Connect with us

Global

Harapan Perdamaian Palestina – Israel

Published

on

Konflik panjang Israel - Palestina. Jalan berliku ke arah perdamaian. (foto: egypt independent)

JAYAKARTA NEWS– Perang Israel versus Hamas sudah mendekati empat bulan. Kengerian perang juga terlihat dengan jumlah kematian di Jalur Gaza yang sudah melewati angka 25.000 jiwa.

Kekuatiran makin besar konflik akan melebar kemana-mana; sepertinya Yaman dengan milisi Houthi sudah bertempur dan berupaya menutup Selat Bab al-Mandab, yang mengubungkan Laut Merah dengan Teluk Aden. Kemudian serangan-serangan roket Hisbullah sudah menghatam Isarel utara. Selain itu, Iran juga ditenggarai akan makin dalam ikut terlibat melalui ‘proxy’ – nya atau secara langsung.

Lalu apa yang akan terjadi di Gaza setelah perang berakhir?

Pertanyaan ini belum memperoleh jawaban tegas. Di satu sisi Israel menegaskan akan medemilitarisasi Gaza. Menurut Israel, semua pengaturan pemerintahan di Gaza haruslah memastikan Hamas tidak lagi berkuasa atau berpotensi berkuasa dan memastikan keamanan Israel agar serangan seperti 7 Oktober 2023 tidak terjadi.

Kemudian belum jelas bagaimana pengaturannya, karena Israel juga menyatakan tidak akan menjadi pemerintah di Gaza. Apakah Gaza akan diperintah oleh Otoritas Palestina seperti yang dikehendaki Amerika dan banyak pihak. Atau diperintah oleh warga Gaza sendiri atau oleh semacam lembaga internasional.

Nasib Solusi Dua Negara

Solusi dua negara dipandang sangat mungkin akan menghilangkan konflik di kawasan Timur Tengah. Ada negara Israel dan negara Palestina di kawasan tersebut. Kerangka utama adalah Perjanjian Oslo (13 September 1993).

Kerangka Oslo menyatakan prinsip pemerintahan Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza, yang akan jadi wilayah negara Palestina di masa depan. Namun perundingan damai lanjutan terkendala perbedaan besar antara Palestina dengan Israel di soal kota Yerusalem, hak pengungsi kembali, dan perbatasan wilayah di Tepi Barat.

Namun situasi makin buruk setelah 10 tahun perundingan damai terhenti, tepatnya sejak April 2014. Tidak ada lagi saling percaya antara Palestina dan Israel ditambah konflik kekerasan terus terjadi tiada henti baik di Gaza maupun di Tepi Barat.

Kemudian perluasan pemukiman Yahudi di Tepi Barat, yang didukung kuat oleh pemerintahan PM Benjamin Netanyahu. Perpecahan kepemimpinan Palestina, Fatah atau PLO (Otoritas Palestina) di Tepi Barat dan Hamas di Jalur Gaza, yang membuat posisi Palestina jadi lemah.

Perlu ada semacam satu perwakilan bagi Palestina. Otoritas Palestina, menurut Presiden AS Joe Biden, perlu direformasi agar bisa mewakili Palestina sepenuhnya. Karena itulah, dia menghendaki Otoritas Palestina kembali berkuasa di Gaza setelah perang berakhir.

Satu hal yang sangat penting juga adalah persepsi masyarakat Palestina dan Israel mengenai proses perdamaian, termasuk solusi dua negara. Di masa lalu, era tahun 90-an, masyarakat Israel sebagian besar mendukung solusi dua negara.

Namun, saat ini, PEW Research Center menemukan hanya 35% masyarakat Israel mendukung. Dan di kalangan masyarakat Palestina sendiri, survei PEW mendapati hanya 24% yang mendukung solusi dua negara. Padahal solusi dua negara sangat didukung dunia internasional.

Di sisi lain, Pemerintahan kanan Israel di bawah komando PM Benjamin Netanyahu juga lemah. Dia sedang menghadapi kasus hukum, termasuk tuduhan korupsi. Sebelum 7 Oktober, Netanyahu sudah berbulan-bulan sejak April 2023 dihadapkan pada gelombang demonstrasi besar-besaran yang menentang upayanya mereformasi sistem hukum, yang memberikan kuasa lebih besar kepada perdana Menteri.

Saat itu, Israel sangatlah terpecah-pecah dan dipandang lemah, yang para pengamat memperingatkan ada kemunduran juga di soal pertahanan keamanan. Setelah 7 Oktober, konsensus rakyat Israel (jajak pendapat 71%) adalah Netanyahu harus mundur dari jabatan perdana Menteri dan pensiun dari kehidupan politik sebagai pertanggung jawaban ketidak-becusan menangani keamanan negara.

Jadi opini publik di kedua belah pihak, pemerinthan Israel dan Palestina yang lemah, ditambah makin kuatnya Hamas di Tepi Barat. Beberapa hal ini saja sangatlah sukar untuk bisa membayangkan akan ada dua negara di kawasan itu dalam waktu dekat.

Bagaimana kelanjutannya

Netanyahu haruslah tidak lagi memerintah. Termasuk, mereka yang punya misi politik kanan di Israel. Ingatlah, Israel bukanlah Netanyahu, kalau melihat bagaimana gelombang demostrasi anti-Netanyahu sebelum 6 Oktober 2023 maka kesimpulan adalah Netanyahu tidak punya masa depan di peta politik Israel.

Penantang utama Netanyahu adalah Yair Lapid, pemimpin partai garis Tengah Yesh Atid. Dia pernah berhasil menyingkirkan Netanyahu pada Juni 2021 lalu. Lapid dikenal punya padangan sekuler dan liberal serta mendukung Solusi dua negara bagi Israel dan Palestina.

Namun ada juga mantan perdana Menteri Naftali Bennet, pemimpin sayap-kanan Partai Yamina, yang menentang solusi dua negara. Kita belum tahu kemana arah Israel setelah perang Gaza dan setelah Netanyahu.

Sementara di pihak Palestina, perlu kesatuan kelembagaan yang punya legitimasi kuat untuk mewakili kepentingan rakyat Palestina. Saat ini, Palestina masih terpecah. Karena itu, pihak internasional perlu memberi dukungan untuk mengembalikan PLO dan Fatah (Palestine Liberation Organization) memiliki kembali legitimasi dengan kepemimpinan kuat di Otoritas Palestina.

Ini juga berarti melenyapkan korupsi di tubuh Otoritas Palestina, yang sudah lama sekali menggerogoti legitimasinya. Kenapa Hamas menang di Pemilu 2006 adalah karena isu korupsi ini.

Untuk sampai pada situasi Israel dan Palestina siap menerima solusi dua negara, membutuhkan waktu dan usaha sungguh-sungguh dari masyarakat internasional. Di masa lalu, era 90-an, upaya masyarakat internasional melahirkan Perjanjian Oslo tahun 1993. Setelahnya, Israel dan Palestina masih terus berunding dan menandatangani perjanjian lanjutan sampai tahun 1999.

Nah, jadi tetap mungkin jika ada upaya serius untuk menengahi dan memberi dorongan kepada Israel dan Palestina untuk hidup berdampingan dengan damai.  

Perjanjian Oslo tetap bisa jadi dasar solusi dua negara. Salah satu capaian penting Oslo adalah pembentukan Otoritas Palestina, yang bertanggung jawab atas pemerintahan, yang terbatas, di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Selain itu, dunia internasional juga mengakui PLO mewakili bangsa Palestina dan jadi mitra runding dengan Israel. Namun sampai hari ini masih ada yang mengganjal dalam perundingan damai, beberapa hal pokok adalah perbatasan kedua negara, soal pemukiman Yahudi, status kota Yerusalem, mengenai pengaturan keamanan Israel, dan hak kembali pengungsi Palestina.

Tentu saja  Perjanjian Oslo tetap jadi kontroversi di Israel dan juga Palestina. Kelompok-kelompok garis keras di kedua belah pihak dengan tegas menolak perjanjian ini —- satu hal lain yang harus diselesaikan masing-masing pihak.

Satu hal lain yang penting adalah dialog. Dialog bukan hanya anta relit (para politisi dan pejabat) tapi juga dialog antar masyarakat umum. Dialog jujur untuk mencari titik temu dan upaya sungguh-sungguh untuh hidup damai.

Bahkan saat sekarang ketika perang masih berkecamuk dan ada risiko nyata perang bisa meluas, kelompok-kelompok progresif di kedua belah pihak masih percaya dialog bisa jadi jembatan penting menuju perdamaian.

Apalagi perdamaian adalah satu landasan penting untuk kesejahteraan dan kemajuan ekonomi. Tanpa perdamaian maka sukar akan ada pembangunan dan kesejahteraan rakyat.***Leo dan berbagai sumber

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *