Connect with us

Global

Perang Israel Vs Hamas: Apakah Masih Ada Jalan Perdamaian?

Published

on

Ilustrasi/foto: pixabay.com

JAYAKARTA NEWS— Serangan Hamas memasuki Israel Selatan, di perbatasan Jalur Gaza, Sabtu lalu,  menebar terror hingga lebih dari 1.300 orang Israel tewas, di antaranya 260 penonton festival music dan 3.200 cedera. Selain itu, lebih dari 150 orang, termasuk anak-anak, diculik dan dibawa ke Gaza.

Hamas tidak mewakili seluruh rakyat Palestin. Hamas mewakili sebagian orang Palestina, yang kebanyakan berdiam di Jalur Gaza dan berpandangan garis keras. Di Gaza, selain Hamas, ada juga kelompok Jihad Islam dan Salafi yang berafiliasi dengan Al-Qeada dan ada juga yang berafiliasi dengan ISIS.

Israel menyebut serangan ini sebagai “9/11 kami”.  Israel sudah secara resmi menyatakan perang terhadap Hamas. Israel kemudian melancarakan serangan udara bertubi-tubi ke Gaza, yang sampai tulisan ini ditulis, sudah lebih dari 1.500 orang tewas dan  lebih dari 5.000 cedera, menurut laporan dari rumah sakit yang sudah dipenuhi pasien.

Sejauh ini, sudah lebih dari 300. 000 pengungsi Palestina berlindung di rumah-rumah sakit dan gedung-gedung sekolah, yang dibangun dan dikelola oleh PBB — dengan harapan rudal Israel tidak akan menghantam gedung-gedung ini.

Selain itu, Israel juga sedang menyiapkan serangan darat. Sudah 300.000 tentara cadangan Israel dimobilisasi. Kapasitas militer Israel mampu melakukan serangan darat ini dan kembali mengusai Jalur Gaza. Israel sendiri, Jumat 13 Oktober 2023, sudah mengumumkan agar warga Palestina di Gaza utara mengosongkan wilayah itu dalam waktu 24 jam. Itu artinya 1.100.000 warga Palestina harus diungsikan. Apakah ini permulaan invasi darat Israel — kita tidak tahu.

Kita berharap invasi darat tidak terjadi. Jika terjadi, maka korban di pihak Palestina akan sangat mengerikan. Tragedi kemanusiaan akan terjadi. Apalagi sejauh ini Mesir sudah menolak permintaan AS dan Israel agar warga sipil Gaza diijinkan mengungsi ke Sinai. Saat ini ada 2,2 juta warga Palestina tinggal di Jalur Gaza.

Sementara, Amerika sudah mengirimkan satu kapal induk terbaru dan tercanggih, Gerald Ford. Sebuah kapal induk tidak mungkin berlayar sendirian dan selalu disertai gugus tugasnya, yang bisa mencapai 40 kapal, termasuk kapal pemasok dan kapal selam. Tujuan Amerika adalah mencegah pihak lain ikut campur perang ini dan memperluas konflik. Inggris juga sudah mengirim dua kapal perangnya untuk mendukung Israel.

Siapa Hamas

Hamas adalah singkatan dari Harakat al-Muqawama al-Islamiya atau Gerakan Perlawanan Islam. Hamas lahir dimasa-masa Intifada pertama, 1987 – 1993. Hamas bertujuan mendirikan negara Islam di Palestina, termasuk seluruh wilayah yang jadi negara Israel sekarang dan Tepi Barat serta Jalur Gaza. Hamas sama sekali tidak mengakui keberadaan Israel dan selalu merujuk kawasan negara Israel sebagai wilayah yang diduduki oleh Israel. Hamas juga tidak bersedia terlibat dalam perundingan damai dan tidak mengakui hasil-hasil Perjanjian Oslo tahun 1993 lalu, yang ditandatangani oleh PLO dan Israel.

Hamas, sebagai organisasi, populer dikalangan warga Palestina melalui aktifitas-aktifitas amal dan kesejahteraan, seperti menyediakan layanan kesehatan, Pendidikan, dan bantuan untuk warga miskin. Pada saat yang sama, Hamas juga melibatkan diri dalam serangan bersenjata, termasuk bom bunuh diri dan roket yang menyasar sasaran militer dan warga sipil Israel. Hamas selalu beralasan serangan mereka sebagai respon penindasan dan agresi Israel.

Hamas sempat mengikuti pemilihan umum legislatif Palestina tahun 2006, yang diselenggarakan setelah kematian pemimpin PLO Yasser Arafat tahun 2004. Hamas meraih mayoritas kursi parlemen, mengalahkan Fatah, partai sekuler nasionalis yang mendominasi politik Palestina selama puluhan tahun. Hamas sempat membentuk pemerintahan.

Di sisi lain, Israel, Amerika, Uni Eropa dan negara-negara lain menerapkan berbagai sanksi dengan alasan Hamas dipandang sebagai organisasi teroris. Hamas juga berkonflik dengan Fatah mengenai kontrol terhadap pasukan keamanan dan lembaga-lembaga pemerintahan.

Pada medio 2007, Hamas merebut kekuasaan di Jalur Gaza setelah bertempur dengan pasukan Fatah. Sejak itu, Gaza diblokade oleh Israel dan Mesir, yang mengontrol ketat pergerakan barang dan orang keluar dan masuk Gaza.

Blokade ini menyebabkan kesukaran ekonomi dan juga situasi kemanusiaan bagi 2,2 juta penduduk Gaza. Hamas terus menguasai Gaza, yang de facto adalah negara tersendiri lepas dari Otoritas Palestina di Tepi Barat, yang dikuasai Fatah. Sejauh ini, upaya mendamaikan kedua belah pihak telah gagal.

Tapi Hamas juga menghadapi tantangan dari kelompok-kelompok militant lain di Gaza, seperti Jihad Islam dan kelompok Salafi yang lebih radikal dan terkait dengan al-Qaeda dan ISIS. Disisi lain, Hamas juga mendapat kecaman dari pihak-pihak lain di Palestina dengan tuduhan korupsi, penindasan, dan mis-manajemen.

Lepas daripada siapa yang benar atau salah, penulis merasa kedua belah pihak bertanggung-jawab atas kematian begitu banyak orang yang tidak bersalah atau warga sipil, yang hanya ingin hidup damai, bermartabat, sejahtera dan diperlakukan secara berkeadilan.

Lalu bagaimana dengan jalan damai?

Sejauh ini, secara resmi, Mesir dan Turki bersedia menjadi jembatan perundingan damai antara Israel dengan Hamas. Israel belum bereaksi. Hamas, melalui jubir, menyatakan siap merundingkan gencatan senjata.

Selama bertahun-tahun konflik Israel – Hamas selalu diakhiri atau “istirahat” sebelum konflik baru pecah disela dengan gencatan senjata. Mesir selalu punya peran besar mengupayakan gencatan senjata.

Namun konflik kali ini sangat berbeda. Serangan Hamas, yang menyasar kebanyakan warga sipil Israel, sangat memukul warga Israel. Berbagai laporan menyebutkan banyak sekali orang Israel, yang sedang di luar negeri, langsung pulang dan masuk kamp militer dan jadi bagian dari pasukan cadangan. Bahkan, perusahan penerbangan Israel, El Al, terbang pada hari Sabtu atau Sabbat (biasanya pesawat tidak terbang) untuk membawa pulang warga Israel di luar negeri.

Serangan Hamas telah membuat rakyat Israel bersatu, anehnya ini juga termasuk warga Arab Israel — yang waktu perang 1948 memilih tetap tinggal dan jadi warganegara Israel. Biasanya warga Arab Israel mengambil jarak ketika terjadi konflik terbuka dengan Palestina, baik di Tepi Barat atau di Jalur Gaza. Dari berbagai pemberitaan kesan umum adalah rakyat marah dan menuntut pembalasan terhadap Hamas.

Serangan Hamas, Sabtu, 7 Oktober lalu, telah menyatukan rakyat Israel dan malah memperkuat posisi Perdana Menteri Netanyahu, yang sebenarnya sedang berhadapan dengan gejolak politik dengan pemerintahan yang tidak stabil dan juga tuduhan korupsi.

Di sisi internasional, sejak dilantik, Presiden AS Joe Biden memberi pertanda akan lebih seimbang dalam upaya perdamaian Palestina – Israel. Namun, sampai hari ini, dia belum mencabut kebijakan presiden terdahulu Donald Trump yang lebih pro-Israel.

Sekarang pun, sayangnya, Biden belum menjadikan proses perdamaian sebagai prioritas kebijakan luar negeri. Mungkin karena disibukkan oleh pertikaian atau persaingan dengan Cina dan juga perang Ukraina – Rusia.

Sementara negara-negara Arab, yang secara tradisi selalu mendukung Palestina, sedang disibukkan dan mengubah fokus pada isu-isu regional, seperti ancaman Iran dan masalah di Yaman. Beberapa negara Arab, seperti Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko sudah menormalisasi hubungan dengan Israel. Situasi ini tentu saja mengurangi tekanan terhadap Israel dan pada saat yang sama melemahkan posisi tawar Palestina.

Palestina sendiri kondisinya, bisa dikatakan, terbelah dan lemah. Hamas mengusai Gaza dan Otoritas Palestina menguasai Tepi Barat atau sebagian Tepi Barat yang sudah diserahkan Israel. Kedua faksi ini sudah beberapa kali diupayakan berdamai tapi gagal.

Palestina juga sudah tidak lagi menyelenggarakan Pemilihan Umum sejak 2006 lalu. Otoritas Palestina, yang dipandang korup dan tidak efektif, mengalami krisis kepercayaan dari rakyat Palestina. Sementara Hamas, sejak 2007, sudah diblokade oleh Israel dan Mesir. Akibatnya, Gaza terus-menerus mengalami kemunduran ekonomi serius dan krisis kemanusiaan.

Pemerintahan Israel, sekarang ini, sebenarnya kurang stabil. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu membentuk pemerintahan kanan — yang sangat kanan. Pemerintahan ini mendukung perluasan pemukiman Yahudi di Tepi Barat dan menentang pendirian negara Palestina.

Netanyahu juga berupaya mengubah tata hukum Israel, yang memberi dia kekuasaan besar. Akibatnya, sejak tahun lalu selama berbulan-bulan, dia terus di demo oleh kelompok-kelompok pro-demokrasi. Israel juga dalam keadaan terbelah secara politis. Apalagi pihak partai-partai oposisi juga tidak seia-sekata dalam isu perdamaian dengan Palestina dan tidak berminat berkolaborasi dengan Netanyahu.

Opini publik di kedua belah pihak juga tidak mendukung proses perdamaian. Kedua Masyarakat sudah terpecah sangat dalam hingga rasa percaya bisa dikatakan sudah hilang. Dan ini sangat sukar. Banyak orang Israel dan Palestina sudah tidak lagi percaya ada kemungkinan solusi dua negara dan tidak ada alternatif lain dari status quo —- yang diartikan situasi dimana Tepi Barat tetap dikuasai Otoritas Palestina dan Hamas mengusai Gaza serta akan ada terus-menerus resiko saling serang.

Namun tetap ada sisi positif dalam upaya perdamaian ini.

Masyarakat internasional, yang dimotori Uni Eropa dan PBB, telah menegaskan berkali-kali mendukung solusi dua negara dan menyerukan penghentian kekerasan serta menghidupkan kembali proses perdamaian.

Kalangan masyarakat sipil, termasuk mantan diplomat, akademisi, dan aktivis, terus-menerus menyerukan perdamaian dan mencoba membahas dan memberikan usulan penyelesaian dari akar masalahnya. Misalnya, Inisiatif Jenewa yang menawarkan model perdamaian yang secara rinci memuat penyelesaian akar masalah, mulai dari perbatasan, keamanan, pengungsi dan Yerusalem.

Kemudian Inisiatif Perdamaian Arab. Inisiatif ini menawarkan pemulihan hubungan antara Israel dengan seluruh negara Arab dengan tukaran Israel mundur dari semua wilayah  yang direbutnya pada perang 1967, pendirian negara Palestina dan solusi adil bagi pengungsi Palestina.

Ini barulah sebagian usulan-usulan upaya perdamaian. Kesepakatan Oslo, tahun 1992, juga bisa jadi dasar upaya perdamaian berdasarkan solusi dua negara tadi. Hal paling utama adalah membuat Israel dan Palestina duduk bersama di meja perundingan damai.

Ditambah dukungan dunia internasional untuk memastikan ada kompromi yang berkeadilan bagi Israel dan juga Palestina. Serta memastikan kehadiran negara Paletina tidak mengancam eksistensi Israel. Ini jalan sukar dan terjal, tetapi perlu dilakukan untuk memberi rakyat Israel dan rakyat Palestina untuk akhirnya bisa hidup berdampingan dengan damai dan sejahtera dan berkeadilan.***/dari berbagai sumber

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *