Connect with us

Kolom

Telunjuk Emas Jokowi, Prabowo dan Budiman

Published

on

Presiden Joko Wdodo dan Prabowo/foto: Jay, Humas Setkab

Oleh: Dr. Maruly H. Utama

TUBUHNYA kerempeng, tampangnya ndeso, namanya pun  jauh dari kesan maskulin sebagai pria yang hidup berdampingan dengan generasi XYZ. Secara fisik dia sudah menipu karena penilaian akan penampilan tidak berbanding lurus dengan capaian yang sudah dihasilkannya.

Waktu  memimpin Solo dia seperti Haji Misbach yang menarik perhatian karena kehangatan, keterbukaan dan keramahan serta popularitasnya.

Saat memimpin Jakarta dia berubah menjadi Si Pitung yang memposisikan diri untuk selalu dekat dan membela rakyatnya.

Ketika menjadi Presiden RI, dia menjadi dirinya sendiri. Belum ada sejarahnya presiden negara berkembang bisa membangun demokratisasi sekaligus membangun infrastruktur. Biasanya presiden di negara berkembang jika memprioritaskan pembangunan demokrasi maka pembangunan infrastruktur akan tertinggal, begitu pula sebaliknya. Jika memprioritaskan pembangunan infrastruktur maka pembangunan demokrasi  berjalan lambat.

Dia memang ajaib, mampu menjadikan segala hal yang tidak mungkin menjadi mungkin.

Latar belakangnya bukan aktivis yang terlatih  bekerja di bawah tekanan, bukan juga intelijen yang piawai merumuskan strategi taktik.  Entah belajar dimana,  cara berpikirnya tidak lazim, tapi memang itu yang dibutuhkan rakyat.

Faktanya nilai approval rating Jokowi mencapai 81,9 % pada bulan Juli 2023  berdasarkan survey LSI.

Sosok populis yang berani mengambil keputusan yang tidak populer. Instingnya bekerja, intuitifnya adaptif. Merangkul Prabowo lalu mendidiknya menjadi kader termaju untuk ditempatkan sebagai “orang dalam” yang memiliki peran strategis adalah keputusan yang mengecewakan banyak orang. 

Kekecewaan massal itu dibayar kontan ketika Covid 19. Jika saat pandemi kemarin Prabowo ada di luar pemerintahan sangat mungkin kerja-kerja pemerintah melawan Covid tidak maksimal karena  pemerintah  harus  “kerja lembur”  menghadapi oposan yang pasti menjadikan momentum Covid untuk mendelegitimasi kebijakan.

Di bawah kepemimpinannya Indonesia bersiap tinggal landas untuk menjadi negara maju. Figur Jokowi masih dibutuhkan tapi konstitusi menghalanginya. Dia ingin memastikan bahwa menjadi negara maju adalah keharusan sejarah bagi rakyat Indonesia. Ini adalah fenomena baru karena dalam sejarah  pergantian kepemimpinan, presiden yang akan diganti biasanya terkesan pasrah dan lepas tangan karena merasa tanggung jawabnya sudah selesai. Tapi tidak bagi Jokowi. Dia ingin memastikan  derajat rakyat yang sudah terangkat ini bisa naik lebih tinggi lagi.

Orang bisa mengklaim  Jokowi adalah petugas partai, dijawabnya dengan tindakan yang  menunjukan dia adalah petugas rakyat, tetap independen! Jikapun harus menunduk, itu adalah cara menunduk orang Solo, kota yang banyak melahirkan tokoh pergerakan.

Tidak apa-apa menunduk asalkan tanduk masuk! Approval rating yang mencapai 81,9 % ini menjadi daya tarik  untuk mencuri hati Jokowi, padahal dalam hatinya sudah menetapkan pilihan untuk menunjuk kadernya sendiri.

Kita sedang menghadapi era baru yang banyak mengalami pergeseran dan konflik global. Pandemi, krisis pangan, revolusi digital, dan ketegangan-ketegangan yang  tidak ada kepastian, rumit dan membingungkan. Hanya Persatuan Nasional yang mampu mengkonsolidasikan  kekuatan politik dalam negeri guna menjawab problem global ke depan.

Sudah menjadi rahasia umum jika kepemimpinan berganti pasti ganti kebijakan. Jokowi tidak menginginkan itu. Oleh karenanya dia sedang menunggu waktu yang tepat untuk memberikan tongkat estafeta kepemimpinan pada poros Persatuan Nasional.

AM Hendropriyono, Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikesumo, Budiman Sudjatmiko, dan Yenny Wahid   adalah elemen Persatuan Nasional di luar partai pendukung seperti Gerindra, Golkar, PAN, PBB dan Gelora.

Budiman Dalam Timbangan

Menunggu telunjuk Jokowi mengarah pada Prabowo sebagai kode  memberikan dukungan politik sama saja seperti menunggu keringat keluar dari gigi. Telunjuknya adalah telunjuk emas, tidak mungkin digunakan secara sembrono.

Sekalipun pernah memimpin Kopassus, terlihat Prabowo nampak terlalu berhati-hati dalam merespon situasi, jika tidak ingin disebut ragu-ragu.

Saya mengenal Prabowo sejak tahun 1995, saat itu photo Prabowo yang gagah mengenakan baret merah  menjadi cover majalah Forum dengan judul The Rising Star. Jenderal yang banyak membaca buku sekaligus Jenderal yang berani menerabas aturan-aturan normatif demi kepentingan pasukannya,  cerdas dan berani.

Sayangnya, posisi saya sebagai Ketua SMID Bandung – underbouw PRD menghalanginya untuk mengenal lebih dekat, karena kami berdiri pada kutub yang berlawanan.

Loyalitasnya teruji, dia berani pasang badan untuk membuat keputusan yang kontroversial. Membawa Tim Mawar masuk jajaran Kemenhan, dia memberikan contoh cara berteman yang mengagumkan.

Tetapi sekagum-kagumnya saya terhadap Prabowo, dia tetap tidak bisa menjadi dirinya sendiri, seperti kehilangan rasa percaya diri  dihadapan mentor politiknya: Jokowi.

Prabowo butuh orang yang bisa mengembalikan kepercayaan diri. Lingkar dalam Prabowo sesak dengan orang-orang pintar, penuh dengan intelektual bahkan luber oleh cendikiawan. Tapi semuanya miskin inisiatif. Prabowo butuh orang yang jeli untuk membaca keinginan Jokowi sekaligus menterjemahkannya menjadi tindakan politik agar telunjuk emas yang masih samar itu menjadi terang benderang.

Prabowo adalah orang yang masa mudanya tidak pernah mengalami kegagalan. Sehingga deposito gagalnya masih banyak. Terbukti dalam kontestasi Pilpres sebanyak 3x kalah melulu.

Berbeda dengan Budiman, yang tabungan gagalnya sudah habis sejak usia muda sehingga ke depan tidak pernah menemui kegagalan lagi. Megawati, Hatta Rajasa dan Sandi Uno adalah potret orang yang masa mudanya tidak pernah gagal.

Adalah kekeliruan jika menempatkan Budiman sebagai Menko, karena Menko-ndisikan itu adalah tugas saya. Budiman memang tidak punya uang, tidak ada gadun yang membiayainya. Ini bukan persoalan jika mau belajar dari pengalaman Jokowi ketika awal  masuk Jakarta. Walau tidak punya uang, Budiman tetap memiliki daya tarik yang tidak bisa dimanipulasi.

Survey Bappilu Partai Gerindra yang dirilis tanggal 5 September 2023 menunjukan bahwa relawan Prabu (Prabowo-Budiman) Bersatu yang relatif baru dideklarasi tanggal 18 Agustus 2023 lalu mendapat skor 17,10% dalam variable perbincangan di masyarakat.

Biar gak ribet bacanya: hanya dalam waktu kurang lebih 2 minggu Prabu sudah  mendapat skor tertinggi di antara relawan Prabowo lainnya. Saya ulangi, hanya dalam waktu 2 minggu!

Dalam setiap pertarungan politik sebanyak apapun uang yang dipersiapkan pasti kurang, berapapun uang yang ada pasti cukup. Dan setiap pertarungan pasti menghasilkan oposisi biner, menang atau kalah.

Telunjuk emas  menjadi variable  yang menentukan. Jika ingin mendapatkan itu rasanya tidak ada alternatif lain selain mengupayakan   photo Budiman  tercetak  dikertas suara.

*Dr. Maruly H. Utama

DPP Prabu –  Dewan Pimpinan Pusat Prabowo- Budiman (Prabu) Bersatu