Connect with us

Feature

Pesona Ecoprint “Semilir”: Sinergi Pemberdayaan, Ramah Lingkungan dan Cuan

Published

on

JAYAKARTA NEWS— Pagi itu, Senin awal pekan di bulan Desember yang basah, suasana di Perumahan Griya Asri Pratama tampak lengang. Tak terlihat ada penghuni yang sedang berada di halaman atau jalanan.  Perumahan di Kampung Balong, Desa Donoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, DIY  ini hanya memiliki satu jalan panjang dengan sejumlah kurang dari 30-an rumah yang saling berhadapan.  Rumah Alvira Oktaviani, pengrajin Ecoprint,  berada di paling ujung, paling jauh jaraknya dari gapura pintu masuk.     

Rumah yang berada di Blok  A-17 itu seperti lazimnya rumah tinggal biasa.  Yang menjadi tidak lazim adalah saat pintu ruang tamunya dibuka. Siapa saja yang memasukinya spontan dibuat ternganga.  Ruang tamu berukuran 2,5 x 2,5 meter itu memancarkan keindahan pada indera penglihatan siapa saja yang memandangnya.  Tempat itu menjadi ruang pamer hasil kerajinan Ecoprint.  Motif bebungaan dan dedaunan ala Ecoprint di atas kain dan kulit Lantung memenuhi seluruh ruangan, sempurna memancarkan pesona.

Ecoprint adalah seni mencetak dan mewarnai kain secara alami dan sederhana yang menghasilkan motif unik, otentik sekaligus eksklusif.  Pewarna yang digunakan berasal dari tetumbuhan, baik berupa  dedaunan, bebungaan, biji-bijian, akar-akaran bisa juga rerumputan.  Paduan serat  dan pewarna alami ini menjadikan kerajinan Ecoprint sebagai produk ramah lingkungan.       

1. Alvira Oktaviani bersama Ecoprint bunga dan daun Air Mata Pengantin

Alvira Oktaviani tak ingin berkembang sendiri.  Ia memberdayakan ibu-ibu di sekitar tempat tinggalnya untuk bergabung.  Lewat Ecoprint,  Alvira bersama para pengrajin binaannya meraih cuan. “Saat pandemi Covid usaha kami menurun jauh,  kini kami mulai bangkit kembali,” kata Alvira, demikian ia disapa.  Alvira baru saja pulang dari pameran di Jakarta beberapa hari lalu. Itu eksposisi pertamanya setelah PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) tak lagi ketat.

Alvira menyabet penghargaan dari PT Astra International Tbk dalam ajang Satu Indonesia Award (SIA) tahun 2022, di bidang kewirausahaan. Pesona Ecoprint yang ia padu dengan serat  Lantung membuat Dewan Juri sepakat memilih wanita kelahiran 1992 ini  sebagai pemenang. “Saya tidak menyangka,” katanya tersenyum bangga.      

Jam Terbang

Tahun 2017 adalah tonggak waktu Alvira tertarik berbisnis Ecoprint.  Sarjana S1 Farmasi lulusan Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta ini mulai mempelajari seni mencetak kain alami itu saat masih tinggal di Bantul.  Kala itu ada pengrajin Ecoprint yang disapa Bu Lis membuka kelas untuk mewadahi siapa saja yang berniat belajar mencetak kain dengan  pewarna dari rupa-rupa daun dan bunga segar.   Alvira pun bergabung. 

Tak lama ia mempelajarinya, sebab ilmu ini sangat mudah dikuasai.  Menurutnya, yang paling penting adalah ketekunan untuk terus mencoba dan mencoba. Baik mencoba rupa-rupa serat, aneka pewarna alami, juga memadupadankan aneka bagian tetumbuhan  dalam selembar kain yang luas. 

“Jam terbang sangat menentukan hasil,” tutur Alvira.  Karenanya, ia rajin mengasah kemampuan dengan memperbanyak praktek.  Lewat ketekunannya itu Alvira menjadi paham pada karakteristik kain, dedaunan dan bebungaan yang cocok sebagai pawarna sekaligus menghasilkan motif. Alvira bercerita, para pemula yang pertama kali membuat Ecoprint,  pasti membutuhkan waktu lama pada saat menyusun daun atau bunga di atas kain.  Lamanya waktu yang dibutuhkan itu akan terpangkas menjadi lebih pendek  seiring dengan bertambahnya jam terbang.     

Contoh pewarnaan serat alam oleh “Semilir”

Lama kelamaan,  Alvira mengenal betul karakteristik pewarna alami juga kian paham pada sifat kain.  Awalnya Ibu satu anak ini menggunakan kain Primisima.  “Kain itu bisa digunakan, namun hasilnya agak kurang,” katanya.  Dari pengalaman ini, Alvira mencari kain serat alami yang mampu menyerap warna dengan lebih sempurna.  Ketemulah kain Tencel. 

“Ini kain serat alami produk Lakumas, perusahaan lokal yang berada di Jawa Tengah,” imbuhnya.  Ia pun mendatangkan kain langsung dari pabriknya  untuk menghindari barang tiruan.  Lakumas memberikan garansi dan sertifikat bahwa Tencel produksinya merupakan serat alami.

Alvira menceritakan, bahan dari serat alami ideal  menyerap warna.  Berdasarkan asalnya, serat alami dibagi menjadi dua.  Serat alami protein berasal dari ulat sutra dan serat alami selulosa berasal dari tumbuhan seperti rami atau kapas. Harga kain serat sutra mencapai sekitar Rp 100 ribu per yard, sementara harga serat selulosa ada di kisaran Rp 50 ribu per meter.             

Ecoprint kerajinan serat Lantung. Produk unggulan “Semilir”

Kendati saat ini Alvira telah menguasai segala hal ihwal soal Ecoprint,  namun tetap saja ada perasaan berdebar-debar saat akan  melihat hasilnya. “Setiap kali membuka gulungan, saya deg degan, bagaimana nanti hasilnya,” imbuhnya. Harap-harap cemas seperti ini tak bisa pernah sirna, sebab teknik pewarnaan seperti itu tak bisa diduplikasi sama persis.  Dan dalam satu kali proses, berhasil atau gagal baru diketahui saat gulungan dibuka.

“Kain yang menurut kami gagal, akan kami gunakan untuk paking produk,” jelas Alvira.  Ia menunjukkan sebuah kantong berisi tas Ecoprint.  Kantong itu bermotif daun jati berwarna ungu.  “Begini salah satu  paking produk kami yang terbuat dari produk gagal,” imbuhnya.  Menurutnya gagal itu terjadi jika warna tidak keluar atau tidak tercetak sempurna.  Kriteria gagal model itu sepertinya hanya dipahami oleh si pembuat.  Sebab, menurut ceritanya dalam banyak kasus, ada pelanggan yang senang dengan motif samar samar seperti itu. 

“Semilir” dan Hoki

Tahun 2018 Alvira mulai memiliki brand sendiri untuk usaha kerajinan Ecoprint yang  siap menjadi pilar ekonominya.  Ia memilih nama “Semilir”.  Semilir  adalah kosa kata bahasa Jawa yang  berarti angin sejuk atau sepoi-sepoi. 

“Ceritanya, ketika berburu daun atau bunga liar, di banyak tempat saya merasakan angin sejuk yang menerpa tubuh dengan lembut.  Orang Jawa menyebutnya angin semilir.  Saya tertarik  mengambil kata semilir ini untuk brand saya,” jelasnya panjang lebar.  Harapannya, bisnisnya itu bisa memberikan kesejukan kepada siapa saja.  

Masih di tahun 2018, Alvira beserta keluarganya memutuskan untuk pindah ke rumah pribadi di Dusun Balong, Donoharjo, Ngaglik, Sleman.  Pilihannya jatuh ke Perumahan Griya Asri Pratama.  Di tempat tinggal barunya ini, hoki demi hoki berpihak pada Alvira.  Awalnya, info soal usaha Ecoprint miliknya  itu sampai ke Kintoko, mantan dosennya yang mendalami obat-obatan herbal. 

“Pak Kintoko datang ke seni bersama Bu Ida dari Disperindag DIY” ucapnya.  Kedatangan kedua tamunya itu untuk melihat dan memastikan usaha Ecoprint yang dijalankannya.  Menurut Alvira, usaha Ecoprint itu seiring dengan kegiatan mantan dosen yang pernah mengajarnya di Fakultas Farmasi UAD, yakni di bidang obat-obatan herbal.  Lewat keduanya, Alvira mendapatkan kesempatan untuk bekerjasama membuka pasar serta mengikuti berbagai ajang pameran.

Pada tahun 2018  itu pula Alvira mendaftarkan merek “Semilir” sebagai Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) miliknya. Pendaftaran merek ke Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) itu penting demi mendapatkan perlindungan legal formal terhadap merek dagangnya.  Perjalanan usaha Alvira kian mantap.

Mujur selanjutnya didapat Alvira di lingkungan rumah barunya  saat ada kegiatan mahasiswa KKN (Kuliah Kerja Nyata) di pedukuhan setempat. “Pada kesempatan ini, saya baru mengetahui apa itu sustainable development dan juga sociopreneur dari para mahasiswa,” papar Alvira.  Dua kata itu, menurutnya,  pas dengan usaha Ecoprint yang ia geluti.

Ecoprint ramah lingkungan sejalan dengan semangat berkelanjutan.  Sementara sosciopreneur akan ia wujudkan dengan cara mengajak ibu-ibu di perumahan tempat tinggalnya untuk ikut membuat Ecoprint. Keputusan ini  diambil  untuk memenuhi pasar yang telah ia rintis, entah itu lewat pameran, berbagai kerjasama  atau pun media sosial.  Setelah mumpuni, ibu-ibu tetangganya itu akan diajak berkolaborasi untuk menerima order yang sudah ia duga tak akan mampu ia kerjakan sendiri.     

Program pemberdayaan itu ia mulai pada saat acara arisan.  Kala itu Alvira membawa hasil kerajinan Ecoprint.  Gayung bersambut. Sejumlah sepuluh ibu tertarik untuk belajar Ecoprint. Para wanita yang tinggal seperumahan itu dengan semangat empat lima bangkit bersama untuk mengisi hari-hari mereka yang selama ini dipenuhi jam kosong setelah  tugas rutin rumah tangga seperti memasak, antar jemput anak  dan kegiatan rumah tangga lainnya rampung dikerjakan. 

Tak sulit bagi para ibu itu untuk belajar Ecoprint.  Awalnya, kain  dicuci untuk menghilangkan bahan kimia.  Selanjutnya, dalam tempo semalam, kain direndam larutan mordan.  Langkah ini penting untuk memperbesar daya serap kain terhadap zat warna alami. Terakhir, kain diremas-remas lantas dibasahi agar lembab.   Proses mengecoprint siap.  Pewarna alami –daun, bunga, akar, rumput dll, ditata sesuai selera.  Setelah dirasa cukup, kain digulung, diikat kencang dan dikukus selama dua jam.  Setelah dingin kain dibuka dan jadilah Ecoprint. 

Bergerak Bersama

Alvira bersama ibu-ibu koleganya bergerak bersama untuk  berburu daun dan tetumbuhan yang potensial dijadikan sebagai bahan pewarna, membuat Ecoprint sampai memasarkannya.  Pada awal mula membuat Ecoprint, hanya daun Jati dan daun Lanang yang menjadi andalan. 

“Kini banyak sekali yang kami jadikan bahan pewarna,” tuturnya.  Selain daun Jati, daun Lanang, ada rerumputan, daun dan bunga Air Mata Pengantin, Legundi,  Hepkaliptus dll. “Semilir memilih karakter minimalis, tak banyak varian daun dalam satu kain,” tuturnya.   Karaker minimalis ini memudahkan Alvira dan tim jika di kemudian hari ada pesanan dengan motif senada.   

Sungguh beruntung bagi Alvira dan tim, tanaman penghasil warna alami itu tumbuh liar, bisa diburu di lingkungan tempat tinggalnya.  “Kalau kami akan membuat Ecoprint, kami janjian hari apa akan mencari tumbuhan dan kapan kami akan membuatnya.  Kami selalu bergerak bersama, semua serba terorganisir,” ceritanya. 

Jika pagi itu saat JayakartaNews.com bertandang ke rumahnya tidak ada kegiatan pembuatan Ecoprint, ini dikarenakan para koleganya itu sedang memiliki kegiatan yang tidak bisa ditinggalkan.  Ada yang sedang antar jemput anak, ada yang sedang sakit, ada yang lagi menunggui anak sakit.    

Alvira bercerita bahwa saat ini hanya ada lima ibu yang masih aktif bergabung dengannya.  “Lainnya sibuk dengan pekerjaan dan kegiatan masing-masing,” jelasnya.  Menurut Alvira,  di awal-awal usahanya bangkit pascapandemi ini, sejumlah lima orang pengrajin sudah cukup mampu untuk menghasilkan Ecoprint demi memenuhi kebutuhan pasar.  

Untuk menjaga keawetan timnya itu, Alvira menempuh beberapa strategi.  Yakni, transparansi, saling mengerti dan tidak menunda pembayaran.  Semisal ada pesanan, maka Alvira akan membagi pekerjaan kepada ibu-ibu pengrajin tetangganya itu. Informasi tentang jumlah pesanan dan harga ia sampaikan secara terbuka.  Semua pesanan dibayar lunas setelah ia mendapatkan pembayaran.  Pada pemasaran dengan sistem konsinyasi, untuk Ecoprint yang laku terjual, pembayaran langsung ia selesaikan. 

“Untuk konsinyasi ini saya tidak pernah menaikkan harga, sebab harga telah dinaikkan sekitar 30 persen oleh pemilik toko,” tuturnya.  Alvira tidak rugi sebab, ia juga menjual barangnya lewat konsinyasi ini. 

Pada even pameran, Alvira memiliki kesempatan untuk menaikkan harga.  Sebab, ia mesti menanggung ongkos sewa tempat dan mengurusi penjualan selama pameran berlangsung. Sepulang saya dari pameran, semua kewajiban saya bayar lunas, saya tidak mau ada tunggakan, lega rasanya,” tegasnya.  Alvira mengaku, transfer tertinggi yang pernah ia kirimkan ke rekening ibu-ibu anggota timnya itu mencapai besaran Rp 10 juta.    

Selain sistem pemasaran yang diorganisir Alvira, ia juga mempersilakan jika ibu-ibu binaannya itu jika ingin menjual kerajinan Ecoprintnya sendiri.  “Saya mengijinkan bahkan mendorong mereka untuk menjual produknya tanpa lewat saya,” tuturnya.  Cara seperti ini menurut cerita Alvira sudah dilakukan para koleganya itu.      

Serat Lantung

Awal menekuni Ecoprint, Alvira sebatas menggunakan media kain serat alami baik selulosa atau pun sutra yang bisa ia dapatkan dengan mudah.  Pada perjalanan selanjutnya, saat wanita berdarah Bengkulu ini pulang kampung ia mendapati rupa-rupa kerajinan khas Bengkulu yang terbuat dari serat Lantung.  Di tanah asalnya,  serat  Lantung lazim dijumpai untuk bahan suvenir seperti topi, tempat tisu, tempat perhiasan dan pernak-pernik lainnya. Ayah saya bilang, “Coba kombinasikan serat Lantung ini dengan Ecoprint.”

Alvira mengiyakan.  Namun, sebelum eksekusi tiba, ia merasa harus mencari banyak info tentang serat Lantung.  Sebab, Alvira mulai dicecar rasa penasaran.  Sejumlah pertanyaan menggampari pikirannya.  Siapa pembuat serat Lantung? Berasal dari pohon apa? Dimana dan bagaimana dibuatnya?  Agar rasa penasaran itu terjawab, ia pun berencana mengulik sumber daya alam asli Bengkulu itu.   Tak banyak info yang ia dapatkan dari internet.  Karena itu, ia memutuskan untuk meneliti langsung ke tempat sumbernya.   

Alvira pun memasukkan proposal ke Bidang Kebudayaan Kemendikbud dan ia lolos.  Sejumlah dana penelitian digelontorkan.  Tahun 2020 ia  berangkat ke lokasi serat Lantung berasal, yakni di lingkungan masyarakat Suku Kaur, desa Papahan, Bengkulu selatan.  Jauhnya sekitar tujuh jam perjalanan dari ibukota Bengkulu.  Akhirnya, semua pertanyaan yang berkelindan di otaknya pun terjawab. 

Alvira dan foto pengrajin serat Lantung yang direkam saat penelitiannya di masyrakat Suku Kaur Bengkulu Selatan

Serat  Lantung berasal dari kulit kayu pohon mirip sukun dan serat kayu pohon karet.  Kedua pohon itu bergetah.  Penelusuran sejarah memberikan info kepada Alvira bahwa serat Kayu itu dulunya merupakan bahan tekstil bagi masyarakat Suku Kaur. “Dulu serat  Lantung itu digunakan sebagai bahan pakaian masyarakat Suku Kaur karena tak ada kain,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa serat Lantung itu digunakan sebatas untuk dijadikan baju, bukan pakaian adat.  “Jadi penggunaan serat kulit kayu pada masyarakat Suku Kaur berbeda dengan suku-suku di Kalimantan, Sulawesi dan Papua yang membuat pakaian adat dari serat kulit kayu,” tambahnya. 

Ia menceritakan, asal nama Lantung cukup unik. Kata “Lantung” berasal dari proses memukul-mukul kulit kayu itu menjadi lembaran.  Alvira menyaksikan setelah pohon ditebang, kayunya dipotong-potong dengan panjang sekitar 20 centi meter (cm).  Kulit dikelupas, dilembarkan, lalu dipukul-pukul dengan batu di atas sebongkah balok kayu.  “Bunyinya tung, tung, tung, tung, karena itulah ia dinamakan serat Lantung,” paparnya.  Dari kulit kayu sepenjang 20, cm itu akan didapat serat Lantung dengan panjang 1 sampai 2 meter.    

Semua informasi itu membuat langkahnya untuk menggunakan serat Lantung kian mantap.   Serat Lantung sangat mudah didapat di tanah asalnya, Bengkulu. Sejak tahun 2015, serat  Lantung ditetapkan Unesco sebagai warisan budaya tak benda dari Indonesia. 

Tahun 2020 adalah pertama kali ia menggunakan serat Lantung menjadi media Ecoprint. Setiap menggunakan media baru, Alvira mesti melewati banyak tahap coba-coba.  Setelah sekian kali mencoba, akhirnya Alvira mendapati kenyataan bahwa serta kayu alami  itu cocok digunakan sebagai media Ecoprint. Ia pun membuat tas dari serat  Lantung.  Ornamen Ecoprint membuat tas produksinya itu tampak mewah dan berkelas. Pasar menyambut positif.  Produk pertamanya  ludes terjual.   

Pameran dan Cuan

Untuk mengembangkan usaha, salah satu cara jitu yang ditempuh Alvira adalah rajin mengikuti pameran. Selain pameran yang digelar oleh instansi pemerintah terkait, Alvira juga memajang produknya di pameran yang ia ikuti secara mandiri.  Salah satunya adalah TLM atau “The Local Market” yang rutin diadakan di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. 

Menurut cerita Alvira, TLM sangat potensial untuk memasarkan Ecoprint.  Tiga kali dalam setahun pameran ini digelar.  “Saya tahu, siapa konsumen saya, dan TLM adalah tempat yang tepat,” tuturnya.  Yang hadir di TLM rata-rata adalah kalangan menengah ke atas.  Alvira menjelaskan, konsumen Ecoprint adalah mereka yang merasakan feel dan touch, baru menanyakan harga.

“Setelah melihat, meraba, merasakan kain Ecoprint dan akhirnya jatuh cinta, mereka baru menanyakan harga,” katanya.  Menurut pengalaman Alvira, karakteristik konsumen seperti inilah yang biasanya sampai pada keputusan untuk membeli.  Konsumen yang tidak sampai pada keputusan membeli, biasanya menanyakan harga di awal dan ketika merasakan bahwa nilainya terlampau tinggi, mereka sekadar melihat-lihat saja.

Kain Ecoprint “Semilir” dibanderol Rp 200 ribu – Rp 250 ribu per 2 meter untuk serat selulosa.  Sementara rupa-rupa suvenir dari serat Lantung seperti ID card, dompet, tas, dihargai puluhan ribu hingga ratusan ribu Rupiah per buah.  Sementara kebaya Ecoprint dilabeli  sekitar Rp 400-an ribu per potong.

Selama berkutat dengan Ecoprint sejak tahun 2018, Alvira telah mengikuti berbagai ajang pameran, baik yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah terkait maupun yang  ia ikuti secara mandiri.  Berbagai bentuk kerjasama pun ia dapatkan.   “Saya pernah mendapatkan order dari Wanagama UGM sejumlah 50 lembar kain Ecoprint,” katanya.        

Pantang Menyerah

Alvira pernah merasakan hasil dari berbisnis Ecoprint dengan omzet Rp 50 hingga Rp 60 juta per bulan.  “Saat ini, omzet kami berada di kisaran Rp 10 juta hingga Rp 20 juta,” tuturnya.  Penurunan angka yang lumayan drastis itu akibat imbas dari pandemi Covid yang meruntuhkan sendi-sendi ekonomi di berbagai bidang. 

Selama pandemi Covid, Alvira memutar otak agar bisnisnya tetap jalan.  “Bersama ibu-ibu di sini kami membuat masker,” imbuhnya.   Kegiatan itu menurut Alvira cukup mampu untuk bertahan sekaligus meraup cuan. 

Kepompong ulat sutra, order pewarnaan dari pengrajin asal Bali.

Tak hanya memproduksi masker, Alvira juga menerima order pewarnaan serat alami.  Ia mematok harga Rp 80-an ribu per meter.  “Saat ini saya sedang mendapatkan order mewarnai kepompong ulat sutera,” kata Alvira sambil menunjukkan seplastik besar kepompong warna putih dan kantong-kantong kecil kepompong yang telah selesai ia warnai.

Proses mewarnai  serat alami itu tak seinstan seperti membuat teh celup.  Setelah masuk ke pewarna alami, kain dikeringkan, dicelup lagi, kembali dikeringkan.  Demikian berulang-ulang sampai mendapatkan warna sesuai keinginan.  Order pewarnaan serat alami itu datang dari pengrajin yang ia temui saat bersama-sama pameran.  “Ajang pameran tak sekadar menjual produk, tempat itu juga potensial membangun jejaring  dan kolaborasi,” tuturnya.  

Segala upaya dilakukan Alvira dan timnya  agar usaha mereka tetap eksis.  “Lebih baik melangkah dari pada tidak, satu langkah lebih bagus dari pada tidak melangkah sama sekali,” kata Alvira memaparkan semboyan hidupnya.  

Kini, wanita kelahiran 1992 itu tak sekadar melangkah, tetapi telah bangkit kembali bersama ibu-ibu binaannya.  Geliat usaha Ecoprint kembali marak.  Seusai pameran pertamanya setelah pandemi Covid, ia akan mengikuti pameran demi pameran berikutnya. 

Dua tempat konsinyasi juga telah dan terus menjalin kerjasama,  Sarinah di Jakarta dan Kebun Raya Bogor.  Kedua tempat ini amat potensial, sebab ke depan geliat bisnis pariwisata pun akan bangkit.  “Saya juga bermimpi memiliki outlet sendiri di beberapa kota besar di Indonesia,” pungkasnya. (Ernaningtyas)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *