Feature
Kisah Gado-gado dari Kyiv Ukraina
DI bagian depan terpampang tulisan Indonesian Social Kitchen. Inilah restoran Indonesia pertama dan satu-satunya di kota Kyiv Ukraina dengan label Resto 17.804. Tepatnya di Velyka Vasilkivska Street 82. Sebuah kawasan jalan utama yang prestisius di jantung kota Kyiv.
Alina gadis Kyiv 22 tahun yang manis, dengan gincu merah seronok menyapa hangat seraya mengulurkan menu. Si rambut pirang ini masih kuliah di salah satu universitas di Ukraina jurusan ekonomi bisnis.
Dalam daftar menu terbaca antara lain, nasi goreng, soto ayam, laksa, ikan bakar bumbu dan gado gado. Ada juga kerupuk, bubur ketan hitam, lumpia dan tentu sambel. Saya menunjuk gado-gado, Agung Wibawa dan Gatot Amrih dua orang sahabat dari KBRI Ukraina memesan nasi goreng dan semangkuk laksa udang.
Ini makan malam kami. Jam menunjukkan pukul 20.00, tapi langit masih terang serasa pukul 15.00 sore. Maklum matahari baru akan terbenam sekitar jam 21.40. Udara sejuk nyaris dingin 12 derajat celcius membekap. Padahal bulan Juni ini masih dalam kategori musim panas.
Gatot Amrih seorang diplomat lincah saya kenal sejak 2012 ketika ia bertugas di KBRI Rumania. Kami berjumpa di Bucuresti saat saya ikut menemani Jusuf Kalla, Emil Salim, Iskandar Mandji dan Gusti Iskandar dalam forum Club Of Rome yang membahas isu-isu lingkungan.
Gatot berkisah bahwa restoran ini baru beroperasi sekitar April 2018 dan merupakan restoran khas Indonesia pertama di Ukraina. “Pak Dubes Prof Yuddy mendukung sepenuhnya pembukaan restoran ini, apalagi ini restoran Indonesia pertama yang beroperasi sejak 26 tahun hubungan Indonesia dan Ukraina,” kisah Gatot.
Di dalam ruangan yang mampu menampung 50 orang, kental aroma Indonesia. Selain dendang lagu Indonesia masa kini, mata juga segera menangkap hiasan wayang, topeng Jawa dan peta nusantara berbahan batik.
Di sebuah dinding juga terpajang dengan gagah logo burung garuda lengkap pita Bhinneka Tunggal Ika. Kabarnya, logo tersebut dipesan khusus oleh Dubes Yuddy dari seorang perajin tembaga di Boyolali Jawa Tengah untuk dipersembahkan kepada Resto 17.804.
Pemilik restoran bernama Eko Koesprananto orang Jawa yang sudah hampir 15 tahun menetap di Kyiv. Eko sebelumnya adalah juru masak yang bekerja di Hotel Hyatt Kyiv. Saat kami menyantap masakan, Eko sedang tidak berada di tempat. Menurut Alina yang juga mantan pegawai Hyatt yang kini bekerja sebagai pelayan dan kasir, Eko sedang ada urusan di luar kota.
Sayang sekali saya tak bersua dengan Eko. Padahal saya ingin mengusulkan, sekiranya tatakan/taplak dari bahan kertas yang ada di setiap meja dicetak berkala dengan aneka informasi dan foto tentang Indonesia.
Misalnya informasi ringan jika Anda mau ke Jakarta atau Bali silakan pakai penerbangan ini dan itu dengan total durasi penerbangan sekian jam. Atau misalnya lagi, ada kalimat: setiap 17 Agustus rakyat Indonesia merayakan hari kemerdekaannya.
Taplak berbahan kertas ini bisa diproduksi berkala setiap per 4 bulan misalnya. Namun yang tak kalah pentingnya adalah menyebarkan informasi secara masif kepada warga dan turis turis yang berkunjung ke Kyiv agar mengenal Indonesia. Tentu saja semua itu wajib dibalut dengan program-program kreatif.
Kembali ke urusan lidah dan kerongkongan, cita rasa masakan di resto ini sungguh sangat Indonesia. Pas di lidah orang kampung seperti saya. Istimewanya, penyajiannya mengesankan kemewahan.
Semestinya kuliner Indonesia memang wajib lebih bersolek agar menggairahkan dipandang. Dengan demikian diplomasi lewat kuliner lebih mudah merebut pasar warga asing. Makanan Barat, di cita rasa lidah orang Indonesia cenderung hambar, namun elok dipandang mata. Sementara makanan Indonesia meriah beragam rasa olahan aneka rempah tapi kerap abai dalam penampilan.
Indonesia Social Kitchen amat peduli pada sentuhan artistik detail penyajian. Ada rasa bangga menikmati gado-gado dan laksa karena tertata apik dan tentu memikat untuk dipotret, terutama bagi yang doyan meng upload di sosial media. Intinya makanan tersebut sangat Instgramable. Kini makan tak lagi sekedar untuk kenyang, lebih dari itu ada penjelajahan lidah dan mata yang sifatnya rekreasi.
Di samping meja kami, seorang pria setengah baya sedang menikmati nasi putih dan ikan bakar bumbu. Saya menyapanya. Nama Jerry warga negara Inggris yang berprofesi guru SMA di Bahrain. Jerry sedang berlibur di Kyiv dan kebetulan sedang mengitari jalan utama sekitar restoran Indonesia ini.
Jerry mengaku baru pertama kali mencoba masakan Indonesia. “Rasanya oke, tadi saya baca menunya dan saya terpanggil untuk mencoba makanan Indonesia,” ungkapnya.
Makan malam usai, kami bersiap menyeimbangkan perut dengan berjalan kaki. Gerimis halus sudah turun di luar. Belum lagi kaki meninggalkan teras restoran, tiba tiba Oleksi sang manajer restoran mengejar kami. Saya terkejut. Ada apa?
Oleksi pemuda Ukraina berusia 29 tahun yang pernah bekerja di Shanghai dan Beijing menyampaikan permohonan maafnya. Oleksi lupa, semestinya ia memangkas harga makanan buat kami. Katanya bagi warga Indonesia yang makan wajib mendapatkan potongan harga sebesar 20 persen.
Untuk ukuran luar negeri harga makanan di restoran ini terbilang murah. Empat jenis menu termasuk minum hanya sekitar 700 Hryvnia yang jika dirupiahkan berkisar 350 ribu rupiah. Serupa makanan tersebut di restoran Indonesia di New York atau Los Angelas harganya bisa dua tiga kali lipat.
Tentu kami senang. Makan enak dan dapat kejutan korting lagi. Terima kasih Oleksi. Kami pun bersiap berlari lari kecil mengejar tontonan live pertandingan piala dunia Crotia melawan Denmark di sebuah cafe di kawasan Arena Kyiv.
Sayup-sayup lagu Indonesia masa kini dari dalam restoran melepas langkah kami. Judulnya Separuh Aku yang dilantunkan Ariel Noah. Syairnya menukik: Dengar laraku/Suara hati ini memanggil namamu/Karena separuh aku/Menyentuh laramu/Semua lukamu telah menjadi lirihku/Karena separuh aku Dirimu.
Selamat malam dari Ukraina. *