Kabar
KNKT Soal Kedisiplinan dan Keamanan Lalu Lintas Jalan
Regulasi Masih Lemah, Pengawasan tak Smart
JAYAKARTA NEWS – Maqam peradaban suatu bangsa, salah satunya bisa dilihat dari perilaku masyarakat di jalan raya. Baik kedisiplinan maupun toleransinya terhadap sesama. Tingginya disiplin di jalan berdampak luas. Tidak hanya keselamatan sesama pengguna jalan, tapi juga kenyamanan dan ketenangan masyarakat.
Namun, apa yang terjadi di ruang publik kita, terkait kenyamanan di jalan raya? Tampaknya belum mendekati harapan. Musibah acap terjadi. Realita menunjukkan, dari tahun 2017 hingga 2019 kasus kecelakaan lalu lintas jalan raya meningkat. Sempat turun di tahun 2020. Tahun 2021 meningkat lagi. (Lihat data Kemenhub-Polri)
Tahun 2020 dan 2021, pergerakan orang sangat berkurang, bahkan secara global karena wabah covid 19 sektor transportasi nyaris terhenti. Bahkan di puncak pandemi di banyak negara kota-kota menjadi sunyi.
Besarnya angka kecelakaan lalin kita memprihatinkan. Terakhir yang cukup fatal kasus di Muara Rampak, Balikpapan. Truk tronton menyosor dan melibas banyak pengendara lain di jalan ( 21 Januari 2022, 21 orang meninggal. Sementara di ruas tol Surabaya-Mojokerto, 16 Mei lalu, bus pariwisata menghantam pembatas jalan, 14 meninggal seketika.
Menurut data Korlantas Polri yang dipublikasikan Kementerian Perhubungan, angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia mencapai 103.645 kasus pada tahun 2021, lebih tinggi dibandingkan tahun 2020 sebanyak 100.028 kasus. Kecelakaan 2021 ini merenggut 25.266 korban jiwa dengan kerugian materi Rp 246 miliar. Jumlah korban luka berat akibat kecelakaan lalu lintas tahun lalu 10.553 orang, luka ringan 117.913 orang. Kasus laka paling tinggi sepeda motor (73%), disusul angkutan barang 12%.
Miris memang. Apa sebab-sebabnya? Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), tentu banyak tahu ikhwal penyebabnya. Karena tugas komite inilah yang selalu melakukan investigasi dan kajian setiap kecelakaan. Lantas bisakah diminimalisir ?
Jayakarta News, Senin (27/6) lalu wawancara dengan investigator KNKT dan mencoba mengulik masalah keselamatan transportasi. Selain itu upaya menekan banyaknya jumlah pelanggaran lalulintas yang tampaknya belum menemukan solusi jitu. Padahal jika serius dan tuntas upaya mengatasinya, kasus kecelakaan bisa dikurangi. Mengingat ujung dari banyak musibah adalah kematian, kehilangan, dan bisa jadi menimbulkan kemiskinan baru bagi keluarga-keluarga yang ditinggalkan orang-orang tercinta.
Kondisi Jalan Substandar
Dari beberapa kecelakaan yang terjadi di jalan, KNKT telah mengidentifikasi tiga sumber bahaya atau “objek” sebab musibah. Ketiga hazard itu adalah kondisi jalan, kendaraan, dan pengemudi. “Sebagian besar kecelakaan dipicu kondisi jalan yang substandar, “ kata Ahmad Wildan, investigator senior KNKT.
Sebenarnya, menurut Wildan, jalan yang substandar bisa tidak masalah karena teknologi otomotif sudah menyediakan untuk mengantisipasi itu. Tapi yang jadi masalah beberapa pengemudi tidak memahami cara menggunakan teknologinya sehingga terjadilah kecelakaan yang disebabkan eror tadi skiil bad.
Ini bisa pula dikatakan masalah kompetensi, namun kompetensi yang dimaksud bukan berarti si sopir tidak menguasai cara megemudi, melainkan sopir tersebut tidak menguasai atau tidak mampu menerapkan teknologi yang ada di kendaraan yang dikemudikannya. Padahal teknologi itu sudah “disematkan” pada kendaraan untuk mengatasi pelbagai kondisi yang di luar standar tadi. “Inilah yang sering kita temu kenali, “ ujar Wildan.
Lalu terkait pengemudi, di sinilah tampak bahwa regulasi kita lemah. Regulasi Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ) kita hanya mengatur bahwa pengemudi itu setelah berjalan 4 jam, istirahat 30 menit. Kemudian bisa mengemudi lagi 4 jam. Maksimal 12 jam.
Kita tidak mengatur dalam 1 minggu itu mereka harus istirahat atau libur berapa hari. “Jadi mereka bisa mengemudi sepanjang tahun pun tidak apa-apa. Tidak melanggar undang-undang. Ini berbahaya, “ ucap Wildan.
Seharusnya kita memiliki peraturan yang jelas terhadap profesi pengemudi ini. Berapa lama waktu kerjanya dalam seminggu, dalam sebulan, waktu liburnya berapa lama pula . Ini harus kita atur. Kalau di penerbangan jelas aturannya, berapa lama pilot waktu terbang, dll. Di tranportasi darat – jalan raya ini, tidak ada aturan yang detail.
Juga masalah penggajian. Waktu libur pengemudi tidak digaji. Seharusnya pengemudi mendapatkan haknya ketika libur, misal setengahnya, atau bagaimana sebaiknya. Jangan sampai hak-haknya itu hilang.
Karena itu yang kemudian terjadi, berhubung pengemudi itu tidak mau kehilangan pendapatan sehingga mereka tidak mau libur. Inilah yang memicu terjadinya kelelahan. Apakah soal pengawasannya lemah ? Menurut Wildan regulasinya lemah, jadi apa yang perlu diawasi. Jadi lemahnya di regulasi
Untuk itu KNKT mengusulkan atau merekomendasikan kepada Kemenhub agar bekerjasama dengan Kementerian Ketenagakerjaan untuk membuat regulasi yang mengatur waktu kerja, waktu libur dan waktu istirahat bagi pengemudi angkutan darat. Selama ini belum diatur. Itulah yang harus dibuat oleh Kementerian Perhubungan sebagai turunan dari UU Ketenagakerjaan serta UU LLAJ.
Untuk pengemudi bus dan truk, urai Wildan sistem penggajiannya bukan antara bawahan dan majikan, tapi hendaknya mereka itu diposisikan sebagai mitra kerja, jadi bagi hasil. Atas kondisi ini Wildan mengaku tidak tahu bagaimana pandangan para wakil rakyat. “Tapi terakhir yang saya tahu Komisi V DPR RI sudah menekan agar Kementerian Perhubungan melakukan tindakan, “.
Sebagai investigator senior KNKT, Wildan mengatakan, apapun hasil temuan terutama terkait hazard/ bahaya dan risiko semua di-publish. “ Biar menjadi pengetahuan semua orang. Ini penting, ketika seseorang memahami hazard, memahami risiko, maka risiko untuk celaka itu menurun.
Dalam undang-undang jelas, bahwa Keselamatan adalah terhindarkan orang dari risiko kecelakaan. Jadi KNKT sebanyak-banyaknya mengeksplor, mendistribusikan kemungkinan risiko itu kepada masyarakat. Ketika semua orang memahami risikonya maka mereka akan berusaha untuk mengendalikan dan menghilangkannya, sehingga angka kecelakaan turun.
Kewenangan KNKT
Meski KNKT secara eksplisi dan implisit mengemban misi keselamatan transportasi, namun ternyata selama ini yang juga diketahui publik peran KNKT melakukan investigasi atas terjadinya kecelakaan lalu memberikan rekomendasi atas investigasi dan kajiannya.
Ke depan diharapkan, KNKT tidak hanya melakukan kegiatan yang sifatnya reaktif atas terjadinya kecelakaan. “Pak menteri berharap ke depan agar KNKT turut serta mendorong lebih aktif dalam kegiatan pencegahan-pencegahan kecelakaan, “ papar Wildan.
Jadi lebih proaktif dalam kegiatan preventif. Kalau selama ini kegiatan KNKT reaktif setelah terjadinya kecelakaan. Diharapkan aksi KNKT lebih besar lagi, bukan cuma reaktif tapi juga preventif untuk mencegah terjadinya kecelakaan.
Sistem yang Holistik
Menyingung ikhwal kedisiplinan dan kepatuhan masyarakat menaati peraturan berlalulintas, Wildan cenderung agar kita mengupayakan membangun safety system yang holistik. Itu berarti kita bukan hanya membangun infrastrukturnya saja, serta menyediakan kendaraan yang memadai saja, tapi orangnya atau masyarakatnya harus dilibatkan.
Menurutnya masyarakat kita belum begitu memahami hazard, belum juga memahami risiko. Itu PR kita. Pendekatan safety itu bukan engineering murni tapi juga socio engineering. Bagaimana kita mentransfer knowledge engineering terkait dengan risiko ini kepada semua orang, pengemudi, termasuk pejalan kaki, sehingga semua orang ikut bertanggung jawab dalam menegakkan safety system itu.
Wildan tidak mau menilai bahwa disiplinya kita masih lemah. Dalam hal berlalu lintas di jalan, menurutnya, model pengawasan kita yang perlu diperhatikan dan dibangun maksimal dengan teknologi kekinian.
“Kalau anda jalan-jalan ke Singapura, cari orang Perhubungan, atau Polisi di jalan tidak mudah, “ kata Wildan. Tapi, lanjutnya, masyarakatnya tetap patuh tanpa kehadiran polisi. Hal ini bukan berarti mereka lebih beradab dari kita.
Ingat, manusia itu makhluk homo economicus. Mereka tidak mau “uangnya diambil” karena pelanggaran yang dilakukan. Supaya tidak kehilangan uang maka mereka patuh. Kepatuhan itu dibangun dengan sistem, yakni kamera dipasang dimana-mana, maka mereka selalu merasa diawasi kamera. Jadi kepatuhan terbentuk, selain karena merasa diawasi kamera juga tak mau kena tilang dan harus bayar denda. Maka, ya lebih baik patuh.
Nah, di negara-negara maju pengawasan 24 jam di jalan raya itu melalui kamera. Sementara kita masih mengandalkan pengawasan polisi. Padahal kita tahu, jumlah polisi sangat kecil dibanding banyaknya masyarakat yang perlu diawasi, akhirnya banyak pelanggaran dan mereka lolos pula dari pengawasan serta denda tilang.
Jadi sistem pengawasan harus diubah. Sehingga sistem pengawasan dengan pendekatan information techology (IT) akan membuat semua orang merasa diawasi selama 24 jam dalam berlalulintas. Maka dengan sendirinya mereka patuh. Karena tidak mau kena tilang dan harus bayar denda.
Namun, tentu muncul pertanyaan, mampukah kita membangun sistem pengawasan 24 jam dengan IT tersebut. Menurut Wildan, kita bisa melakukannya, tinggal mengubah kebijakan.
Selama ini, di negara kita, yang membangun infrastruktur khususnya memasang kamera CCTV di beberapa titik jalan adalah pemerintah. Sementara untuk memasang kamera di banyak tempat, tentu memerlukan investasi besar. Maka, buka saja kerjasama dengan pihak ketiga, swasta. Selanjutnya denda tilangnya bisa “bagi hasil”. Pasang teknologi ini secara luas. Juga dengan drone. Karena dengan teknologi tersebut kita dapat mendeteksi terjadinya pelanggaran lalu lintas. Misalnya, pengendara sepeda motor tidak mengenakan helm, melawan arah, mengemudi sambil telepon atau memainkan ponselnya, dan lain-lain.
Sudah waktunya kita hadirkan lalu lintas yang aman dan nyaman, berkendara yang berkeselamatan. Wildan optimis hal itu bisa diwujudkan. Ada solusi yang bisa dilakukan atas banyaknya pelanggaran yang terjadi selama ini, yakni dengan pengawasan 24 jam tadi, menggunakan teknologii. Penerapan tilang elektronik akan lebih efektif.
Kalau kita berkaca pada negara lain, mereka bisa mengapa kita tidak bisa. Sebetulnya ada jalan yang lebih mudah, tapi mengapa tidak dilakukan. Jadi, ini juga masalah maindset, pola pikir kita, ujar Wildan.
Meski butuh investasi yang tidak kecil dan melibatkan swasta, namun ini merupakan solusi. Dalam pandangannya, ini cara sederhana, manusiawi , tidak ribet namun smart. “Ini kan sudah era digital, four point zero (4.0), “ pungkasnya.***Iswati