Feature
Tempat Istimewa Perempuan Luar Biasa
Perempuan bekerja? Apa yang istimewa.
Perempuan Sarjana Hukum? Hal yang biasa.
Barangkali yang tak biasa ketika empat perempuan cantik dan pintar dari satu angkatan lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, berbagi cerita tentang perjalanan mereka yang tak biasa.
Keempat perempuan cantik tak seperti kebanyakan harapan lulusan Fakultas Hukum lainnya, terpaku pada anggapan umum tentang tempat bagi Sarjana Hukum. Galibnya, ada anggapan bahwa Sarjana Hukum akan berujung pada profesi advokat, konsultan hukum dalam perusahaan, Hakim, atau Jaksa. Tentu tak salah memilih jalan itu. Berbakti bisa di jalan mana saja. Tapi, membagi arah pintu untuk ke perjalanan lain adalah istimewa.
Cerita dimulai dari Yasmin Muntaz. Perempuan cantik kelahiran 20 Juli ini wajahnya tak asing bagi pemirsa TV nasional di tahun 90-an. Mengawali dari presenter ANTeve, ia terus melaju dalam karier jurnalistiknya dari satu media ke media lainnya. Kini, ibu tiga anak ini membidani dan memimpin sendiri Production House dan Konsultan Media dengan namanya @yasminmuntaz_production.
Yasmin pernah dinominasikan dalam Panasonic Award tahun 1998 dan 2000 untuk kategori Presenter Berita Terfavorit. Dan berhasil menyabet penghargaan sebagai Repoter Terbaik Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Award tahun 2000 untuk liputan Bom di Rumah Dubes Piliphina. Dan masih sederet penghargaan lainnya.
Membuka sesi pertama dalam webinar hari pertama 30 tahun 90er Fakultas Hukum Universitas Indonesia, almamater dan angkatannya, ia membagikan kiatnya menjadi Jurnalis. Yasmin meyakinkan para peserta webinar untuk terutama mahasiswa fakultas hukum untuk tak segan menetapkan tujuan. Cita-cita meski belajar di Fakultas Hukum tak berarti terikat hanya pada pilihan yang ada. “Strata satu di kampus itu adalah tempat membentuk pemikiran, jadi tidak ada yang namanya salah memilih jurusan,” tegasnya.
Ia sendiri, sejak awal sudah menetapkan tujuannya untuk menggeluti dunia jurnalistik. Tak heran, ia menampik tawaran untuk berada di posisi Legal Department ANTeve saat itu dan lebih memilih berada di divisi News. Pengalamannya bergulat dengan berita, penulisan dan merepresentasikan membuatnya menjadi jurnalis yang tangguh.
Ia meminta para peminat dunia jurnalistik untuk memperhatikan beberapa hal sebelum menjadi jurnalis. “Sebelum menjadi jurnalis, teman-teman harus mau belajar bidang ilmu baru dan rajin mengikuti pelatihan di bidang jurnalistik,” paparnya. Para calon jurnalis juga harus menyiapkan mental untuk bekerja 24/7. Dan tentu saja rajin mengasah kemampuan menulis, terutama dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar. “Dan yang terpenting juga, harus mengasah kepercayaan diri.”
Setelah jadi jurnalis tentu tak boleh berpuas diri. Upaya mengembangkan diri harus terus dilakukan dengan banyak membaca/mengikuti perkembangan berita terbaru (berita aktual) termasuk berita berkelanjutan. Jurnalis yang baik juga harus pandai memahami karakter nara sumber dan latar belakang berita yang akan diliput. Termasuk juga menyiapkan mental ketika bertemu nara sumber yang ‘sulit’.
Dan kunci dari tips nya untuk menjadi jurnalis andal adalah dengan selalu bertanya dan bukan sekedar membuat berita dari pertanyaan orang lain. Hal ini juga akan membantu jurnalis untuk banyak tahu. “Kuncinya lebih baik ‘tahu sedikit tapi banyak’, daripada ‘tahu banyak tapi sedikit’,” ungkapnya. Dan ia mewanti-wanti hal sepele namun masih banyak dilakukan jurnalis. Menurut Master Hukum Tata Negara UI ini, jurnalis yang baik tidak menunjukkan preferensi politik secara terbuka, terutama di Media Sosial.
Yasmin tak hanya berkibar dalam dunia jurnalis. Banyak dimahfumi orang, ia satu dari sedikit politisi perempuan di tanah air. Ia pun pada pemilihan legislatif yang lalu ikut serta menjadi calon legisatif dari Partai Amanat Nasional. Keterlibatannya dalam politik seperti juga di dunia jurnalistik dipilihnya secara sadar dan yakin.
“Keterwakilan perempuan di DPR itu masih kurang mendapatkan daya dorong,” tuturnya. Meski menurutnya dalam hal keterwakilan Perempuan di DPR dari sejak 1999 telah mengalami kenaikan dari hanya 9 persen, mampu mencapai 20,5 persen pada pemilu 2019. Semua itu tak lepas dari adanya affirmative action.
Affirmative action ini adalah kebijakan yang diambil dengan tujuan agar kelompok/golongan (gender maupun profesi tertentu) memiliki peluang yang setara dengan kelompok/golongan lainya. Dengan kata lain, kebijakan ini memberikan keistimewaan bagi kaum perempuan, agar bisa setara dengan kaum pria di dunia politik. Dan memang sejak masuknya affirmative action dalam UU No 12 tahun 2003 tren kenaikan keterwakilan perempuan menunjukkan kenaikan berarti.
Daya paksa melalui ini terbaca dalam Pasal 65 ayat (1) UU No 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, bahwa Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan CALON Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan DENGAN MEMPERHATIKAN keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Hal sama pun termuat dalam UU No 7 Tahun 2017 untuk penyelenggaraan pemilu 2019. Keterwakilan Perempuan minimal 30% untuk CALON anggota legislatif (pasal 245) dan dalam setiap 3 calon legislatif terdapat minimal 1 calon perempuan atau Zipper System (pasal 246 ayat 2) .
Meski begitu Yasmin menilai affirmative action ini tidak memadai dalam mendorong keterobatan politik perempuan. “UU Pemilu perlu DIUBAH,” tegasnya. Sebab menurutnya mewajibkan Partai Politik untuk menempatkan 30% perempuan sebagai calon anggota legislatif tak memadai. Sebab calon ini harus berhadapan langsung dengan mekanisme internal dan beribaku di luar dengan kondisi yang tak ramah perempuan. Maka harus ada upaya paksa melalui regulasi agar Partai Politik harus memastikan prosentase tertentu menempatkan perempuan sebagai anggota legislatif alih-alih sebatas calon.
“Jendril” Ratih Amri
Meninggalkan pertanyaan yang perlu menjadi titik tujuan perjuangan para calon penggiat politik perempuan, sesi pun berpindah pada perempuan cantik lain. Ratih Dewi Handajani Amri, akrab dipanggil Ateh atau bahkan Jendril oleh teman seangkatannya di FHUI. Sebab pada masa awal masa perkenalan perkuliahan, ia menjadi ikon angkatannya bersama sang Jendral Temmy Taher mewakili mahasiswa.
Gelar Jendril pantas disandangnya. Tak hanya cantik dan pintar, perempuan satu ini sangat gigih belajar dan berkarya. Tak berpuas diri setelah menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 1995, ia menambahnya dengan gelar sarjana dari Fakultas Bisnis & Ekonomi Univesitas Indonesia (Program Ekstension) pada tahun 1997. Tak butuh waktu lama ia pun mengejar Master di International Business Law dari Universitas Leidend alam kurun 1999-2000.
Seperti kebanyakan lulusan hukum lainnya, di awal masa purna kuliah, Ateh bergabung dengan Kantor Hukum Mochtar, Karuwin, Komar (MKK). Cukup lama dengan menyambi menyelesaikan kuliahnya, dan di sela kesempatan bergabung dengan program internship pada kantor konsultan hukum, Clifford Chance di Amsterdam selama 12 bulan. Ateh akhirnya menemukan pelabuhan minat dengan bergabung bersama PT Vale Indonesia Tbk, yang mendapuknya menjadi Director of Legal and Corporate Secretary. Tak tanggung-tanggung dua jabatan tersebut memaksanya membangun divisi dengan kerja berat.
Semua kerja yang ditekuni dari Vale ini kian membentuknya menjadi seorang ahli hukum yang memahami banyak tentang dunia Tambang, Mineral, dan Batu bara (Minerba). Kapasitasnya bukan diperoleh begitu saja, ia telah melewati perjalanan panjang di Vale ini selama 13 tahun sebelum ia tinggalkan dan berpindah ke tempat baru. Terhitung November 2018, ia dipercaya menjadi Senior Vice President Mining and Minerals Industry Institute (MMII) PT Inalum (Persero) – Mining Industry Indonesia (MIND ID).
Kebijakan dalam industri tambang menurut Ateh selalu berhadapan dengan persoalan bagaimana mengelola sumber daya alam yang terbatas dan tak terbarukan dengan bijak. Segala keputusan yang diikuti kegiatan harus dipelajari dengan baik. Memahami proses dan akibat dari kebijakan yang ada dan membangun kerangka yang tepat agar kebijakan-kebijakan yang di bidang tambang tak merugikan bangsa dan negara.
Dalam kerangka Mining and Minerals Industry Institute (MMII) PT Inalum (Persero) – Mining Industry Indonesia (MIND ID), ia membawahi salah satu divisi di dalam organisasi tersebut yaitu Mining and Minerel Industri Institute (MMII). Divisi ini bergerak dalam ranah Technical Research and Development, Policy Research, dan Global Platform. Dalam melaksanakan kerjanya MMII ini berkerja sama dengan perusahaan-perusahaan di bawah Mind ID yaitu ANTAM, Bukit Asam, TIMAH, dan INALUM. Belakangan menyusul Vale dan Freeport Indonesia. “Yang menarik, saya keluar dari Vale. Tak berapa lama Vale bergabung ke dalamnya. Jadi seakan Vale mengikuti saya,” selorohnya.
Kajian-kajian teknis berkelindan kerja sama dengan beragam institusi pendidikan ITB, UI, ITS, Uncen, dan lainnya. Dan tak lupa tentu institusi seperi BPPT, Tekmira, NBRI. Sementara dalam konteks policy research atau riset kebijakan, MMII menggandeng Lembaga Pemerintahan dan beragam institusi riset dan pengembangan Internasional. Beberapa yang sudah terjalin dan berjalan diantaranya MIT Energy Initiatives, Canmet, Shanghai Advance Research Institute, Curtin University, Colorado School of Mines dan lainnya.
Meski baru bergabung akhir 2018, dalam dua tahun ini, Ateh memberi gambaran luasan masalah dan beragam faktor yang mempengaruhi dan membentuk kerangka regulasi dalam pembangunan di masa depan maupun keandalan operasional. Kebijakan yang dikaji di antaranya soal white paper of Mining Policy/Academic paper, Rare Earth Element (REE) Policy. Juga hal multiplier effect of mining, minelar based industry, juga soal supply demand balance and policy
Sebagai contoh dalam soal kajian Ekosistem EV Battery, kajian kebijakan salah satunya dilakukan dengan membuat perbandingan kebijakan dalam hal supply side incentives, atau juga dalam demand side incentives di pelbagai negara. Kemudian hasil kajian tersebut MMII dikirim dalam surat Menteri BUMN kepada Kementerian/Lembaga terkait mengenai Usulan Kebijakan Pengembangan Ekosistem EV Battery. Selanjutnya akan dikoordinasikan oleh Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi atau Kepala BKPM.
Saat ini MMID sedang bergiat dalam rencana pengembangan Industri logam tanah Jarang Pengembangan Industri Logam Tanah Jarang (LTJ) berbasis monasit. Di luar itu, MMID pun mendanai riset-riset yang dianggap akan memberikan kontribusi pada kajian kebijakan dalam industri tambang dan mineral. Tahun 2019 lalu, dari 250 periset yang mengajukan proposal telah dipilih 3 periset yang akan didanai MMID di antaranya adalah Dr. Mont. Mohammad zaki Mubarok, Dr. Eng. Januarti Jaya Ekaputri, ST.,MT., juga Sotya Astutiningsing.
Kepercayaan yang sangat besar ini bukan tanpa alasan. Dalam kesempatan sesi 90ers tanggal 28 Desember lalu, tampak ia piawai menjelaskan tentang profesi yang ditekuninya. Ateh memberikan insight tentang kajian kebijakan sebagai hal yang baru, terutama di tambang. Dia menggaris bawahi ini dengan mengatakan,”Policy research itu unik, enggak semua perusahaan ada ini. Baru di BUMN saya yang saya tahu,” pungkasunya. Minat bergabung?
Ester Jusuf
Yang tak bergabung ke tambang dan mineral mungkin boleh menengok kinerja seorang Ester Indahyani Jusuf. Terlahir dengan nama atau Siem Ai Ling. Perempuan kelahiran Malang, 15 Januari 197, lebih kondang sebagai seorang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Indonesia, khususnya dalam bidang anti diskriminasi dan anti rasialisme. Ia dikenal aktif dalam perjuangan dan penegakkan HAM terkait persoalan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
Memulai karier dengan membangun kantor hukum Gunawan, Ester, Hotma, & Partner. Ester kemudian memilih lebih berfokus pada kasus-kasus HAM. Ia bergabung menjadi nggota Dewan Etik Asosiasi Penasehat Hukum dan Pembela HAM Indonesia. Ketekunan dan kesetiaannya di perlindungan ham mengganjarnya dengan apresiasi. Ia berhasil meraih berbagai penghargaan atas aktivitasnya, sebut saja berturut-turut Forum of Human Rights (1999), Majalah Matra (2000), Yap Thiam Hien Award (2001), Asoka Foundation (2003), Majalah Narwastu Pembaruan (2007). Dan yang terakhir adalah penghargaa Elham (2008).
Angkatan 90 FHUI ini menamatkannya pada tahun 1996. Minatnya pada permasalahan sosial mendorongnya lebih tekun mendalami dengan masuk ke FISIP Universitas Indonesia (2014 – 2018). Kian tajam memahami patologi sosial dan menaruh perhatian lebih pada kesehatan masyarakat ia pun mengambil kembali kuliah di FKM Universitas Indonesia sejak 2018.
Di sela kuliah dan kegiatan sosial kemanusiaannya, ia pun kian meneguhkan diri menjadi penggiat di bidang pendidikan khususnya literasi dan hukum untuk masyarakat. Dalam bidang yang ditekuninya dengan senang hati ini membuatnya disibukkan dengan tiga lembaga yang dibangunnya Yayasan Solidaritas Nusa Bangsa, Yayasan Rebung Cendani, dan Media Narasi Tiga Menit (Pendidikan Hukum dan Kemasyarakatan).
Patologi sosial mungkin seperti dekat namun tak begitu dikenal orang. Ilmu yang mempelajari penyakit dan prosesnya terjadinya suatu penyakit, justru tidak menekankan pada pendekatan medik. Ia menjadi bagian daro persoalan komunal ketimbang individual. “Perjalanan saya itu seperti jalan yang memang sudah ditentukan Tuhan,” kisahnya tentang pilihan hidupnya.
Termasuk pilihan yang tampak berjauhan dengan ilmu hukum yang digelutinya di awal, kesehatan masyarakat seolah jauh panggang dari api. “Salah besar, justru Pelanggaran hukum seperti tawuran, prostitusi, persekusi itu sangat berhubungan dengan kesehatan masyarakat,” kilahnya. Ester menguatkan postulasinya itu dengan menyajikan video. Video dalam presentasi yang sayangnya tak utuh tersajikan membuka mata bahwa masyarakat yang sehat, tidak melanggar hukum.
Ester mengajak kita memahami bahwa bahkan penyakit yang nampak individual seperti hipertensi, diabetes, stroke sesungguhnya memiliki hubungan sebab akibat yang sangat erat dengan kebijakan publik. Menarik bukan? Peminat hukum harus lebih banyak menceburkan diri ke dalam dunia sosial dengan pendekatan hukum seperti Ester sehingga kajian kemasyarakatan akan lebih sempurna.
Astrid Wirajuda
Webinar 30 tahun 90ers FHUI ini diakhiri dengan manis oleh Astrid Wirajuda. Astrid dikenal pandai dan tekun semasa kuliah, bahkan kesaksian teman seangkatannya catatan Atid menjadi standar foto kopi materi di masa itu.
Perempuan bersuara lembut ini sejak kuliah bercita-cita berkarir sebagai lawyer di firma hukum bersar hingga dapat menjadi partner. Lulus dengan IP yang membanggakan, ia pun mengawali karir di biro hukum Soemadipradja & Taher Law Firm. Sesungguhnya di sinilah cikal bakal perjalanan yang kini ditekuninya.
Astrid mengenang masa itu, ketika Rahmat Soemadipradja yang penerjemah tersumpah dan Stephen Deen, acap memintanya menerjemahkan aneka perjanjian danperaturan ke dalam bahasa Indonesia atau sebaliknya. Hasil kerjanya akan diperiksa dan dikoreksi dengan sangat rinci terutama istilah hukum yang terpilih. Masa yang sangat menekan itu kini disadarinya adalah ‘kawah chandra di muka’ nya menjadi seorang penerjemah hukum andal.
Berpindah ke Mochtar, Karuwin Komar Law Firm (MKK), yang harus diakhirinya saat ia berangkat meninggalkan Indonesia ke Jepang. Berbarengan dengan suami yang juga studi ke Jepang, Astrid menggondol beasiswa dari ANA mengambil S2 di bidang hukum bisnis internasional di Kyushu University. Kesempatan ini juga memberinya satu setengah tahun belajar bahasa Jepang secara intensif.
“Di Jepang saya menemukan minat tentang kajian public policy pada aspek hukum berdampak luas. Jadi, sederhananya ingin bekerja jangka panjang di law firm dengan gaji besar, tapi dapat memberi manfaat bagi orang banyak,” urainya sambil tersenyum. Ia pun mendapati bahwa dengan belajar di Jepang ia kian membangun kecintaan pada bahasa. Menikmati kesempatan belajar bahasa baru, dan meraih nilai di atas rata-rata dalam bahasa Jepang.
Setelah kelahiran anak ketiga, Astrid menyadari kemampuannya menyeimbangkan prioritas hidupnya mulai tak berimbang. “Apalagi kerja di law firm kan demanding sekali,” keluhnya. Akhirnya, ia memutuskan mengundurkan diri dari MKK.
Sempat gagal pada Ujian Kualifikasi Penerjemah (UKP) untuk menjadi seorang penerjemah tersumpah di tahun 2008, menyentak kesadarannya. “Meski bahasa Indonesia adalah bahasa ibu, Bahasa Indonesia saya ternyata banyak kekurangan,” akunya. Tak putus asa ia kian tekun berlatih, hingga akhirnya UKP dari bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia pun bisa diraihnya.
Ia pun menata ulang perjalanannya. Setelah mengikuti pelatihan, ia pun menjadi guru bahasa asing di Lembaga Bahasa Internasional (LBI) FIB-UI. Tak dinyana, pekerjaan barunya sebagai guru dan penerjemah tersumpah dilewatinya 10 tahun penuh suka cita. Ketika, teman seangkatannya, Tjahjadi Bunjamin, mengajaknya bergabung di Hiswara Bunjamin & Tandjung Law Firm, ia menawarkan diri untuk menjadi penerjemah & proofreader saja. Posisi ini membatasi waktu kerja hanya 4 hari/minggu, sehingga keseimbangan yang diinginkannya tetap terpenuhi. Gayung bersambut, dan kini, hitungan 12 tahun sudah dilewatinya di sana.
Yang patut diperhatikan menurut Astrid, keberlakuan Undang-Undang No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, & Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Salah satu pasalnya mensyaratkan agar semua dokumen berbahasa asing yang ada pihak Indonesianya harus diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. UU ini sontak menjadikan klausul bahasa sebagai suatu klausul yang harus dimuat di dalam kontrak.
Kehadiran UU ini menaikkan tingkat permintaan. Tak heran, bila awalnya ia adalah penerjemah tunggal di HBT, kini ia mempunyai tim penerjemah untuk menghadapi aneka permintaan terjemahan dan review terjemahan. “Yang paling menggembirakan, sebagai anak seorang PNS, pekerjaan saya kini memberi kesempatan membantu negara dengan memberikan pelatihan dan konsultasi kepada para penerjemah fungsional tentang penerjemahan aneka produk hukum.,” tutupnya dengan sumringah. (decy widjaya)