Feature
Tali Pengikat Sapi Jadi Barang Mewah
Jayakarta News – Kalau melihat tali yang dililitkan di hidung sapi kemudian diolah menjadi barang-barang mewah rasanya agak aneh. Ya, tali ari itu sehari-harinya memang dililitkan di hidung sapi oleh para blantik—pedagang sapi—guna menarik sapi-sapi yang diperdagangkan di pasar hewan.
Secara nalar kurang bisa diterima akal, kenapa harus memilih tali itu untuk dijadikan barang-barang seperti tas, dompet, dan lain-lain. Tapi apa yang dilakukan Faiqotul Himmah, ternyata menjadi kenyataan.
Ibu asal Madura ini terinspirasi menggunakannya sebagai barang berharga. Namanya saja pengrajin, Himmah yang berumur 45 tahun ini terinspirasi untuk memanfaatkan sebagai barang kebutuhan yang bisa dikelola dan dijadikan suatu produk.
“Di Madura banyak tali ari karena ada kecenderungan kalau ada pohon gayam di situ ada tanaman tersebut,” katanya kepada Jayakarta News di sela-sela acara Extra Vaganza di Marvell City yang diikuti para pengrajin berbagai daerah, belum lama ini.
Saya terinspirasi itu pada sembilan tahun lalu. Waktu itu sedang belanja di pasar dan melihat ada seekor sapi yang diikat dengan tali ari ditarik oleh yang punya untuk diperdagangkan. “Mata saya tertuju pada tali tersebut, gak tahu ya kok tertarik,” tuturnya sembari menambahkan kalau saja tali itu dibuat untuk bahan dan dijadikan barang lain tentu akan bagus.
Alasan lain dia melihat kalau tali ari itu kelihatan kokoh dan kuat karena untuk menarik binatang sebesar sapi tidak sampai putus. Dengan demikian kalau tali itu dibuat untuk kepentingan barang lain maka bisa diandalkan dan pasti disenangi oleh masyarakat.
Iapun mendatangi pengrajin tali yang membuat untuk alat penarik sapi. Setelah bercakap-cakap maka disepakati kalau pihaknya membeli tali ari tetapi dalam bentuk kecil. “Kalau kecil mudah membentuknya untuk dibuat produk apa yang kita mau,” terangnya.
Sehari-hari Himmah memang dikenal di Madura sebagai pengrajin yang memanfaatkan bahan baku seperti kain perca untuk dirajut menjadi sebuah barang bagus seperti tas dan topi. Selain kain perca juga bahan baku lain seperti enceng gondok, pelepah pisang, kelobit jagung dan lidi kelapa.
“Selain sebagai pengrajin saya juga sering dipanggil dalam suatu acara untuk menularkan ilmu,” kata Himmah yang tinggal di Desa Melajes, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan ini.
Ternyata dengan bahan baku dari tali ari bisnis Himmah semakin dikenal karena banyak yang tertarik akan produk-produknya. Kendati demikian hasil produknya masih dipajang di toko miliknya CV Daun Agel. Bagi mereka yang sudah tahu akan datang ke tokonya dan membeli langsung.
Selain itu produk milik Himmah juga diekspor antara lain ke Jepang, Amerika Serikat, Singapura dan Swiss. Juga dia pernah ikut pameran di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yogayakarta, Batam, Samarinda dan Kendari. Di manca negara juga pernah pameran seperti Istambul, Turki, China, Bangkok dan Argentina.
Tetapi bagi orang-orang manca negara yang tertarik untuk membeli tidak semudah membalik tangan, karena biasanya orang luar negeri datang langsung ke tokonya untuk melihat proses secara langsung.
Kalau mereka datang ke tempat praktek, Himmah harus menjelaskan panjang lebar bagaimana mencari bahan baku sampai cara mengerjakannya. “Orang asing biasanya tanya detil sehingga saya harus siap,” katanya sembari menambahkan kalau semuanya sudah cocok maka terjadi kesepakatan membeli dalam jumlah tertentu dan sesuai permintaan bentuk produknya.
Kalau sudah terjadi tranasaksi awal maka pada berikutnya mereka tinggal kontak untuk pemesanan. Biasanya tidak sampai satu tahun sudah memesan bahkan barang-barang yang dipesan minta ditambah lagi.
Dalam mengerjakan produk-produknya itu ia dibantu oleh tenaga ibu-ibu yang tinggal di sekitar rumahnya. Namun mereka tidak langsung bekerja tetapi diberi kursus kilat bagaimana menganyam, memotong dan lain-lain untuk dibuat sesuai dengan selera masyarakat masa kini.
Produk-produk selama ini dengan bahan tali ari diantaranya adalah dompet, topi, taplak meja, karpet, tas dan lain-lain. Ibu satu anak ini mengaku untuk harga barang yang ia tawarkan bervariasi karena melihat kualitas produk itu sendiri. “Semakin sulit membuatnya maka harganya juga mahal,” akunya. (poedji)