Connect with us

Feature

Wallanae, Ancaman Bencana Sulsel

Published

on

Jayakarta News – Kepala BNPB Doni Monardo tampil sebagai keynote speech pada Penataran Manajemen Penanggulangan Bencana, sore ini (10/2/2020) di Gedung Pola, Komplek Gubernuran Sulawesi Selatan, di Makassar. Blak-blakan ia mengingatkan, “Perang belum pasti, tetapi bencana alam pasti kita hadapi!”

Karennaya, Doni tidak keliru menyetujui Rakerda pertama penanggulangan bencana tahun 2020 ini diselenggarakan di Makassar. Sebab, Sulsel memang berada di bawah ancaman patahan yang disebut Wallanae. Patahan ini melintasi Pinrang, Bone, dan Soppeng. Gempa disusul tsunami, bisa terjadi kapan saja.

Masyarakat harus diingatkan peristiwa gempa disusul tsunami yang terjadi di Bulukumba, 29 Desember 1828. Saat itu, dikabarkan tak kurang dari 500 orang meninggal dunia. Ingat pula gempa Tinambung yang terjadi 11 April 1967. Juga gempa Majene Februari 1969. Gempa Mamuju September 1972. Gempa Ulaweng April 1993. Gempa Pinrang September 1997. Gempa Sorowako Februari 2011. Hingga banjir besar di Gowa tahun lalu.

Rentetan sejarah bencana tadi harus menyadarkan kita semua untuk selalu waspada. Seperti biasa, Doni Monardo menyentuh relung hati peserta Rakerda yang paling dalam. Ia menyatakan, kita sebagai umat beragama diberikan tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan alam. “Jelas perintah Tuhan, bahwa selain bermunajat dan menjaga hubungan dengan Tuhan, manusia juga wajib menjaga hubungan baik dengan sesama manusia, serta menjaga keseimbangan alam,” papar Doni.

Ilustrasi gempa dan tsunami di Bulukumba 1828. (ist)

Dari aspek spiritual, Doni lalu mengajak peserta mengingat sejarah peradaban manusia. Betapa para pendahulu kita telah melahirkan ragam ilmu teologi, demokrasi, dan ekokrasi. Ekokrasi adalah kedaulatan lingkungan. Oleh karenanya, pendekatan ekosistem hari ini adalah solusi untuk menyelesaikan sejumlah persoalan yang terjadi di tengah kita, terutama yang diakibatkan oleh perubahan iklim

Anomali cuaca hari ini, tak lepas dari apa yang disebut Doni dengan istilah “gosong”. Artinya, “global warming buka omong kosong”. Alhasil, melalui Rakerda Penanggulangan Bencana seperti hari ini, diharap terjadi kerekatan, kekuatan, dan kebersamaan. Sebab, tidak boleh ada urusan bencana yang terkotak-kotak. Setiap unsur memiliki kewenangan dan tanggung jawab agar kita bisa memahami hakikat ancaman bencana.

“Mari kita kenali ancamanannya, siapkan strateginya. Ketahui masalahnya, carikan solusinya. Karena persoalan bencana adalah persoalan permanen, maka mau-tidak-mau, solusinya pun harus permanen,” tegasnya.

Solusi permanen harus dilakukan dengan cara pencegahan, mitigasi, dan juga pengurangan risiko, dengan meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan. “Targetnya jelas, manakala terjadi bencana, kerugian harga benda bisa diminimalisir, dan kerugian jiwa bisa ditekan ke titik nol. Ini perlu kebersamaan dan sinergi kepemimpinan, mulai dari gubernur sampai ke RT-RW,” papar Doni.

Sambil menoleh ke arah Pangdam Hasanuddin, Mayjen TNI Andi Sumangerukka, Doni Monardo berkata, “Maaf ini bapak Pangdam… saya berani mengatakan perang belum pasti, tetapi bencana itu pasti. Artinya, untuk terjadi perang, bisa iya, bisa tidak. Tetapi yang namanya bencana pasti akan terjadi,” kata Doni sambil tersenyum, disambut anggukan Pangdam, Kapolda, dan hadirin.

Doni menunjukkan, betapa setiap musim huja, terjadi bencana banjir bandang dan longsor. Sementara di saat kemarau, terjadi kebakaran hutan dan lahan. Sedangkan, di masa transisi antardua musim tadi, sering terjadi bencana angin bohorok, atau angin puting beliung.

“Mari, semua komponen yang ada, kita jadikan sebuah orkestra yang harmonis. Dengan begitu, Indonesia tidak hanya dikenal sebagai ‘supermarket bencana’ karena saking seringnya terjadi bencana, tetapi Indonesia bisa menjadi laboratorium. Bangsa lain bisa belajar kebencanaan ke Indonesia,” katanya.

Kepala BNPB Doni Monardo sebagai keynote speech, Rakerda Penanggulangan Bencana 2020 Sulawesi Selatan. (foto: egy massadiah)

Ada fakta lain yang disodorkan Doni, yang membuat hadirin terhenyak. Ditunjukkan, bahwa dalam 20 tahun terakhir, korban jiwa karena bencana mencapai angka 1,2 juta jiwa di seluruh dunia. Jumlah ini jauh lebih besar dari angka korban jiwa dalam perang bersenjata. “Tahukah bapak-ibu sekalian, Indonesia berada di urutan kedua. Antara lain karena tsunami Aceh tahun 2004,” bebernya.

Angka lebih memprihatinkan dicatatkan Indonesia tahun 2018 sebagai negara dengan jumlah korban akibat bencana terbesar di dunia. Kita tahu, tahun 2018 terjadi gempa dahsyat di Lombok yang menelan korban 563 jiwa. Tak lama kemudian, disusul gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi di Palu yang menelan korban 2.000 jiwa lebih. Belum, ditambah tsunami Pandeglang yang menewaskan 500 jiwa.

Walaupun korban jiwa karena gempa dan tsunami besar, namun intentistas kejadian lebih banyak terjadi kaibat peristiwa hidrometeorologi (98 persen), dan hanya 2 persen yang diakibatkan faktor geologi. Sedangkan, tren bencana akibat hidrometeorologi terus meningkat.

Tahun 2019 lalu, BNPB mencatat 3.814 kejadian, termasuk di Sulsel. Tak kurang dari 70 orang meninggal dunia, dan belasan orang hilang. Kerugian ekonomi akibat bencana tahun lalu Rp 81,8 triliun. Angka itu terbesar karena karhutla yang mencapai sekitar Rp 75 triliun.

Sementara itu, memasuki dua bulan usia tahun 2020, sudah terjadi 455 kejadian. “Hendaknya ini menjadi perhatian kita semua, bahwa bencana ini sifatnya rutin. Jadi kita tidak bisa lagi menghindar. Kita harus memikirkan strategi jangka panjang. Ingat, negara bertanggung jawab melindungi rakyatnya,” ujar Doni seraya menyampaikan keprihatinan terbaru, “jangan lupa, kita juga sedang mewaspadai virus corona.” (roso daras)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *