologi komunikasi massa milik pekerja seni komedian. Dan Didi Kempot, secara genetis patut diduga mewarisi bakat pemahaman tersebut.

Menghadirkan paradoks adalah kepiawaian panggung hiburan Srimulat. Mentertawakan keadaan dirinya sendiri lewat tokoh-tokoh perannya yang tertindas dan bangunan kisah yang lucu. Formulasi itu diadaptasi secara paripurna oleh Didi Kempot lewat kemasan musikal dan lirik-lirik kisah yang melodramatis. Mengkonstruksikan realitas semu untuk mengobati luka hati oleh penindasan keadaan yang bersifat alami kodrati, sistematis atau mekanis. Semuanya itu tidak menjadi soal, bagi siapapun yang mengalami atau berada dalam situasi tersebut. Tidaklah penting kata perlawanan, lebih baik mundur daripada sakit hati karena kenyataannya memang demikian. (Aku tak sing ngalah trimo mudur timbang loro ati. Tak uyako wong kowe wis lali. Ora bakal bali — Suket Teki)

Realitas subyektif yang dikonstruksikan menjadi  realitas semu, dalam terminologi Jean Baudrillard, yang disebut Hiperrealitas, sebuah konsep dimana realitas yang dalam prosesnya tidak bisa dilepaskan dari produksi dan permainan kesan-tanda melampaui realitas aslinya. Hiperrealitas menciptakan suatu kondisi dimana kepalsuan bersatu dengan keaslian, masa lalu berbaur dengan masa kini, kenyataan tumpang tindih dengan rekayasa, angan-angan melebur dengan realitas, dusta bersenyawa dengan kebenaran. Mantra cinta yang terpinggirkan. Lengkaplah potret dari yang tersisih, menyerah dan memilih mengalah. Cermin retak, kesadaran yang menghentak, kalah.

Hidup itu penuh masalah, ribet dan nyesek, Didi Kempot sadar betul masyarakat haus hiburan dalam bentuk apapun kemasannya. Beberapa pertunjukannya bersama Sobat Ambyar, nampak sekali relasi kontak batin pada titik trance. Panggungnya menjadi semacam mimbar ‘dakwah’ yang lain atau mirip sebuah upacara bersama antara dirinya dengan penggemarnya. Histeria yang menggetarkan. Semacam arena pelepasan berbagai problematika kehidupan yang dipertemukan dalam sebuah wahana musikal. Kalaupun tidak bisa langsung disebut Kontemplasi, tapi penonton seolah menemukan dirinya sendiri melalui musikalitas lagu yang dibawakan Didi Kempot. Hubungan yang terasa egaliter setara, antara penggemar dengan idola. Penonton bisa saja menangis ataupun berjoget, menari mengikuti dirinya sendiri. Fantasi dan realitas tercampur dalam benak apapun untuk menghayati Kebahagiaan semu yang dipertontonkan.

Musik memang selalu mampu menghipnotis pecintanya. Ilusi merupakan bagian penting dari masyarakat yang patah hati. Musik berbicara langsung ke hati atau perasaan. Sementara hati sesuatu yang merdeka, bebas, mandiri, independen,  tidak terpengaruh. Jurgen Habermas melihat manusia sebagai makhluk yang rasional, otonom, bebas dan lepas dari berbagai pengaruh, negatif dan positif, yang datang dari luar, suku, ras, agama atau politik. Pluralisme gaya hidup dan orientasi-orientasi nilai. Masyarakat menjadi kompleks. Individu-individu masuk atau meleburkan diri ke dalam kelompok-kelompok tertentu yang memiliki latar belakang budaya dan gaya hidup tertentu. Berbeda dengan logika yang mengkomunikasikan ide lewat kata-kata, definisi, argumentasi, terminologi, sedangkan perasaan menyampaikan melalui seni. Semua orang bisa merasakan kesedihan dan kebahagiaan yang sama. Dikianati, ditinggal pergi, diingkari janji, kangen, jatuh cinta, kehilangan, dapat menyebabkan kesedihan atau kebahagiaan yang memicu emosi. Didi Kempot menyadari sedang berlayar di gelombang melankolis semacam. Penontonnya pun juga hanyut atas kenyataan fiktif tersebut. Begitulah kontemplatif model Sobat Ambyar yang berupaya mengkonstruksi image, bagi kepentingan masyarakat saat menghadapi kenyataan dan kebenaran dikesampingkan. Semacam mahzab post-truth yang bertalian erat dengan kasanah seni pop, populer, populis, populisme, sebagai strategi marketing, politis dan kultural yang “berpihak pada rakyat kecil”.

Populisme terkait dengan berkomunikasi lewat cara menggunakan kata-kata yang indah, sederhana dan membuai, ngungun. Post-truth sengaja dikembangkan dengan tujuan guna mengolah sentimen masyarakat sehingga bagi yang tidak sadar diri akan dengan mudah terpengaruh yang diwujudkan dalam bentuk empati dan simpati terhadap agenda tertentu. Termasuk agenda dirinya sendiri, atas realitas semua manusia yang galau, gerah, dan hampa, di poros impian harapan, kemampuan dan kenyataan. Didi Kempot menuangkan air dingin, menghembuskan kabut yang menyelimuti kesejukan sebagai sebuah fatamorgana yang sempurna. Mempertemukan penggemarnya dengan Pengalaman Puncak (Peak Experience) batinnya masing-masing lewat seni karya ciptanya.

* * *

(Alm) “Lord” Didi Kempot

Apa yang paling membahagiakan bagi seorang seniman?

Mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dengan kreasi karya ciptanya, itu pasti. Dan kepastian yang lain, itu tidak mudah.  Butuh perjuangan berdarah-darah untuk sampai pada titik ideal tersebut, kecuali lucky keberuntungan. Selain  harapan lain agar karyanya memiliki kemanfaatan yang dapat dipetik sesama.

Seni dan seniman memang tidak berada diruang hitam putih, melainkan menempati percampuradukan spektrum hidup dalam dimensi prespektif yang tidak serba tunggal. Sebab, bagi pandangan ideologis lain yang mungkin bersebrangan, musik lagu Didi Kempot bisa dianggap kurang memberikan daya dorong perjuangan hidup, tetapi justru melemahkan menyongsong kehidupan yang harus dipertaruhkan. Semuanya boleh jadi bias menempati ruang tafsirnya masing-masing. Sama ketika industri film India Bollywood, getol memproduksi cerita yang penuh haru biru, menangis dengan tarian. Sebuah agenda kanalisasi untuk menenangkan masyarakat agar terus hidup dalam mimpi dan impiannya, melupakan lapar dan penindasan yang barangkali terjadi. Faktanya yang lain adalah laku, terjual, dimaui pasar. Begitupun kesenian Didi Kempot, semuanya diserahkan sepenuhnya dihadirat sidang apresian, pendengar, penonton, penggemar, Sobat Ambyar, dan warga peradaban manusia.

Didi Kempot sudah lebih sampai pada posisinya yang jauh tak tersentuh. Tapabrata ngrame-nya sudah selesai, menemukan apa yang diimpikan sejak kecil. Semua jerih payah, suka duka, laralapa, penderitaan yang sering disebut sebagai laku prihatin itu telah diketemukannya. Dia telah berada di trakat paling tinggi dari semua hasrat manusia, bersemadi dikesunyian abadi.

Terimakasih Didi Kempot, engkau telah mengajari makna arti proses belajar, keyakinan, kesetiaan, ketekunan, keuletan, ketabahan, perjuangan, kesabaran, kejernihan, komitmen, dedikasi, kepasrahan, berkesenian secara murni dan konsekuen.

Sing uwis ya uwis, lara ati oleh, ning tetep kerjo lho ya, sebab urip ora iso diragati nganggo tangismu.” (*)

*) Refleksi ditulis Bambang J. Prasetya, Pelaku Media Seni Publik, pada Waktu Indonesia Bagian “Kembang Tebu” sing kabur kanginan. Saksi bisu sing dadi kenangan.

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *