Feature
Sudan, Negara yang….. Kasihan Sekali!
JAYAKARTA NEWS— Sudah berpuluh tahun Sudan dihajar perang saudara, sampai-sampai pecah dua, satu di Selatan sekarang jadi negara Sudan Selatan, yang sudah masih ribut terus. Sekarang, ini sejak Jenderal Abdel Fattah al-Burhan mengkudeta Omar al-Bashir (sering disebut orang kuat) pada 2019 lalu. Namun Sudan, sudah berbulan-bulan, kembali dihajar perang saudara. Akibatnya, negara dengan 46 juta penduduk ini jadi salah satu negara termiskin di dunia.
Sejauh ini sekitar 20 juta warga mengalami kekurangan pangan. Sebanyak 14 juta anak-anak tidak memperoleh layanan dasar, seperti pendidikan dan kesehatan. Sekitar 80 persen fasilitas kesehatan sudah tidak berfungsi, karena ketiadaan pasokan obat dan peralatan kesehatan dan juga pasokan listrik, dan tentu saja rusaknya semua infrastruktur sebuah negara.
Kita lihat sebagian datanya;
Sudan sudah menderita perang saudara selama puluhan tahun yang memakan korban puluhan ribu orang dan sekitar 4,5 juta orang mengungsi hanya berbekal pakaian di badan.
Sudan jadi salah satu negara paling miskin di dunia dengan pendapatan perkapita hanya $1,210 setahun. Kemiskinan ini menyebabkan kelaparan meluas, penyakit dan layanan kesehatan hampir tidak ada, hingga Pendidikan juga sangat minim yang menyebabkan luasnya buta huruf di negara ini.
Pelanggaran hak azasi manusia sangat meluas di negara ini. Pelanggaran hak azasi manusia yang dilakukan aparat keamanan meliputi penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, dan pembunuhan di luar hukum. Pelanggaran hak azasi manusia yang luas ini makin menyulitkan pembangunan dan investasi.
Lalu apa yang terjadi saat ini;
Sejak pertengahan April 2023, pasukan Angkatan Bersejata Sudan, yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, berhadapan dengan pasukan Rapid Support Forces (RSF), yang dipimpin oleh Mohamed Hamdan Dagalo, yang disebut Hemedti. Sampai sekarang, kedua pasukan masih bertempur memperebutkan kekuasaan dengan mengorbankan rakyat.
Masyarakat sipil menyatakan kedua belah pihak, termasuk milisi-milisi mereka, melakukan semua kekejaman dan kejahatan kemanusian. Mulai dari perampokan sampai perkosaan. RFS yang tadinya bernama Janjaweed, yang terkenal di masa lalu melakukan kejahatan kemanusiaan di wilayah Darfur.
Perkosaaan, menurut Masyarakat sipil, dilakukan oleh RFS secara sistimatis sebagai senjata perang. Sulima Ishaq, yang mengepalai unit Pemberantasan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak-anak, menyebutkan, “Sangat brutal dan ini semua upaya mempermalukan dan merendahkan martabat manusia. Kadang-kadang ini bagian dari strategi mereka.”
Namun Angkatan Bersenjata Sudan juga melakukan berbagai kekerasan, termasuk menembaki dan menyerang rumah-rumah warga. Seperti yang terjadi di Kota Nyala, di Darfur Selatan, pertempuran telah menyebabkan korban sipil, sebanyak 39 orang meninggal hanya dalam sehari pertempuran saja, yang terjadi sekitar 18 sampai 25 Agustus lalu.
Sebenarnya, Burhan dan Hemedti adalah partner dalam penggulingan dictator Omar al-Bashir tahun 2019 lalu. Mereka bekerja sama, rencananya, untuk membentuk pemerintahan sipil demokratis. Pemerintahan demokratis, yang dipilih melalui pemilihan umum.
Namun pada 25 Oktober 2021 lalu, Burhan melakukan kudeta terhadap pemerintahan sementara. Rakyat Sudan sempat melakukan protes dan demonstrasi besar-besaran memprotes pengambil-alihan kekuasaan ini.
Ratusan ribu orang berdemo di ibukota Khartoum dan pasukan keamanan membalasnya dengan tembakan gas air mata. Tadinya direncanakan akan ada pemilu bulan Juli 2023. Namun Kongsi Burhan dan Hemedti pecah sejak April dan perang saudara kembali berkecamuk.
Perang terakhir ini tentu ada sebabnya. Ada ketidak-cocokan ketika milisi RSF akan dilebur dan masuk dalam Angkatan Bersenjata Sudan. Ketegangan memuncak setelah RSF menempakan milisinya di berbagai daerah dan juga di Khartoum tanpa ijin dari Angkatan Bersenjata. Namun dibalik itu, sangat terlihat ada perebutan aset -aset ekonomi, terutama tambang-tambang emas —- yang dikuatirkan dikuasai oleh RSF.
Disisi lain, dunia internasional sudah berusaha keras mengupayakan gencatan senjata antara Burhan dengan Hemedti. Sementara, pada saat yang sama, kekuatan regional juga mulai masuk. Burhan sempat ke Mesir dan bertemu Presiden Abdel Fatah El-Sisi. Setelahnya, pemerintah Mesir mengeluarkan pernyataan, yang agak ambigu, hanya menyebutkan mengkuatirkan kedaulatan dan integritas negara Sudan.
Dia juga akan ke Riyadh, ibukota Arab Saudi. Sedangkan Hemedti diperkirakan di dukung oleh Uni Emirat Arab. Ditambah dengan kerumitan dari perbedaan suku, pasukan pemberotakan lainnya dan juga pemerintahan militer yang keras. Masih ada lagi kekuatiran masuknya para Jihadis atau kelompok-kelompok garis keras Islam seperti yang terjadi di Somalia. Semua kerumitan ini akan menghambat semua upaya damai dunia internasional.
Padahal intervensi internasional, yang dimotori PBB, sangatlah penting dan harus segera dilakukan. Bukan untuk membuat satu pihak berkuasa di Sudan, tapi demi rakyat Sudan. Rakyat sudah sangat lama menderita akibat ambisi berkuasa para panglima perang ini. Ditambah ambisi atau langkah-langkah kekuatan regional, yang tentunya menghendaki berdirinya rejim yang mengamankan posisi mereka.***Leo/sumber informasi: Washington Post, The Guardian, dan sumber lainnya