Connect with us

Kolom

‘’Nglangut’’ di Pesantren

Published

on

Pondok pesantren Bumi Damai Al Hidayah Batu.

MUDIK saya ke Malang kali ini terasa berbeda. Ada rasa bangga. Bahagia. Tapi juga terharu. Semua bercampur aduk. Saat melihat pesantren Bumi Damai Al Hidayah Batu, yang didirikan kedua orang tua saya.

Kini pesantren itu memiliki tiga asrama. Megah. Dan sudah dilengkapi dengan kehadiran sekolah formal: Madrasah Ibtidaiyah. Setingkat sekolah dasar. Juga Madrasah Tsanawiyah. Setingkat sekolah menengah pertama.

Pesantren juga memiliki satu unit laboratorium peternakan dan perikanan. Berskala kecil. Tapi cukup baik. Bisa digunakan untuk belajar para santri: berternak ayam dan ikan.

Tiba-tiba saja. Pikiran saya ‘’nglangut’’. Membawa saya kembali ke masa lalu: tahun 1977. Saat kedua orang tua saya mendirikan sebuah pesantren kecil itu.

Sudah lebih dari 40 tahun pesantren ini berdiri. Di sinilah Abah dan Ibu, membesarkan lebih dari seribu anak. Delapan anak kandung. Selebihnya anak santri.

Sejak dibangun, pesantren itu memberi prioritas untuk santri dari kalangan keluarga miskin dan yatim piatu. Dari berbagai daerah. Tidak hanya dari Jawa. Dari Maumere, Nusa Tenggara Timur, Sambas dan Sampit, Kalimantan Barat, juga ada.

Santri dari Maumere adalah korban gempa dan tsunami yang terjadi di awal tahun 90-an. Sedangkan santri Sambas dan Sampit merupakan anak-anak korban kerusuhan sektarian yang terjadi tahun 1999.

Boleh dibilang, pesantren kecil itu merupakan saksi bisu anak-anak korban kerusuhan. Dari kanak-kanak sampai menjadi dewasa mereka tinggal dan belajar. Sampai mereka mengerti nilai dan arti perdamaian.

Saat kerusuhan Ambon meletus, Abah sempat hendak mengambil anak-anak keluarga korban. Sayangnya kondisi asrama tidak memungkinkan. Daya tampungnya tidak bisa ditambah lagi.

Begitulah abah dan ibu saya. Keduanya bukan orang yang berkelebihan materi. Tapi kepeduliannya sering mengalahkan logika.

Saya masih ingat. Betapa sulitnya abah dan ibu mendidik dan “ngopeni” santri. Yang kebanyakan masih balita. Dengan keterbatasan tenaga dan biaya.

Saya masih ingat. Bagaimana ibu harus pontang-panting. Utang sana-sini. Untuk menghidupi 60 santri yatim dan miskin. Terlebih setelah pesantren terbakar pada tahun 1983.

Saya masih ingat. Di pesantren ini ibu pernah membuka sebuah toko kelontong. Kecil. Sederhana. Menjual kebutuhan sehari-hari. Hasil usahanya untuk membiayai makan dan biaya sekolah santri.

Toko kelontong itu dibuka tahun 1986. Tapi hanya bertahan empat tahun saja. Tahun 1990 terpaksa tutup.

Saya masih ingat. Dulu. Pesantren itu hanya punya satu unit motor. Butut pula. Itu motor pribadi Abah saya: Yamaha 2 Tak. Buatan tahun 1975. Abah ganti motor baru setelah mendapat warisan dari Mbah. Tahun 1995.

Pada tahun 2005, atau enam tahun setelah pesantren beroperasi, Abah mendapat hadiah. Sebuah mobil Daihatsu Zebra. Mobil bekas. Bukan baru. Buatan tahun 1992.

Hadiah itu berasal dari Pak Imam Kabul. Walikota Batu pertama. Waktu itu. Pak Imam merasa tidak tega. Melihat Abah saya naik motor kemana-mana. Katanya, “Mosok ketuane kyai mursyid sak Jawa Timur gak duwe mobil.”

Kebetulan. Abah saat itu menjadi Rois Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabaroh Annahdliyyah – Idaroh Wustho Jatim. Kebetulan. Hanya sepeda motor lawas itulah yang dimiliki Abah. Saat itu.

Tujuh tahun kemudian. Si Zebra mulai sering rewel. Bolak-balik keluar-masuk bengkel. Biaya operasionalnya jadi boros. Mungkin dia lelah.

Kami, anak-anaknya, sepakat patungan. Membelikan mobil yang lebih baik. Memang bukan mobil baru. Tetapi usianya lebih muda: Suzuki Baleno 2008.

Kebetulan. Kondisi perekonomian kami bertiga sedang bagus-bagusnya. Bisnis saya sebagai kontraktor dan supplier pembangkit listrik tenaga surya mulai menuai hasil.

Mas Udin, kakak saya, yang PNS di Bappenas juga bisa membantu. Walau sedikit. Kakak saya ini PNS yang jujur dan ‘’keras kepala’’. Saya pernah kasih tahu caranya mencari duit memanfaatkan jabatannya. Dijamin aman. Dan tidak masuk kategori korupsi. Tapi tidak pernah mau. Ya sudahlah.

Umi Hanik, adik saya, karirnya sebagai tenaga ahli di lembaga ekonomi dan keuangan internasional, sedang menanjak. Income-nya tentu saja juga lumayan.

Bayangan abah sekelebatan mendadak menyadarkan saya. Dari ingatan masa lalu. Abah yang tak pernah mau berdiam diri. Selalu bersemangat. Dengan berbagai kesibukan. Hingga usianya sekarang: 76 tahun.

Beberapa bulan lalu, kami baru saja melakukan ‘’kudeta’’. Memaksa Abah berhenti dari jabatannya: Rois Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabaroh Annahdliyyah – Idaroh Wustho Jatim. Agar lebih banyak berada di pesantren. Mengingat usianya. Juga agar ada regenerasi. Kepada yang lebih muda.

Tapi dasar abah tak mau berpangku tangan. Setelah tidak menjadi Rois JATMAN Jatim, abah punya kesibukan baru. Membuka warung makan ‘’Aswaja’’. Lokasinya di gugusan ‘’kafe payung’’. Di pinggir Jalan Raya Batu – Pujon.

Menu andalannya: nasi rawon khas Bibis Surabaya. Ini rawon dengan resep warisan nenek moyang. Resep rahasia ibu saya yang – insya Allah – sedap. .

Kata abah: buka warung makan itu bukan untuk mencari kesibukan. Tapi mencari terobosan. Untuk membiayai Pendidikan santri miskin dan yatim piatu. Yang kian banyak jumlahnya.

Apalagi, pendapatan dari toko kelontong yang dibuka lagi tahun 2000 itu semakin kecil. Sejak minimarket kian menjamur.

Mengelola warung makan ternyata tidak gampang. Bahkan lebih banyak ceritanya yang menyedihkan. Misalnya, seminggu pertama hanya laku dua porsi. Omsetnya Rp 40 ribu. Jangankan untung. Impas pun masih belum. Komentar abah: alhamdulillah.

Pada minggu kedua, situasi membaik. Ada rombongan yang makan di sana. Omset meningkat 500 persen: Rp 250 ribu. Masih belum untung. Tapi abah sudah sangat terhibur. Katanya: alhamdulillah.

Memasuki minggu ketiga, omzet warung menjadi nol rupiah. Maklum. Sudah memasuki bulan puasa Ramadan. Warung tutup sementara. Tapi uang sewa lokasi Rp 1,5 juta per bulan tetap harus dibayar. Ya sudah. Saya yang bertanggung jawab membayar uang sewa bulanan itu. Sampai benar-benar bagus omsetnya.

Begitulah abah dan ibu saya. Tak pernah berhenti berkarya. Agar bisa mencukupi kebutuhan anak-anak yatim di pesantrennya. Yang saat ini berjumlah 220 santri.

Alhamdulillah. Saya bersyukur. Bisa melihat kedua orang tua saya: sehat dan bahagia. ***

Penulis: T Rahman
Editor: Joko Intarto

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Advertisement