Connect with us

Feature

Rachmawati Soekarno dan Granit Dingin Istana

Published

on

Catatan Reza Indragiri Amriel

Reza Indragiri Amriel

JAYAKARTA NEWS – Dari semua catatan tentang dirinya, buku inilah yang rasanya paling istimewa. Berbeda dengan biografi putra-putri Bung Karno lainnya, buku Rachmawati ini punya psikologi paling otentik sekaligus paling kelam.

Angle-nya sangat berani: lika-liku kehidupan anak dari orang tua kandung yang berpisah lalu menjadi begitu dekat dengan ibu tirinya. Pergulatan batinnya sangat dramatis tanpa ada kesan didramatisasi. Secara jujur Rachmawati mempertontonkan kehidupan kanak-kanaknya yang tidak ‘hip-hip hore-hore’, yang berada di sisi kiri kurva normal, yang sangat bukan Kak Seto-esque.

Jangan berharap ada kisah puja-puji yang di buku lain biasanya disajikan berhalaman-halaman, bahkan dari awal hingga akhir, tentang sosok Bung Karno. Kemasyhuran Bung Karno, di buku ini, hanya mengemuka dalam beberapa alinea singkat. Tersebar di sejumlah halaman yang dapat dihitung dengan jari. Selebihnya, satu-satunya anak yang tinggal bersama Bung Karno ini segera membetot kaki kita untuk kembali merasakan granit Istana yang dingin dan naungan dindingnya yang sepi.

Bagi orang-orang yang sepola pikir dengan Bapak Psikoanalisis, Sigmund Freud, buku ini memuat ilustrasi nyata bahwa tabiat manusia hari ini terjelaskan lewat hikayat hidupnya sejak usia dini. Terus terang, saya yang dulunya acap menyimak perkataan Rachmawati sembari mengernyitkan dahi, justru kemudian jatuh simpati setelah membaca buku ini. Bukan simpati terkait masa lalunya yang tak mungkin dikoreksi, tapi simpati terkait daya lentingnya melalui waktu menuju masa depan.

Buku ini tak lagi dicetak ulang. Namun buku-buku cetakan lamanya (plus mungkin bajakannya) masih tersedia beberapa eksemplar di toko online.

Bagi pegiat perlindungan anak, atau siapa pun yang gemar mengais kenangan masa lampau sembari “berlama-lama di hadapan cermin”, buku ini baik dibaca. Bahwa lantas muncul sekelebatan perasaan depresif, itulah pertanda pembaca sudah berhasil terhipnosis oleh buku ini.

Di hari kepergian Bu Rachma yang tampaknya sepi-sepi saja, saya memilih menghidupkannya dengan membaca ulang buku ini. Jauh dari politisasi, tulus saya katakan: inilah legacy.

Yuk, bacalah. (*)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *