Connect with us

Feature

Isak Tangis Doni Monardo Kenang Onny Gappa

Published

on

Catatan dari “Reuni Trembesi” Brigif Kariango
Bagian 2 (Selesai)

Dari roof top lantai 20 hotel Karebosi Premier di Jl. M. Jusuf 1, Makassar, Doni Monardo menatap ke bawah. Malam itu, tampak lapangan karebosi begitu indah. Rimbun hijau dedaunan trembesi yang menutup permukaan lapangan, berbinar kekuningan diterpa lampu penerang.

“Lihat. Sekarang Karebosi tidak lagi gersang. Dari pagi sampai malam orang nyaman berada di sana. Pagi berolahraga, siang berteduh sambil menikmati kelapa hijau. Sore kembali ramai orang jogging, dan malam sangat romantis,” ujar Doni Monardo, tokoh yang memiliki keterkaitan emosional dengan trembesi-trembesi Karebosi yang ia tanam bersama pasukan Brigif Para Raider 3/Tri Budi Sakti, Kariango.

Peristiwa Doni memandangi karebosi dari roof top hotel Karebosi itu, tercatat hari Senin tanggal 5 Desember 2022 sekitar pukul 21.00 WITA. Saat itu, hujan baru saja reda. Minuman khas Makassar, sarabba dan pisang goreng turut menemaninya.

Esoknya, Doni berangkat menuju markas Brigif Kariango, di Maros, menghadiri “Reuni Trembesi” yang ia gagas. (Baca: Ketika Trembesi Membalas Budi)

Sebagian peserrta “Reuni Trembesi” di Markas Brigif Kariango, Maros, Sulawesi Selatan, 6 Desember 2022.

Di lokasi Brigade yang ia pimpin tahun 2006 – 2008, Doni seperti larut ke peristiwa 16 tahun lalu. Tahun penting saat ia mengakhiri tugas sebagai Waasops Dan Paspampres (2004 – 2006) dan menjalani penugasan baru sebagai Komandan Brigif Kostrad Para Raider 3/Tri Budi Sakti, Maros, Sulawesi Selatan atau yang akrab disebut Brigif Kariango.

“Saya masih ingat, salah seorang senior mengatakan, ‘ngapain kamu ke Brigif Kariango. Di sana gersang dan prajuritnya bandel-bandel’,” ujar Doni sambil tertawa.

Kepada senior tadi Doni mengatakan bahwa ia siap ditugaskan ke Kariango. “Saya bahkan menambahi, ‘izin komandan, saya malah senang’,” Doni mengenang.

Sampah Brigade

Ayah tiga anak itu pun lantas mengisahkan betapa “berantakan” kondisi Brigif saat ia datang. Bukan saja tandus dan gersang, tetapi tumpukan sampah menggunung di sejumlah titik, dan menyebarkan aroma tak sedap. Masih ditambah berbagai kasus “kenakalan” prajurit.

Lulusan Akmil 1985 itu mulai mendisiplinkan prajuritnya. Yang pertama bukan latihan kesamaptaan, raider, latihan taktis, atau yang lain, tetapi membersihkan sampah di area brigade yang memiliki luas 301 hektare itu. Tak kurang dari 350 rit truk (volume sampah) yang dikeluarkan dari area brigade. Ia bahkan menemukan residu atau timbunan sampah berusia puluhan tahun.

“Kami sampai kehabisan anggaran BBM untuk mengangkut sampah-sampah itu. Benar kan pak Anto?” kata Doni sambil memandang ke arah Letjen TNI Purn AM Putranto, yang kala itu menjabat Kepala Staf (Kas) Brigif Kariango berpangkat Letkol. Sigap AM Putranto berdiri, tertawa, dan menjawab, “Benar….”

Sejak itu, markas Brigif Kariango menjadi bersih dari sampah. Namun apa daya, persoalan tidak berhenti sampai di situ. Habbit membuang sampah sembarangan, masih belum hilang seketika. Termasuk kebiasaan membuang puntung rokok.

Langkah penertiban berikutnya diberlakukan peraturan, setiap prajurit –terutama yang merokok– wajib membawa bekas kaleng semir. Selesai merokok, matikan dan simpan puntungnya di kaleng semir, untuk nanti dibuang di tempat sampah.

Apakah persoalan puntung rokok selesai? Tidak! Dalam inspeksi rutin, Doni masih menemukan satu-dua puntung rokok di jalanan. Seketika Doni memerintahkan prajurit yang mendampinginya untuk memungut dan memakannya. Padahal, mungkin bukan dia yang membuang puntung rokok itu.

Seisi Brigade “gempar” oleh kabar komandan menghukum prajurit memakan puntung rokok yang dibuang sembarangan. Tidak butuh waktu lama, sejak itu prajurit perokok selalu mengantongi kaleng semir. Area brigif semakin bersih.

Kasbrig Letkol Inf AM Putranto saat itu bahkan pernah “men-challenge” rombongan tamu dari pusat, apakah itu dari Kostrad, Mabesad, atau Mabes TNI. Kalau ada yang menemukan puntung rokok, disediakan uang lima-ratus-ribu rupiah. Dan Kas Brigif tidak pernah mengeluarkan uang itu, karena memang sudah tidak ada lagi puntung rokok terbuang sembarangan.

Foto kenangan Doni Monardo bersama alm Andi Tenri “Onny” Gappa. (dokpri)

Harley ke Trembesi

Problem berikut di mata Doni Monardo adalah ketandusan dan kegersangan. Di sinilah “tangan Tuhan” bekerja. Seseorang memperkenalkan Doni Monardo dengan bankir Makassar yang sangat kesohor, Andi Tenri “Onny” Gappa.

Namanya lekat dengan Bank Panin. Onny Gappa adalah Ketua Perhimpunan Perbankan Nasional (Perbanas) Sulsel dua dekada, 90-an dan 2000-an. Padahal Onny bukan berlatar belakang akuntan, ekonom, atau manajemen. Dia adalah insinyur animal husbandry, peternakan, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.

Onny yang juga keponakan mantan Panglima ABRI Jenderal M. Jusuf itu, hingga akhir hayatnya dipercaya sebagai Area Manager Panin Bank KTI (Kawasan Timur Indonesia). Onny meninggal dunia di rumah sakit Mount Elizabeth Singapura, Jumat 10 Oktober 2014, setelah menjalani operasi dua hari sebelumnya.

Almarhum Onny Gappa yang merupakan menantu mendiang tokoh Sulsel Andi Mattalatta itu dikenal dengan sifatnya yang humble dan gemar membantu. Wadah “Panin Peduli” menjadi kepanjangan tangan sifat kedermawanan Onny.

Di mata sahabat dan orang-orang dekat, ia punya dua hobby. Pertama moge (motor gede) Harley Davidson. Kedua, menanam pohon. Bahkan di mana pun Onny Gappa beraktivitas, nyaris tak pernah lepas pernyataan ini, “Siapa saja yang butuh bibit pohon, silakan datang ke rumah saya.”

Di rumahnya Jl. Hertasning Raya, Makassar memang laiknya hutan. Garasi mobilnya, diisi kantung bibit tanaman keras.

“Waktu hendak bertemu beliau, saya belum berpikir ke pohon untuk menghijaukan markas brigade. Sebab, yang memperkenalkan saya adalah kelompok pecinta Harley Davidson. Sementara saya tahu pak Onny Gappa senang motor besar. Toh saya berpikiran positif, meski saya bukan penggemar moge,” kata Doni.

Pada hari dan jam yang ditentukan, Doni bertemu Onny. Doni mengenakan uniform PDH militer. Lengkap dengan tongkat komando dan baret hijau.

Begitulah gambaran proses perkenalan Doni dan Onny hingga ke substansi penghijauan markas Brigif begitu lancar. Lancar jaya. Bukan moge harley davidson yang jadi topik pembicaraan, tetapi trembesi.

“Hari itu juga pak Onny berkenan datang ke lokasi Brigif. Komentar beliau kurang lebih, ‘wah… ini butuh banyak pohon, pak Doni’,” ujarnya. Doni tertawa dan membenarkan. Tanpa basa-basi, Onny melanjutkan dengan pertanyaan, “Saya bantu bibit pohonnya pak. Mulai kapan (menanam)?” tanya Onny kepada Doni.

Bukan Doni Monardo kalau menjawab, “besok atau minggu depan”. Alhasil, Doni pun menjawab, “Kalau bisa hari ini juga, pak Onny.”

Singkat kalimat, Onny mempersilakan armada Brigade datang ke rumahnya untuk mulai proses pengangkutan bibit-bibit trembesi. Tak kurang dari 20.000  (d u a  p u l u h   r i b u) bibit trembesi disumbangkan Onny Gappa untuk menghijaukan Markas Brigif Kariango.

Pepatah Asam Garam

Letjen TNI Purn Doni Monardo saat memberi kesaksian di puncak acara “Reuni Trembesi”. (foto: egy m)

Jika menarik waktu ke belakang, takdir yang mempertemukan Doni dan Onny dalam konteks trembesi memang merupakan sebuah keniscayaan. Pepatah yang tepat untuk melukiskan adalah “asam di gunung garam di laut bertemu dalam satu belanga”.

Doni berdarah Minang, bekarier di militer. Sedangkan Onny berdarah Bugis Makassar, insinyur peternakan dan seorang bankir. Keduanya bertemu dalam satu cinta: “Cinta Trembesi”.

Ada hal tak terlupakan saat pertama kali Doni dipertemukan dengan Onny Gappa. Doni terpana oleh sejumlah bingkai foto besar yang ada di ruang kerja Onny Gappa. “Bukan foto Harley Davidson atau foto para bankir. Bukan. Foto yang beliau pasang besar-besar adalah foto pohon trembesi. Seketika saya membatin, wah ternyata pak Onny punya pohon favorit yang sama dengan saya,” kenang Doni.

Doni Monardo lantas menceritakan pengalaman, utamanya saat berdinas di lingkungan Paspampres. Karena tugas, ia berkesempatan mengunjungi hampir seluruh wilayah di Indonesia (dalam kaitan pengamanan kunjungan presiden/wakil presiden). Ada kesan khusus dengan trembesi.

“Hampir di setiap pusat pemerintahan kota di berbagai daerah dari Aceh sampai Papua, selalu dijumpai tiga jenis pohon: beringin, asam, dan trembesi. Khusus di Malang, ada tambahan pohon mahoni,” kata Doni.

Di benaknya terbersit keyakinan, bahwa trembesi adalah pohon istimewa. Itu pula yang membuat trembesi menjadi salah satu jenis pohon yang harus ditanam di pusat-pusat pemerintahan Hindia Belanda seluruh wilayah Nusantara.

Puncak rasa penasaran Doni Monardo terhadap trembesi terjadi tahun 2003, saat ia menjabat Dandema Paspampres. Suatu hari, ia pergi ke daerah Cikokol di Tangerang Selatan, “berburu” trembesi. Relatif tidak terlalu jauh dari kediamannya di Serpong.

“Yang jual pohon trembesi lokasinya agak ke dalam, jadi harus naik sepeda motor. Di situ saya menemukan bibit trembesi diameter ukuran paha. Harganya empat-ratus-ribu rupiah,” kisahnya.

Pohon pun ditanam di depan rumah. Karena ditanam dengan cinta serta dirawat dengan baik, trembesi Doni tumbuh sangat cepat. Dalam waktu setahun, sudah lebih tiga meter. “Buru-buru saya minta bantuan tukang untuk memindahkan ke seberang jalan. Sejak itu saya makin paham, trembesi termasuk fast growing,” kata Doni.

Bukan hanya fast growing, trembesi juga dijuluki “die hard” oleh Doni. Salah satu jenis pohon yang bisa tumbuh dan hidup di mana saja. Jangankan di tanah subur, di tanah bebatuan saja hidup. Jangankan di tanah cadas, bahkan di sungai pun tumbuh.

Doni lalu menyebutkan contoh pohon trembesi berusia ratusan tahun yang tumbuh di sungai dekat di Jl Cikapundung, Bandung. Juga trembesi yang tumbuh di rawa-rawa Meruya, Jakarta Barat. Masih banyak contoh lain, trembesi bisa tumbuh di mana saja.

“Cek ke ahli pohon, atau cari di google tentang trembesi. Manfaatnya sangat banyak. Yang pasti menyimpan air di bawah (akar), dan mengikat karbon di atas (daun). Salur dahannya juga indah. Ini pohon yang luar biasa,” kata Doni pula.

Area Markas Brigif Kariango hari ini, difoto dari udara. Area yang dulu gersang dan tandus, sekarang sangat rimbun oleh trembesi.

Trembesi 24 Jam

Alkisah, Doni dan Onny semakin lengket. Keduanya diikat dalam satu komitmen bernama penghijauan. Mereka disatukan dalam cinta bernama “cinta trembesi”. “Saya diperlihatkan kebun trembesi milik pak Onny yang dikerjasamakan dengan Unhas. Bahkan orang yang mengurus bibit-bibit trembesi beliau pun saya masih ingat. Namanya Wayan,” kata Doni.

Believe it or not…. salah satu orang kepercayaan Doni Monardo untuk mengurus kebun bibitnya pun bernama Wayan.

Setelah bibit-bibit trembesi pemberian Onny Gappa tiba di markas brigade, seketika itu pula perintah komandan jelas dan tegas, “Tanam trembesi, jangan sampai mati.” Doni benar-benar menghukum prajurit yang karena kelalaiannya mengakibatkan trembesi layu dan mati. Prajurit bukan saja harus menanam dengan bibit yang baru, tetapi harus tidur di dekat pohon yang dia tanam.

“Jadi kalau hari ini kita melihat markas Brigif Kariango begitu bersih dan rimbun oleh trembesi, itu karena kerja keras prajurit. Rasa hormat saya kepada para prajurit Brigif Kariango,” kata Doni, disambut tepuk tangan meriah para prajurit dan hadirin. “Dalam kesempatan ini, saya sekaligus meminta maaf kalau waktu itu terlalu keras.”

Upaya luar biasa memang telah dilakukan Doni Monardo beserta jajarannya ketika itu. Bahkan proses penanaman hingga perawatan bisa dibilang 24 jam. “Patroli trembesi” dilakukan setiap malam. Inspeksi komandan, dilakukan pagi dan sore. Bahkan saat memasuki bulan Ramadhan, kegiatan “jaga trembesi” tidak mengendor. “Kalau bulan Puasa, penyiraman dilakukan setelah shalat tarawih,” kata Doni.

Jumpa Panglima

Benih-benih sukses penghijauan Brigif Kariango menampakkan hasil positif. Ini tentu saja memupus pesimisme sebagian (besar) prajurit Kariango sebelumnya.

“Saya tahu, banyak prajurit marah, banyak prajurit tidak setuju waktu saya minta menanam pohon. Saya mendengar ada yang ngomong, ‘kami sudah bertahun-tahun menanam pohon, dan gagal terus. Ini Kopassus (yang dimaksud adalah Doni Monardo) datang mau penanam pohon pula. Mana mungkin berhasil’,” kata Doni menirukan keluhan dan protes prajurit.

Akan tetapi, berkat kerja keras, disiplin, dan kerja ikhlas, trembesi bisa tumbuh di tanah bebatuan Kariango. Seiring berjalannya waktu, suara-suara protes prajurit makin sayup, dan tak terdengar lagi. Sebaliknya, tumbuh kobaran semangat demi menyaksikan trembesi-trembesi itu tumbuh.

Hal itu pun dilaporkan Doni saat berjumpa Pangdam VII/Wirabuana (ketika itu), Mayjen TNI Djoko Susilo Utomo. Djoko yang nota-bene juga mantan Danbrigif Kariango pun terkesan. “Coba, saya mau bertemu pak Onny Gappa,” kata Doni menirukan perintah Pangdam VII/Wirabuana saat itu.

Doni pun menghubungi “sahabat trembesi”-nya. “Pak Onny. Panglima mau bertemu,” kata Doni kepada Onny.

Ia merasa senang bisa mempertemukan Onny Gappa dengan Mayjen Djoko Susilo. Sebab Doni tahu persis obsesi Onny Gappa yang ingin menghijaukan seluruh wilayah Indonesia dengan trembesi. Doni berpikir, obsesi itu bisa dimulai dari Sulawesi, atau teritori Kodam VII/Wirabuana atas dukungan Pangdam.

Harapan Doni dan Onny terkabul. Pertemuan itu bermuara pada keluarnya surat perintah kepada seluruh jajaran Kodam VII/Wirabuana untuk melakukan penghijauan trembesi di wilayah masing-masing. “Setelah itu, pak Onny keliling dari Korem ke Korem, dari Kodim ke Kodim, sosialisasi penghijauan trembesi,” kata Doni.

Trembesi mulai merambah wilayah-wilayah lain di luar Maros dan Makassar yang sudah dihijaukan Doni Monardo dan jajarannya. “Saya berani mengatakan, hampir semua pohon trembesi yang ada di Sulawesi, asalnya dari Kariango, berkat jasa Pak Onny dengan Panin Peduli-nya,” tegas Doni.

Rekaman foto jalan menuju Markas Brigif Kariango, dari tahun ke tahun. (foto: yuhan subrata)

Hijaukan Indonesia

Puncak kisah sukses menghijaukan area Brigif Kariango yang semula tandus, ditandai dengan pemasangan papan di dekat kebun bibit. Papan itu bertuliskan “Dari Kariango Ikut Hijaukan Indonesia”.

Saat moment “Reuni Trembesi” 6 Desember 2022, papan itu tampak masih utuh dan tegak berdiri. Bahkan, tulisan yang sempat memudar, sudah dicerahkan dengan cat yang baru.

Tahun 2008, dua tahun setelah menjabat Komandan Brigif Kariango, turun Skep penugasan baru untuk Kolonel Inf Doni Monardo kembali ke satuan Pasukan Pengaman Presiden sebagai Dan Grup A Paspampres (2008 – 2010). “Saya tahu, orang yang paling sedih atas kepindahan tugas saya adalah almarhum Onny Gappa,” kata Doni, sendu.

Saat bertemu, beliau mengatakan, “Kalau pak Doni pindah, bagaimana nasib trembesi-trembesi di Sulawesi. Bagaimana kelanjutan program menghijaukan Indonesia.”

Dengan kalimat mantap Doni menjawab, “Pak Onny tidak perlu khawatir. Saya akan tetap mengawal dan melanjutkan program yang sudah kita canangkan.”

“Jadi, kalau hari ini Kariango hijau, trembesi ada dari Aceh sampai Papua, ini semua tidak lepas dari jasa besar almarhum Onny Gappa. Tanpa almarhum Onny Gappa, tidak mungkin ada trembesi di banyak tempat di Indonesia!”

Berkata begitu, meledaklah isak tangis Doni Monardo. Ia tak kuasa membendung sesak di dada, atas bahagia dan haru yang membuncah terhadap kenangan jasa besar almarhum Onny Gappa.

Hadirin yang tekun mengikuti acara reuni trembesi, tak pelak ikut meleleh, mengusap air mata. Termasuk istri Onny Gappa, Andi Soraya Mattalatta dan putra semata wayangnya, Andi Ahmad Yani Gappa yang hadir mengenakan jaket loreng “Sahabat Kopassus” pemberian Doni Monardo.

Usai menarik napas panjang, Doni mengajak hadirin menundukkan kepala dan memanjatkan doa untuk almarhum Andi Tenri “Onny” Gappa. (Egy Massadiah dan Roso Daras)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Advertisement