Connect with us

Kabar

Belajar dari Israel: Bagaimana AI Melihat Jalan Menuju Kediktatoran

Published

on

JAYAKARTA NEWS— Israel adalah salah satu dari sedikit negara di dunia yang tidak punya konstitusi dan mendasarkan pembuatan undang-undang dan produk hukum lain pada hukum adat (common law) atau kebiasaan. Sekarang ini, PM Benjamin Netanyahu sedang berupaya melakukan perubahan hukum besar-besaran. Yang menurut para pengkritik akan mengarah pada otoritarian atau pemerintahan otoriter dan membunuh demokrasi, yang dinikmati rakyat Israel sejak awal pembentukan negara 1948 lalu.

Lalu kenapa Israel? Alasannya adalah ketika Israel makin jauh dari demokrasi dan pemerintahannya semakin otoriter maka makin jauh juga perdamaian dengan Palestina dan Timur Tengah akan makin dipenuhi kekerasan. Namun bagaima proses sebuah negara demokrasi mulai meninggalkan demokrasi dan menuju jadi negara otoriter juga patut kita lihat polanya dan jadi pembelajaran untuk sidang pembaca.

Saat ini, dan sudah berbulan-bulan, parlemen jalanan berupa demonstrasi menentang “reformasi” yudisial/hukum terus berlangsung. Lalu bagaimana kita menganalisanya. Kita bisa minta bantuan Kecerdasan Buatan atau (AI – Artificial Intelligence). ChatGpt bisa dipakai dengan pertanyaan; Bagaimana orang bisa mengubah demokrasi jadi kediktatoran?

 ChatGpt atau AI ternyata selain “pintar” juga punya etika yang baik. Dia menjawab; ”Sebagai model Bahasa AI, saya harus menegaskan mempromosikan dan mendukung segala bentuk kekerasan, melukai/merusak, atau aktivitas illegal, termasuk mencoba merusak/mengrogoti prinsip-prinsip demokrasi atau membangun kediktatoran, berlawanan dengan panduan etik saya.” Kemudian dijelaskan bahwa “Kediktatoran itu penindasan” dan sangat penting untuk menentangnya.

Kalau kita minta AI meringkasnya,” Mempromosikan aksi-aksi anti-demokrasi berlawanan dengan panduan etika. Lestarikan Demokrasi.”

Jadi ternyata ChataGpt punya ideologi demokrasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, yang menekankan kesetaran bagi semua orang. Singkatnya manusia harus hidup secara bermartabat dan matipun harus dijaga tetap bermartabat, dan negara berkewajiban mewujudkan ini.

Tapi bagaimana jika AI ditanya secara hipotesis bagaimana mengubah sebuah negara demokrasi menjadi negara otoriter dengan pemerintahan kediktatoran. Jawaban ChatGpt, sungguh mengejutkan, memperlihatkan jalan yang ditempuh Netanyahu untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaannya di Israel melalui suara mayoritas di parlemen, dalam hal ini Knesset.

ChatGpt menjawab;

Perlemah Lembaga-lembaga demokrasi. Secara perlahan mengurangi/menurunkan independensi dan efektifitas institusi seperti Lembaga peradilan, media, dan legislative. Langkah ini bisa dicapai melalui intervensi politik, penunjukkan oran-orang yang loyal (dengan anda), atau meloloskan undang-undang yang membatasi fungsi-fungsi mereka.

Lalu bagaimana dengan Netanyahu. Dia dan para menterinya tidak pernah menutupi kehendak mereka. Mereka, awal Agustus ini, mencabut “doktrin kewajaran/masuk akal” yang jadi langkah pertama untuk menguasai peradilan. Mereka juga memperkuat upaya ini dengan cara lain, seperti mengubah keanggotaan komite seleksi yudisial agar lebih banyak memasukkan wakil pemerintahan dan mengurangi keanggotaan hakim professional. Meniadakan pengujian calon menteri oleh Pngadilan Tinggi dan 39 usulan peraturan kepada parlemen  untuk melemahkan peradilan. Pada saat yang sama pemerintahan Netanyahu mencoba melemahkan Asosiasi Pengacara Israel, yang dipimpin oleh penentang reformasi hukumnya. Sistem peradilan hanyalah salah satu dari cara pemerintah menyatukan kekuasaannya. Di Komite Perencanaan Nasional (semacam Bappenas) dan Dewan Pendidikan Tinggi, pemerintah mengkosolidasi kekuasaannya dengan cara meniadakan masukan atau input publik dan mengganti penasehat professional dengan perwakilan dari pemerintah. Jadi pada dasarnya, jabatan diisi oleh orang-orang pemerintah alias loyalis Netanyahu.   

Pelemahan lembaga-lembaga penjaga demokrasi, sistem peradilan, akan membuat penguasa bisa memenjarakan siapa saja, yang menentang atau mengkritik, mereka.

Kuasai media. Kontrol media dengan cara membatasi/mengurangi kebebasan pers, tutup media-media independent, dan kuatkan propaganda untuk membentuk opini public dan tutup mulut suara-suara berbeda/berlawanan.

Netanyahu sudah lama berupaya membentuk media yang lebih bersahabat dengan dirinya dan partainya, biasanya dengan klaim membuka pasar. Penerbitan  koran/tabloid ‘Israel HaYom’ yang dibagikan gratis dan televisi Channel 14 disebutkan sebagai upaya untuk “menyeimbangkan” laporan media. Tapi nyatanya kedua media massa ini hanyalah jadi corong politik Netanyahu. Menteri Komunikasi Shlomo Karhi, yang tidak puas dengan dominasi media sayap kanan, telah mendorong terbentuknya undang-undang yang memungkinkan pejabat pemerintah, yang ditunjuk, memonitor media lebih ketat dan membatasi sumber-sumber pendapatannya. Pada saat yang sama, aturan itu menguntungkan alat propaganda sayap kanan, televisi Channel 14. Pemerintahan Netanyahu melalui ancaman atau cara-cara lain yang bertujuan  membungkam suara oposisi dan saat yang sama memperkuat suaranya sendiri. Tujuan pemerintahan model seperti ini sama di seluruh dunia (seperti Turki atau Hongaria) adalah mengontrol media melalui penguasaan modal sekaligus sumber-sumber pendapatan dan berbagai peraturan hingga media independen menjadi semakin kecil dan mati sendiri. 

Tekan oposisi politik

Massa demo pro-demokrasi di Israel, sekarang sudah memasuki minggu ke 31, belum pernah terjadi sebelumnya dari sisi besarnya dan lamanya. Itamar Ben Gvir, Menteri Keamanan Nasional, berkali-kali dipermalukan oleh kepala polisi yang menolak membubarkan paksa massa demo. Tapi sekarang ini, dengan rotasi kepemimpinan, kepala polisi Kobi Shabtai akan segera mundur dan kandidat penggantinya dikabarkan ingin ‘memuaskan’ keinginan Ben Gvir. Secara bersamaan, undang-undang baru sedang dibahas di parlemen yang akan sangat membatasi hak untuk berdemonstrasi dengan hukuman jauh lebih keras. Misalnya, jika demonstran memblokir jalan akan dihukum penjara 3 tahun, dan seterusnya.

Uniknya, oposisi di Israel sekarang ini lebih banyak bergantung pada massa demonstrasi. Sementara partai-partai politik, yang bisa disebut sayap kiri, sudah lama kehilangan kepercayaan publik sehingga rakyat banyak menggantungkan harapan pada anak-anak muda yang mendirikan parlemen jalanan.

Sementara Netanyahu dan sekutu koalisinya terus-menerus melontarkan pernyataan yang mengolok dan melecehkan orang-orang paling berjasa terhadap Israel. Mereka secara rutin mengecam pilot-pilot Angkatan udara, para perwira intelejen, pengusaha teknologi tinggi, pekerja Kesehatan, dosen-dosen universitas, pahlawan perang, aktivis muda, dan daftar terus bertambah. Pada pokoknya, semua orang, yang memutuskan, langkah-langkah pemerintah telah melewasi batas masyarakat demokratik.

Kuasai militer dan aparat keamanan

Sejauh ini harus diakui militer dan aparat keamanan masih menjadi ganjalan besar bagi Netanyahu untuk menjadi dictator. Sudah ribuan tentara cadangan Israel menyatakan tidak akan bertugas jika pemerintahan berubah jadi kediktatoran. Sementara ribuan tentara cadangan lain bergabung dengan gerakan pro-demokrasi dibawah organisasi “Saudara dalam Perjuangan” (Brothers and Sisters in Arms). Selama ini, polisi berusaha keras dengan mengijinkan pemblokiran jalan dan menghindarkan kekerasan dengan segala cara. Hasilnya, sampai sekarang tidak ada pendemo yang terluka dan juga tidak ada property yang rusak. Namun, perwira polisi pendukung Ben Gvir akan segera naik jabatan jadi kepala polisi dan polisi mungkin akan mulai menggunakan taktik kekerasan untuk mengintimidasi massa pendemo, yang sudah mulai terlihat dalam demo terakhir di Tel Aviv. Ben Gvir melangkah lebih lanjut dengan upaya pembentukan milisi “Penjaga Nasional” yang berada dibawah komandonya.

Jadi jalurnya adalah kuasai kepala-kepala keamanan dengan cara menempatkan para loyalis dan kuasai jalanan serta bersihkan dari para penentang atau oposisi. Caranya, dengan memperkenalkan peraturan baru, yang lebih keras dan ketat, dan langsung menerapkannya. Kalau perlu, bentuk milisi (seperti era Presiden Soeharto dengan Pam Swakarsa-nya ketika berusaha mempertahankan kekuasannya). Tapi membersihkan jalanan dari demo pro-demokrasi barulah langkah pertama selanjutnya bagaimana membentuk opini bahwa dia (sang diktator) adalah pilihan terbaik bangsa untuk saat ini demi negara dan bangsa.

Pupuk ketidak-puasan publik dan manfaatkan situasi kedaruratan

Kondisi deteren keamanan dan kesiapan militer Israel, sekarang ini, mengalami kemunduran serius akibat demo berbulan-bulan. Ditambah dengan kemerosotan ekonomi dan makin rendahnya kepercayaan pebisnis untuk berinvestasi. Apalagi cukup banyak para professional Israel dan anak-anak muda dengan giat mencari kesempatan kerja di luar negeri. Nah sekarang, para pendukung Netanyahu memanfaatkan situasi ini dengan menyalahkan para pendemo atas semua situasi keamanan dan ekonomi yang memburuk. Mereka sama sekali tidak peduli atau berupaya mendengar tuntutan pendemo agar menghentikan langkah mengubah tata hukum, yang mengarah pada negara otoriter dan kediktatoran. Netanyahu sendiri, yang ahli dalam mengadu domba, terus berusaha terlihat tetap bekerja seperti biasa dan terus menyemai saling curiga, ketidak-percayaan, dan kebencian.

Mengkapitalisasi dan menyebarkan ketakutan di masyarakat diharapkan akan membuat rakyat bersatu dan ada dibelakang pemimpinnya, kendati dia seorang diktator. Cara yang sama dilakukan disepanjang sejarah manusia oleh semua diktator di dunia, dari Hitler, para dictator di Amerika Selatan, bahkan oleh Ferdinan Marcos dan juga Soeharto dan dicoba juga oleh Donald Trump. Menebar ketakutan dengan menciptakan ‘hantu’ yang dikatakan akan membuat rakyat sengsara jika tidak mendukungnya. Ini resep paling ampuh pada diktator dan masih terus digunakan.

Inilah menurut AI atau ChatGpt Israel akan jatuh ke dalam kekelaman kediktatoran. Lalu apa kata para cendikiawan, Prof. Erica Frants dari Universitas Michigan, dikutip dari harian Haaretz, mengatakan pendekatan pelan-pelan, dimana pemerintah, yang dipilih secara demokratis, secara sistimatis terus mempreteli demokrasi dengan argumentasi pembenaran bahwa yang mereka lakukan sebenarnya memperkuat demokrasi. Seperti yang persis dilakukan oleh pemerintahan Netanyahu sekarang ini.

Prof.Franz menambahkan jika sudah rusak maka demokrasi itu sangat sukar diperbaiki atau dipulihkan kembali. Sementara ChatGpt memberikan rekomendasi,”Demokrasi membutuhkan keterlibatan aktif warganegara untuk menjaga Lembaga-lembaga dan prinsip demokrasi dari berbagai ancaman. Dengan cara, tetap terus terinformasi dan berpartisipasi dalam kehidupan sipil, masyarakat bisa membantu untuk mempertahankan dan memperkuat sistem demokrasi.”

Memang semua diatas mengenai Israel, yang sedang meluncur perlahan dan pasti kearah otoriter dan kediktatoran. Namun kita semua bisa belajar bahwa demokrasi dan kehidupan dalam prinsip-prinsip demokrasi, yang kalau diperas menjadi  budaya ‘Gotong-Royong’ menurut Soekarno. Dimana semua rakyat, tanpa memandang suku, agama, dan ras, bahu-membahu melindungi dan memperkuat demokrasi dengan tujuan kesejahteraan bagi semua warganegara Indonesia. Kita diminta tetap aktif dimanapun Tuhan menempatkan kita, untuk Indonesia. (Leo)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *