Kabar
Salah Alamat Cari Surga Pilih Jalan Teroris
JAYAKARTA NEWS – Keterlibatan beberapa orang usia melinial dalam tindak pidana terorisme lebih diakibatkan oleh kedangkalan mereka dalam memahami agama Islam, sehingga mudah terpengaruhi paham radikal baik yang dicekkan langsung oleh anggota jaringan teroris maupun melalui media internet (media sosial).
Kedangkalan dala pemahaman agama tersebut, membuat sejumkah pemuda dan pemudi dengan mudahnya dicekoki oleh kelompok terorisme, sehingga nekat melakukan aksi terorisme dengan aksi bom bunuh diri, serangan menggunakan senjata maupun aksi lone wolf. Diiming-imingi pasti dapat surga, pelaku aksi terorisme percaya. Padahal, yang bisa menjamin seseorang mendapat surga hanya Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
“Tidak perlu jadi teroris, cukup piara kucing yang telantar juga dapat masuk surga,” kata pengamat politik Adi Prayitno. Sebagai akdemisi yang mengenyam pendidikan di pesantren, Adi yang berbicara dalam diskusi bertajuk “Indonesia di Tengah Tantangan Terorisme”, Sabtu 10 April 2021 di D’Hotel, Jakarta Selatan tersebut mengitir apa yang dikatakan oleh kyai yang mengajarnya di pesantren.
“Tidak satu pun say temukan di kitab-kitab kuning yang mengajarkan bahwa membunuh orang dengan aksi terorisme itu menjadin pelakunya masuk surga. Piara kucing saja cukup, tidak usah jadi teroris,” ujarnya.
Apresiasi Pepres RAN-PE
Dalam kesempatan yang sama Wakil Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputro mengungkapkan penghargaannya atas terbitnya Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN-PE). Dia menilai, dengan adanya regulasi tersebut upaya Indonesia dalam menanggulangi ekstremisme dan terorisme akan lebih optimal.
“Sebuah progres yang patut diapresiasi,” ujar Ardi dalam diskusi yang dilakukan olej Perhimpunan Pendidikan Pancasila untuk Demokrasi tersebut. Meningkatnya penangkapan teduga teroris berikut anggota jaringan mereka, memberi sinyal akan adanya kemanfaatan atas kehadir Perpres RAN PE. Apa yang dilakukan pemerintah menurut Ardi, sudah tepat.
“Penangkapan terorisme tahun ini cukup gencar. Penangkapan-penangkapan ini terjadi sejak pemerintah terbitkan Perpres Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional dan Penanggulangan Ekstrimisme (RAN-PE),” tuturnya.
“Negara ingin clear dan tegas menyasar target yang jelas, sehingga judul dan definisi Pepresnya panjang. Perpres ini sebagai upaya mengkoordinasikan dan membangun kerja kolektif antara pemangku kepentingan di Indonesia, niatnya sudah bagus,” kata Ardi.
Meski begitu, Imparsial menyarankan agar Perpres tersebut diperjelas. Sebab sasaran dari Perpres dinilai terlalu luas. “Tapi secara umum RAN PE menyasar semua bentuk dimensi terorisme yang perlu dirinci pemangku kepentingan,” tandasnya.
Adi Prayitno juga mendukung keberadaan Perpres RAN PE. Perpres itu diharapkan menjadi awal dari pembenahan penanganan persoalan terorisme di RI secara lebih serius. “Pentingnya Perpres RAN PE meski baru tiga bulan dan dikritisi banyak orang, tapi ini harus disemangati dan didukung. RAN PE harus jadi trigger, persoalan terorisme jadi persoalan kita semua,” ujarnya.
“Anti terorisme harus menjadi kurikulum di sekolah, itu penting. Ini nyata tampak, tidak laten karenanya sekolah-sekolah wajib menjadikan ekstrimisme sebagai pendidikan sehingga orang paham bagaimana mengantisipasinya. Perlawanan terorisme itu harus terintegrasi mulai dari pelajaran dimasukkan ke sekolah-sekolah, ormas, partai politik,” sambung Adi.
Akademisi dari President University, Muhammad AS Hikam menilai radikalisme dan terorisme merupakan persoalan serius bagi bangsa. Karena itu, upaya mengatasinya juga diharapkan secara sungguh-sungguh.
“Ancaman strategis nasional yang terutama adalah masalah radikalisme dan terorisme, bisa dianggap sebagai fenomena domestik dan transnasional, lalu separatis, terorisme lalu nyata dan hadir bukan sesuatu yang dianggap sebagai teori konspirasi global,” papar dia.
Pengamat Terorisme, Noor Huda Ismail menambahkan terorisme muncul karena masyarakat dan masalah sosial. Sebagai solusi, ia pun menyarankan agar mantan narapidana kasus terorisme (napiter) dikembalikan ke masyarakat. “(Eks napiter) harus dikembalikan ke masyarakat kecuali yang mendapatkan hukuman mati atau seumur hidup,” tandasnya. [sm]