Connect with us

Kabar

Radikalisme Masih Jadi Masalah

Published

on

JAYAKARTA NEWS— Gangguan atau ancaman terbesar bangsa Indonesia saat ini adalah radikalisasi atau ekstrimisme dan intoleransi. Demikian dikemukakan  Muhammad Suaib Tahir, Staf Ahli  Satgas Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Hal itu disampaikan Tahir dalam webinar memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-93, Kamis malam (28/10). Webinar ini  berlangsung atas kerja sama Univesitas Muslim Indonesia (UMI) Makasar dan Institut Leimena Jakarta. Topik webinar;  Moderasi Beragama dan Toleransi Keberagaman Melalui Pesantren Mahasiswa : Membangun Kebangsaan dan Kemanusiaan Melalui Literasi Keagamaan Lintas Budaya.

UMI adalah perguruan tinggi tertua,  terakreditasi A  dan merupakan perguruan tinggi terbesar di  Indonesia Timur. Meski berafiliasi Islam, UMI  menerima mahasiswa nonmuslim untuk menimba ilmu di sini sesuai fakultas yang diminati.

Sementara Institut Leimena adalah  lembaga yang mengembangkan peradaban Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan peradaban dunia yang menjunjung tinggi harkat manusia melalui kerjasama dalam masyarakat yang religius.

Suaib Tahir lebih lanjut mengatakan, soal  terorisme, radikalisme atau intoleransi,  memang  merupakan permasalahan kita. Namun, menurutnya, penanganan terorisme “tidak terlalu masalah”  bagi kita karena sudah ada undang-undangnya  (UU No 8 Tahun 2018  tentang  Terorisme).  Terorisme ini sudah ada pihak yang mengurusi yaitu Densus 88. Itu tugas mereka bagaimana mengantisipasi atau mencegah terjadinya aksi-aksi terorisme.

Di  Indonesia sampai saat ini terdapat sekitar 1300 teroris yang sudah  ditahan di berbagai lapas di Indonesia. Semuanya ditangani oleh Densus 88 dan BNPT. Artinya masalah terorisme itu sudah ada pihak yang menangani dan UU tentang pencegahan terorisme juga sudah ada.

Akan tetapi yang jadi masalah  adalah radikalisme dan intoleransi,  karena ini  terkait dengan paham, keyakinan dan belum ada undang-undangnya. Oleh karena itu masalah ini harus dihadapai dengan narasi-narasi, atau ideologi-ideologi atau paham dengan paham.

“Masalah  radikalisme, ekstrimisme, dan intoleransi adalah tanggung jawab semua pihak. Kita semua. Seluruh masyarakat harus ikut bertanggung jawab mencegah paham-paham ini, “ ujar Tahir menandaskan.

Ia lalu membeberkan hasil survei yang  dilakukan sebuah LSM di Indonesia. Hasilnya  memang cukup mengejutkan. Karena, tidak hanya  mahasiswa, santri, maupun  pelajar, namun PNS  (Pegawai Negeri Sipil) juga  banyak yang terpapar paham  ekstrimisme.

Berdasar hasil penelitian tahun 2018,  ada 19 persen PNS yang tidak setuju dengan Pancasila. Ini merupakan satu tantangan bagi kita karena mereka itu bekerja pada negara. Lalu, ada 36 % mahasiswa yang setuju dengan khilafah. Lalu ada lagi guru-guru yang beropini intoleransi. Ini semua hasil survei yang dilakukan tahun 2018. Sampai kini masih banyak peneitian yang dilakukan berbagai kelompok yang menunjukkan tren ke arah ekstremisme dan radikalisme masih besar.

Berbicara soal moderasi beragama ada beberapa isu yang selalu diangkat kelompok radikalisme/ekstrimisme ini. Pertama masala-masalah yang terkait dengan iman. Padahal kalau kita mengkaji di sejarah hal ini sudah tuntas. Akan tetapi hal ini masih diangkat kembali, masih diperdebatkan. “Mereka menilai bahwa kita ini imannya kurang sempurna atau harus bersahadat lagi, “ kata Tahir.

Diceritakan pula, beberapa hari lalu pihaknya berdiskusi  di MUI. Di sana  hadir pula Densus 88, ada BAIS dan beberapa lembaga pendidikan. Kita mengupayakan bagaimana agar  MUI,  baik di pusat maupun di provinsi  dalam bernarasi yang moderat untuk  melawan narasi-narasi yang  dikembangkan kelompok radikal khususnya di media sosial,  seperti lewat facebook, dan lain-lain.

Selain itu masalah khilafah itu masih terus diangkat oleh kelompok ekstrimis. Kami juga mengamanatkan dan  meminta kepada MUI, misalnya  dengan suatu fatwa.  Kita ini sudah melakukan konsensus, dan sudah sepakat dalam bernegara  berdasarkan Pancasila dan UUD 45  sebagai konsitusi kita. Sehingga bagi yang melanggar hukumnya  haram, seperti yang dilakukan kelompok HTI  yang  selalu mengusung paham khilafah.

Ini sebuah upaya. Bagaimana hukumnya mendirikan sebuah negara (khilafah) dalam negara. Sedangkan kita, Indonesia ini sudah sepakat bahwa Pancasila dan UUD 45 merupakan falsafah dan konsitusi negara kita Indonesia.

Selain itu, kata Tahir, masalah takfiri juga masih dominan di kalangan mereka. Di  lapas-lapas, masih kita saksikan bahwa itu masih menjadi ideologi dan pemikian-pemikiran mereka.

Menurut Tahir, ranah  sosial media juga  mendorong munculnya ekstrimisme/radikalisme di kalangan anak muda. Lalu adanya fanatisme agama yang mendorong munculnya intoleransi di kalangan masyarakat.Indikasi itu bisa dilihat ketika pihaknya menguji mahasiswa, pegawai, atau pejabat yang hendak ke luar negeri, tenyata banyak dari mereka yang terpapar ideologi radikal tsb.

Dalam moderasi beragama ini sangat penting, bagaimana kita menjelaskan kepada masyarakat  bahwa karakteristik moderasi beragama itu adalah inklusif bukan ekslusif. Selama ini kelompok yang kita anggap radikal atau ekstrim itu sangat eksklusif. Mereka menganggap orang  lain itu bukan bagian dari mereka.

Perlu dijelaskan bahwa Islam yang moderat itu Islam yang integratif bukan sergegatif.  Mereka yang radikat itu cenderung memecah belah antara satu dengan yang lain.

Mereka mendoktrin agar seseorang atau  kelompok  memusuhi orang lain atau kelompok lain.  Dan ciri lain dari radikalisme atau ekstrimisme itu memproduksi hoax di medsos. Mereka ingin memecah belah umat atau bangsa Indonesia ini. Karakteristik mereka ingin mencipakan situasi yang  tidak normal, supaya  terjadi kekacauan sehingga   mereka bisa melakukan apa yang mereka mau.

Pembicara lain dalam topik  Moderasi Beragama dan Toleransi Keberagaman ini disampaikan pula oleh Prof Dr Ir H Muh. Hattah Fattah, Wakil Rektor V Bidang Kerjasama dan Promosi UMI, dan Dr Chris Seiple peneliti senior dari Universitas Washington.

Toleransi

Sebelumnya Rektor UMI Prof Dr H Basri Modding dalam sambutannya mengatakan,  kita harus bisa mewujudkan ketentraman dan kedamaian dalam kehidupan keagamaan,  serta  mewujudkan kesejahteraan umat beragama. Selain moderasi beragama ada pula toleransi beragama yang harus diimplentasikan dalam kehidupan keseharian kita.

Toleransi yang dimaksud,  kata Rektor,  tidak boleh mengejek masyarakat yang bebeda agama,  tidak ikut campur urusan agama orang lain. Kita tidak memaksakan orang lain untuk menganut agama kita. Inilah toleransi beragama. Kemudian membiarkan masyarakat yang berbeda agama beribadah dengan tenang. Tidak boleh diganggu.

Kita harus selalu rukun dan harmonis, serta saling menolong walaupun berbeda agama. Kita harus berteman dengan siapa saja walau berbeda agama. Inilah nilai-nilai toleransi keberagamaan yang perlu diimplentasikan kepada seluruh masyarakat. Dan selanjutnya kita  bentengi dengan jiwa Sumpah Pemuda tadi, bertanah air satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, dan berbahasa satu bahasa Indonesia.

Sementara Direktur Eksekutif Institut Leimena Matius Ho, MS , antara lain menegaskan, dalam membangun literasi keagamaan lintas budaya  jangan  mencurigai agama  sebagai sumber konflik atau benturan peradaban tetapi justru menghormati agama-agama yang ketika dipahami dan diamalkan dengan benar merupakan sumber-sumber nilai perdamaian dan kemajuan bagi umat manusia.

Namun, dalam masyarakat yang majemuk dan makin terkait ini apalagi dengan teknologi virtual yang semakin maju,  kita harus meneladani anak-anak muda 1928  ( Mereka  berbeda suku, agama dan bahasa namun  bersatu mengikrarkan Sumpah Pemuda)  dalam mengembangkan kemauan dan kemampuan membangun relasi, komunikasi, kolaborasi dengan yang berbeda suku dan agama untuk mencari titik-titik temu dalam masalah kebangsaan dan kemanusiaan.  iswati

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *