Connect with us

Feature

Pesan Lewat WhatsApp

Published

on

JAYAKARTA NEWS – Rabu (30/6) saya dapat kiriman dua info (foto, dan tulisan berupa pesan/ nasihat) melalui whatsapp dari grup berbeda. Tapi dua info itu ada keterkaitan dalam pikiran saya.

Fakta atas realita yang menyertai pandemi corona virus desease (Covid) 19 kini beritanya makin menjadi-jadi. Pilihan kata atau narasi pemberitaan kiranya bisa mempengaruhi psikologi massa. Bukan lagi apa adanya, tapi nada informasi yang disampaikan itu cenderung bombas: Pageblug gawat, situasi genting, dan kata sejenisnya.

Ya, kita tahu, yang terpapar Covid 19 jumlahnya memang terus melesat. Ini fakta. Kenyataan di banyak rumah sakit sudah penuh pasien. Bahkan ada UGD di Magelang Jawa Tengah yang ditutup karena di dalam masih antre. Kalangan nakes  terus “berteriak”.  Tentu kelelahan juga. Sudah lebih setahun berjibaku melawan pandemi.

Rem darurat akhirnya diinjak lagi. Hari ini pun mulai WFH lagi.

Foto yang di-share di WA itu adalah keluarga yang menjalani isolasi mandiri dua minggu dan sudah dinyatakan sembuh oleh Puskesmas. Foto ini semcam deklarasi. Pengumuman penting bagi masyarakat sekitar, terutama para tetangga, dan orang-orang yang mengenal keluarga itu pernah dinyatakan positif Covid.

Namun yang tak kalah penting, deklarasi itu juga baik bagi yang selesai isoman. Sebab, bukan rahasia lagi, keluarga yang menjalani isoman memang  tidak boleh berhubungan dengan orang lain,  keluarga dan famili. Namun juga dijauhi tetangga. Hanya keluarga dekat yang mau berhubungan terkait membantu keperluan sehari-hari seperti makanan dan obat-obatan, dan memantau kondisi kesehatannya. Atau perwakilan RT/RW guna memastikan tercukupinya kebutuhan karena keluarga penderita juga tidak  lagi leluasa keluar rumah meskipun negatif atau tidak terpapar Covid.

Anggota keluarga lain yang negatif corona tetap dicurigai jika keluar  karena dalam rumah bersangkutan ada yang terpapar. Stigma masyarakat sudah terbangun bahwa penderita corona harus dijauhi. Namun jarak yang dibentangkan oleh sitgma itu menjadi liar, seolah penderita harus benar-benar dijauhi, padahal edukasi cara penularan virus ini sudah sering diberitakan dan masyarakat tentu paham pula. Karena itu, “deklarasi“ semacam yang dilakukan warga Cilebut, Kabupaten Bogor ini bermanfaat bagi keluarga yang sudah sembuh maupun lingkungannya.

Sisi lain dari sikap masyarakat dalam menyikapi penderita inilah yang juga membuat kekhawatiran sendiri terhadap keterpaparan corona. Padahal kekhawatiran, ketakutan, dan kepanikan akan keterpaparan virus corona merupakan ancaman  tersendiri  yang bisa mempengaruhi suasana hati. Sementara suasana hati dan pikiran yang tidak rileks, tidak nyaman, konon juga mempengaruhi daya tahan tubuh.

Di situasi seperti sekarang ini, dimana angka keterpaparan memang terus naik, hal itu bisa mempengaruhi pikiran dan perasaan masyarakat. Karena itu, info lain yang saya terima kemarin seolah sebagai jawaban, atau setidaknya merupakan cara bagaimana kita harus bersikap. Begini bunyinya :

Rekomendasi dari Psikolog:
1. Pisahkan diri anda dari berita tentang Virus, tidak usah cari tahu lagi karena kita sudah tahu.
2. Jangan mencari informasi tambahan di internet, itu akan melemahkan mental anda.
3. Hindari mengirim pesan fatalistik lewat WA, FB, Messenger, IG dll (Sosmed) karena kondisi mental teman anda tidak sama dengan anda, itu bisa membuat mereka depresi.
4. Murottal/ dengarkan musik dengan volume yang menyenangkan.
5. Suasana hati yang positif menambah kekebalan tubuh.
6. Dan yang paling penting kita harus percaya bahwa semua ini akan ada kesudahannya, karena Allah SWT Mahapengasih dan Penyayang.

Beberapa bulan lalu, ketika kita baru memasuki masa new normal, wartawan senior Dahlan Iskan pernah menulis, yang intinya, seperti mempertanyakan, apalagi yang ingin Anda tahu tentang corona? Rasanya sudah banyak yang kita tahu. Kita saatnya beraktivitas seperti dulu dan bersemangat. Tentu saja tetap menjalankan protokol kesehatan.

Kita tahu, dan mungkin paham dan mahfum bahwa suasana hati yang gembira akan mempengaruhi dan meningkatkan daya tahan tubuh. Lantas, mungkin ada yang bertanya, bagaimana bisa  senang gembira jika kondisi ini sudah mengancam persediaan kebutuhan hidup sehari-hari?

Orang yang optimis akan tetap menemukan cara atau jawaban; yakni Berpura-puralah gembira, maka engkau akan tampak gembira. Dan itu cukup menyehatkan bukan? 

Perkataan orang bijak selaras pula dengan hal ini : Jangan kau sibuk mencari kedamaian  dan kebahagiaan, maka kedamaian dan kebahagiaan itu  datang kepadamu. (iswati)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *