Connect with us

Feature

UU Cipta Kerja Mau Kemana?

Published

on

JAYAKARTA NEWS – Polemik pembuatan dan pengesahan Undang-undang Cipta Kerja acap disebut Omnibus Law ini, coba disisihkan. Suka tak suka ada banyak persoalan menanti setelah pengesahannya. Bergelut menyoal proses, adalah satu hal. Namun dalam webinar 30 tahun 90ers FHUI tanggal 29 Desember 2020, ada kesepakatan tak dinyatakan bahwa kini saatnya mengkritisi secara positif agar UU Ciptaker mampu mempersempit kesenjangan antara persoalan dan janji, antara harapan dan tantangan.

Tajuk yang sama disampaikan pembicara kunci dalam webinar kali ini, Satya Bhakti Parikesit. Selaku Deputi Bidang Perekonomian I Sekretaris Kabinet (Setkab), Bhakti boleh dibilang orang yang paling pantas menjelaskan kerja di belakang layar demi penyempurnaan UU Cipta Kerja yang digadang pemerintah Republik Indonesia.

Bhakti menukil data dampak Covid-19 terhadap Ekonomi Indonesia dalam rentang 2018 ke 2020, dan Pertumbuhan Ekonomi Menurut Pengeluaran sebagai gambaran kondisi pendorong. Tiga tahun ini mampu memberikan gambaran cukup signifikan dari angka 5,06 di kuartal pertama tahun 2018, hanya bergeser sedikit di tahun 2019, hingga meluncur ke 2,97 di tahun 2020 kuartal yang sama. Angka di kuartal keempat di tahun 2018 bahkan meluncur tajam ke minus 3,49 di kuartal 3 tahun ini.  Pergerakan di angka pengeluaran pun tak menggembirakan di tiap sektor konsumsi pemerintah, konsumsi rumah tangga hingga angka ekspor dan impor.

Angka-angka tersebut memang memberikan gambaran yang kurang menggembirakan. Meski menyajikan juga gambaran pergerakan dan prediksi bahwa ekonomi Indonesia memasuki tahap pemulihan, namun Bhakti mengakui bahwa pengangguran masih menjadi tantangan  besar bagi pemerintah RI. Angka tersebut dicatat BPS per Agustus 2018 ada di angka 7,07 juta orang, dan di Agustus 2020 angkanya mencapai 9,77 juta orang. Berdasarkan sumber data dari Biro Pusat Statistik terlihat bahwa Covid-19 tak pelak makin menghantam perolehan masyarakat. Masyarakat berpenghasilan di bawah 1,7 juta menjadi lapisan yang paling terdampak dengan mencatat angka 70,53 persen penurunan pendapatan.

Atas: Moderator.Bawah: Satya Bakti Parikesit, Deputi Bidang Perekonomian I, Sekretariat Kabinet RI.

Yang menarik, lulusan Magister Manajemen dari Universitas Padjadjaran ini  mengatakan bahwa meski pandemi menjadi faktor tak terduga yang meluluh lantakan banyak sektor, ia justru mengatakan bahwa ini menjadi momentum reset dan transformasi ekonomi di mana peran teknologi informasi menjadi sangat penting di samping upaya percepatan perijinan, penyederhanaan birokrasi serta reformasi regulasi.

“Kita harus mampu menjadi demografi bonus dalam pembangunan, bukan sebaliknya,” tandasnya. Bhakti menggaris bawahi bahwa UU Cipta Kerja menjadi pintu keluar dari Middle Income Trap Indonesia per 1 Juli 2020 naik kelas upper middle income country setelah sejak 1995 berada dalam lower middle income country, di mana Gross National Income (GNI) per capita Indonesia 2019 naik menjadi US$ 4.050 dari US$3.840 di tahun 2018.

Menurutnya tantangan Middle Income Trap (MIT), yaitu keadaan ketika perekonomian suatu negara tidak dapat meningkat menjadi negara high income. Negara yang terjebak dalam MIT akan berdaya saing lemah, karena dibandingkan low income countries kalah bersaing dengan upah tenaga kerja mereka yang lebih murah. Sementara, dengan high income countries pun kalah bersaing dalam teknologi dan produktivitas.

Belajar dari pengalaman negara yang sukses, kontribusi daya saing tenaga kerja dan produktivitas menjadi andalan. “Itu sebabnya UU Cipta Kerja perlu untuk transformasi ekonomi dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi menjadi lebih cepat, sehingga dapat segera keluar dari MIT,” terangnya kemudian.

Peraih LLM dalam Internatonal Lawa dari School of Law, University of Nottingham,Inggris ini menyoal permasalahan perizinan yang rumit dengan banyaknya regulasi pusat & daerah (hiper-regulasi) yang mengatur sektor, menyebabkan disharmoni, tumpang tindih, tidak operasional, dan sektora. Ia pun juga menyitir pendapat World Bank yang mengapresiasi langkah pembentukan UU Cipta Kerja ini untuk meneguhkan bahwa langkah pemerintah menelurkan UU ini adalah langkah yang tepat.

Dan menurutnya, kini  kian tampak sebagai pilihan yang tepat di masa pandemi ini UU Cipta Kerja merupakan Reformasi yang Paling Positif di Indonesia dalam 40 Tahun Terakhir, di bidang Investasi dan Perdagangan. UU ini juga menurutnya mampu merevisi UU terkait Investasi, dan menghapus diskriminasi terhadap FDI dalam UU Sektoral. Dan pada ujungnya akan mendorong Investasi, sehingga dapat menciptakan lapangan kerja dan memerangi kemiskinan. Formulasi ini menjadi pemikiran mendasar bagaimana UU Ciptaker ini lahir dari rahim pemerintahan Joko Widodo ini.

Sajian dan diskusi tentang UU Cipta Kerja tentu tak memadai dibahas dan diselesaikan dalam satu pertemuan saja. Pada webinar kali ini, Bhkati membagikan bahan presentasi paling tebal sebanyak 47 halaman. Ia mengakui masih banyak kerja yang belum selesai.  Masih menumpuk lanjutan yang harus digenjot untuk menuntaskan perjalanan UU Cipta kerja ini termasuk menata regulasi yang dihapuskan dengan adanya UU ini. Jembatan hingga pemberlakuan secara teknis, pembuatan PP, dan lainnya.

Menampik kurangnya peran serta masyarakat, Bhakti menyilakan semua pihak mempelajari, menilai dan memberi masukan. Selasar menuju hal itu bisa dilihat masyarakat sebagai keterlibatan langsung dengan melalui Portal UU Cipta Kerja.

Portal UU Cipta Kerja ini adalah kanal informasi pemerintah tentang UU Ciptaker. Di dalamnya tersedia informasi UU Cipta Kerja, salinan maupun naskah akademis UU Cipta Kerja. Informasi tentang Daftar RPP dan RPerpres Pelaksanaan UU Cipta Kerja juga Draft RPP dan Draft RPerpres di dalamnya.

Hingga kini, Bhakti berbagi bahwa pihaknya sudah mampu mengunggah 27 RPP dan 3 RPerpres, 13 RPP dan RPerpres tahap penyelesaian di K/L atau dalam pembahasan khusus seperti 4 RPP Ketenagakerjaan yang dibahas di Tripartit Nasional (SP/SP, Kadin & Apindo, Pemerintah). Kanal yang sama juga membagikan infografis dan flyer muatan/materi RPP dan RPerpres, termasuk kanal untuk memberikan masukan atas draft RPP dan draft RPerpres.

Bhakti menutup percakapan yang singkat itu dengan menggaris bawahi bahwa titik upaya pemerintah dalam hal peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan usaha yang melakukan penerapan perizinan berusaha berbasis risiko (RBA). Topik ini seperti gayung bersambut dengan Ichwan Sukardi yang bicara soal perpajakan dalam konteks UU Cipta Kerja, maupun sudut pandang HAM pada UU Cipta kerja, dibawakan oleh Heru Susetyo.

Ichwan Sukardi, ahli hukum perpajakan.

Topik usaha dan ekonomi makin dipertajam Ichwan Sukardi. Kapasitasnya sebagai ahli hukum perpajakan yang saat ini menjadi Managing partner pada Tax RSM Indonesia, mampu mengupas beberapa persoalan yang perlu diperhatikan dari keberlakuan UU Cipta Kerja ini. Ichwan secara spesifik menyisir UU Cipta Kerja dalam Klaster Perpajakan.

Selain lulus dari Fakultas Hukum UI, di kampus yang sama juga ia meraih studi tentang perpajakan di FISIP UI. Tak heran, melanjutkan pemaparan Bhakti, Ichwan juga menandai beberapa klaster dalam UU Cipta Kerja yang ditandainya yaitu penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, pengadaan lahan, kemudahan berinvestasi, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, kemudahan pemberdayaan dan perlindungan UMKM, Investasi dan Proyek Pemerintah, serta kawasan Ekonomi.

Secara khusus, peraih LLM dari Leiden University ini menyasar klaster kemudahan berusaha. Ichwan menyajikan empat persoalan yang akan bermuara pada kemudahan berusaha.  Persoalan mendasar tersebut yaitu meningkatkan pendanaan investasi, mendorong kepatuhan sukarela wajib pajak, meningkatkan kepastian hukum, dan menciptakan keadilan iklim berusaha di dalam negeri.

Dalam hal pendanaan investasi setidaknya beberapa hal dianggapnya mampu membentuk. Penurunan tarif PPh Badan termasuk WP Go Public, penghapusan PPh atas dividen dalam negeri, PPh atas dividen dari luar negeri tidak dikenakan sepanjang diinvestasikan di Indonesia, penyesuaian tarif PPh 26 atas penghasilan bunga, perubahan ketentuan non-objek PPh hingga Inbreng tak teutang PPN, adalah beberapa hal diantarnya.

Dalam hal berlakunya UU Cipta kerja, setidaknya ada dua UU menurut Ichwan yang terdampak dalam klaster perpajakan yaitu UU PPh (UU nomor 7 tahun 1983 stdtd UU Nomor 36 tahun 2008), dan UU PPN yaitu UU Nomor 8 Tahun 1983 stdtd UU Nomor 42 tahun 2009) dalam hal Penghapusan PPh atas dividen dari dalam negeri juga PPh atas dividen dari luar negeri tidak dikenakan sepanjang diinvestasikan di Indonesia. Dalam hal perubahan non-objek atas PPh ada dua soal perihal bagian laba atau Sisa Hasil Usaha koperasi juga dana haji yang dikelola BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji) yang berasal dari kegiatan investasinya. Ada juga banyak persoalan lain dalam hal yan sama seperti penyesuaian tarif PPh 26 atas penghasilan bunga maupun penyertaan modal dalam bentuk aset (Inbreng) tidak terutang PPN

Beberapa perubahan, diakui Ichwan dapat menjadi kanal kepastian hukum. Dalam hal SKPKB?SKPKBT misalnya. Ketentuan saat ini diatur tidak akan diterbitkan lagi terhadap pidana pajak yang dilakukan oleh WP yang telah memperoleh putusan pengadilan (Pasal 13 ayat (5) dan Pasal 15 ayat (4) UU KUP). “Aturan sebelumnya SKPKB/SKPBT diterbitkan lagi jika  di atas 5 tahun dan WP dipidana karena tindak pidana perpajakan yang mengakibatkan kerugian negara,” paparnya.

Ada beberapa perbandingan antara aturan lama dan aturan baru dalam UU Cipta Kerja yang menurut Ichwan mampu menaikkan kepastian hukum. Selain itu ia juga menunjukan beberapa perbandingan yang menurutnya juga mampu menciptakan keadilan iklim berusaha. Seperti dalam faktur pajak di mana identitas pembeli yang tercantum dalam Faktur Pajak (FP) jika tidak memiliki NPWP adalah Nomor Induk Kependudukan (NIK) selain nama dan alamat pembeli (Pasal 13 ayat (5) huruf (b) UU PPN). Hal semacam ini bertujuan  memberikan kepastian hukum terkait dengan penerbitan Faktur Pajak.

Heru Susetyo

Melompat ke persoalan Hak Asasi Manusia dalam memandang UU Cipta Kerja, seperti membungkus pembahasan UU Cipta Kerja menjadi lebih berimbang. Tak kalah tebal dengan Bhakti, Heru Susetyo membagikan paparannya dalam bentuk materi setebal 44 halaman yang berbicara soal perspektif HAM dalam UU Cipta Kerja.

Diawali dengan pemaparan tentang apa itu HAM, kemudian menelusur tentang pendekatan tentang kepada siapa saja HAM melekat  dan perlu mendapatkan perlindungan. Lektor Kepala di Universitas Indonesia ini mengatakan bahwa kajian HAM sedianya menggunakan pendekatan berbasis hak asasi manusia untuk pembangunan  (HRBA). Pendekatan ini menjelaskan mengenai bagaimana standar dan prinsip hak asasi manusia harus dipraktikkan dalam sebuah program.

“Secara prinsip, Hak Asasi Manusia harus memenuhi unsur-unsur partisipasi, akuntabilitas, non diskriminasi atau kesetaraan, pemberdayaan, dan legalitas hak,” cetus Heru membuka sesinya.

Berangkat dari ini, ayah empat anak dengan Master hukum dari Northwestern Law School-Chicago ini menilai apakah unsur-unsur ini terpenuhi dalam pembentukan hingga penetapan UU Cipta Kerja. Untuk itu, ia mencatat beberapa pemohon Uji Materiil maupun Formiel UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi. Dari para pengaju ini ia menarik beberapa simpulan tentang masih adanya unsur-unsur yang belum terpenuhi dalam hal Hak Asasi Manusia. Ia menampilkan setidaknya beberapa pengaju uij diantaranya Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang melakukan uji materiel, dan Hakimi Irawan Bangkid, dkk yang mengajukan uji formiel. Selain beberapa pengaju lainnya.

Heru mengatakan bahwa dalam UU PPP diatur mengenai proses pembuatan undang-undang yang mencakup 5 (lima) tahapan, yaitu; (i) tahap perencanaan; (ii) tahap penyusunan; (iii) tahap pembahasan; (iv) tahap pengesahan atau penetapan; dan (v) tahap pengundangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UU PPP yang berbunyi: “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.”

“Ada tiga bagian besar permasalahan yang diajukan uji ke MK yaitu pertama terkait hak-hak ketenagakerjaan, kedua terkait perijinan berusaha dan ketiga terkait hak-hak penyandang disabilitas,” simpulnya. Bahkan terkait disabilitas ini sendiri kritik Heru cukup tajam karena menurutnya, “dari pilihan kata saja, UU Cipta Kerja ini masih menggunakan kata cacat yang tak lagi dipergunakan, disharmoni dengan UU nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dan bahkan menghapus Pasal 28 pada UU Bangunan tentang aksesibilitas penyandang disabilitas,” tambahnya lagi.

Selain soal disabilitas, banyak hal lain yang terdampak UU cipta Kerja ini seperti perihal tanah wakaf, sertifikasi halal, dan lain sebagainya. Dalam konteks formiel, Heru mengatakan bahwa ada mispersepsi yang patut diluruskan. Omnibus bukanlah kodifikasi. Pemilik dua Master, dan dua PhD dalam viktimologi dan Hak asasi manusia mengutip I.C. Van Der Vlies. Kodifikasi merupakan penyusunan dan penetapan peraturan dalam suatu kitab UU secara sistematis mengenai suatu bidang hukum yang lebih luas seperti bidang hukum perdata, bidang hukum pidana. Kodifikasi tidak memiliki pretensi dan tujuan untuk mengubah peraturan yang ada. Sedangkan omnibus Law adalah suatu UU yang yang mengandung berbagai macam materi untuk mengubah berbagai UU. Dan Omnibus pun bukanlah sebuah UU Payung yang hadir lebih dahulu dan berkedudukan lebih tinggi dari UU lainnya.

Secara umum, catatan yang disampaikan Heru, sambil mengutip Syafi’ie adalah bahwa tujuan UU Cipta kerja justru menurutnya merupakan jalan Penghilangan semua hal yang menghambat kepentingan investasi, liberalisasi perdagangan, privatisasi BUMN. Dan paling akhir adalah membuka keran secara tanpa batas kepada investasi asing. Belum lagi deregulasi dengan mengurangi peran, tanggung jawab dan intervensi pemerintah.

Selain itu, pengajar tetap di Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini secara khusus menegaskan bahwa UU Cipta Kerja ini memiliki beberapa catat yang perlu diperhatikan pemerintah, masyarakat, dan akademisi. Catatan itu adalah proses pembahasan dan pengesahan berlangsung cepat pada masa pandemik, minimnya partisipasi masyarakat, dan menegasikan masukan dari akademisi dan masyarakat. Barangkali puncak polemik juga karena pengesahan yang dipaksakan dengan draft yang belum final.

Beragam catatan tersebut tidak berarti harus mundur ke belakang, Heru setidaknya mendorong Bhakti dan kawan-kawan di pemerintahan untuk lebih banyak mendengar aspirasi masyarakat dan memperbaiki hal ini ke depannya. Kanal-kanal diskusi sejenis diharapkan mampu menyuplai masukan-masukan berharga yang dengan besar hati dapat diterima Bhakti dan tim dalam pemerintahan untuk menyempurnakan UU ini dan diharapkan bisa mencapai tujuan yang dinyatakan tersebut. (decy widjaya)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *